Catatan Pinggir: PKI (Partai Komunis Indonesia)

PKI dibubarkan, 12 Maret 1966. Hari itu ribuan, mungkin ratusan ribu, manusia menghambur ke jalan-jalan Jakarta. Kemenangan macam apakah yang mereka rayakan? Karena satu lawan politik kalah? Karena suatu ancaman tersingkir?

Jawaban pasti bermacam ragam. Bahkan mungkin tak setiap alasan cukup jelas bagi diri sendiri. Tapi saya bisa membayangkan setidaknya satu sebab: ada yang berbahagia karena, akhirnya, Partai Komunis Indonesia tak lagi berkerumuk di punggung kita.
Bukan karena partai itu partai yang berkuasa dalam status resmi. PKI mencengkam bukan karena ia menguasai kursi-kursi di kabinet. Bukan karena ia bisa memerintah bedil. PKI, menjelang 30 September 1965, mencengkeram karena ia berada di baris terdepan dalam upaya besar totaliter yang waktu itu menelan, melulur, Indonesia.

Upaya besar totaliter: orang-orang banyak yang digerakkan dalam barisan. Bendera dan panji-panji galak yang dikibarkan. Teriakan yang terdengar benci dan bersemangat. Tinju yang diacungkan ke langit. Pengerahan massa yang tak henti~henti. Pidato-pidato yang selalu bergelora, dan ”Revolusi” yang jadi satu-satunya pesan yang gemuruh dan melindas, seakan-akan kendaraan seorang dewa sakti yang harus disembah.



Di tiap sudut, di tiap kesempatan, slogan-slogan terlontar seperti anak panah berpuluh-puluh, menembak jatuh tiap keinginan untuk membantah. Bahkan telah lumpuh pula kapasitas kita untuk sekadar menggunakan cara bertutur yang lain. Tiap pembicara, tiap penulis, merasa perlu menyebut kata ”Revolusi”, dengan khidmat. Tiap argumen merasa perlu mengutip ideologi negara dari Tajuk Baban Pokok Indoktrinasi. Kita, secara terus-menerus, harus kasih unjuk kita setia, kepada Revolusi, kepada Pemimpin Besar Revolusi.

A continuous frenzy, kata George Orwell dalam novel 1984. Suatu kegalauan yang tak kunjung henti, karena selalu diserukan ada musuh dari luar dan pengkhianat dari dalam, karena selalu ada yang harus ”diganyang”. Kita selalu harus waspada kepada yang ”plintat-plintut”, dan yang ”munafik” dan yang ”gadungan”. Revolusi tak kenal istirahat. Di baris terdepan itulah PKI tegak, dengan telunjuk paling panjang dan paling keras untuk menuduh. Di baris depan itu pula PKI yang paling santer berseru, agar kekuatan-kekuatan politik terjun dalam ”kompetisi Manipolis”: suatu persaingan untuk membuktikan siapa yang paling murni melaksanakan ideologi negara dan pedoman Pemimpin Besar Revolusi.

Dan yang lain-lain pun ikut menurut. Mungkin karena mereka setengah ketakutan kena dakwa. Mungkin pula karena mereka mencoba meyakin-yakinkan diri bukan plin-plan. Dan semua tercekam.
Lalu, tiba-tiba, pada malam 1 Oktober 1965, sejumlah pembunuhan politik terjadi. Indonesia pun setelah itu meledak dalam pertumpahan darah yang mengerikan sampai ke desa-desa yang jauh. Kita bisa berdebat panjang tentang bagaimana persisnya semua peristiwa itu bisa terjadi. Tapi saya kira klimaks itu sudah tak terelakkan. Suasana telah lama dibangun untuk kekerasan pada satu saat nanti: dalam usaha saling mengunggulkan diri sebagai ”revolusioneri siapa yang kalah akan jadi ”kontrarevolusioner”, dan siapa yang ”kontrarevolusioner” sah untuk dihabisi.

Upaya totaliter secara besar-besaran memang tak bisa bicara tentang rekonsiliasi clan harmoni. Masyarakat harus diubah, yang ”lama” harus dijebol, dan tiap pribadi harus diperbarui, dengan aktif. Pengawasan yang intensif berlaku, dan sikap saling curiga jadi punya fungsi politik. juga pembersihan. Setelah Robespierre memenggal banyak leher dalam Revolusi Prancis, setelah Stalin membasmi dalam Revolusi Oktober, kita menyaksikan hal yang sama di Cina dengan Revolusi Kebudayaan-dan barangkali, seandainya PKI tidak gagal, di Indonesia.

Tapi PKI gagal, dan 12 Maret 1966 partai itu dibubarkan. Barangkali itulah salah satu sebab kegembiraan yang menggelegak di hari itu: orang tidak lagi merasa dalam posisi defensif, orang tak lagi berada dalam sudut untuk sewaktu-waktu dituding ”kontrarevolusi”. Entah di mana persisnya, satu kekuatan pendorong upaya totaliter telah runtuh.

Adakah selebihnya hanya sepi? Entahlah. Pada saat jalan-jalan tak lagi ramai dengan panji dan barisan massa yang bergerak, terkadang ada yang merasa ruang hanya hampa. Sesuatu yang seakan-akan jadi tanda kolektivitas seperti punah. Tujuan bersama seakan-akan kehilangan dinamika karena kini tak ada lagi mobilisasi. Arah bersama seakan-akan hambar karena tak ada lagi kegairahan ideologi.

Mungkin itulah sebabnya sekarang ada yang seperti kangen. Siapa tahu segera akan ada yang bertingkah seakan Indonesia membutuhkan upaya totaliter segera akan ada yang baru: mengubah total masyarakat, memperbarui tiap pribadi, dan membersihkan, membersihkan, membersihkan,… Seperti PKI.

Catatan Pinggir
Tempo, 15 Maret 1986  oleh Goenawan Mohamad

Comments

Popular Post