Jalan "Raya Pos" Daendels Oleh Pramoedya

Herman Willem Daendels menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda selama tiga tahun (1808-1811). Dalam waktu relatif singat itu, dengan tangan besinya berhasil membangun di berbagai bidang, baik untuk kepentingan ekonomi maupun pertahanan karena ditugaskan mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris. Namun, pembangunan monumental dan melekat padanya adalah Jalan Anyer-Panarukan atau Jalan Raya Pos yang panjangnya mencapai seribu kilometer.

Kendati menyebut proyek Jalan Anyer-Panarukan sebagai genosida karena menelan ribuan korban, sastrawan Pramoedya Ananta Toer mengakui, dibandingkan pada masanya jalan itu sama dengan jalan Amsterdam–Paris. Pembangunannya yang hanya setahun (1808-1809) satu rekor dunia pada masanya. “Sejak dapat dipergunakan pada 1809 telah menjadi infrastruktur penting, dan untuk selamanya,” tulis Pram dalam Jalan Raya Pos, Jalan Daendels.

Berikut ini 10 fakta yang belum banyak diketahui orang tentang pembangunan Jalan Anyer-Panarukan.


Jalan Raya Pos adalah jalan yang panjangnya kurang lebih 1000 km yang terbentang sepanjang utara Pulau Jawa, dari Anyer sampai Panarukan. Dibangun pada masa pemerintahan Gubernur-Jenderal Herman Willem Daendels. Pada tiap-tiap 4,5 kilometer didirikan pos sebagai tempat perhentian dan penghubung pengiriman surat-surat. Tujuan pembangunan Jalan Raya Pos adalah memperlancar komunikasi antar daerah yang dikuasai Daendels di sepanjang Pulau Jawa dan sebagai benteng pertahanan di Pantai Utara Pulau Jawa. Untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris, Daendels membutuhkan armada militer yang kuat dan tangguh. Daendels membentuk pasukan yang berasal dan masyarakat pribumi. Daendels kemudian mendirikan pendidikan militer di Batavia, dan tempat pembuatan atau pabrik senjata di Semarang.

Ketika baru saja menginjakkan kakinya di Pulau Jawa, Daendels berangan untuk membangun jalur transportasi sepanjang pulau Jawa guna mempertahankan Jawa dari serangan Britania. Angan-angan Daendels untuk membangun jalan yang membentang antara Pantai Anyer hingga Panarukan, direalisasikannya dengan mewajibkan setiap penguasa pribumi lokal untuk memobilisasi rakyat, dengan target pembuatan jalan sekian kilometer. Yang gagal, termasuk para pekerjanya, dibunuh. Kepala mereka digantung di pucuk-pucuk pepohonan di kiri-kanan ruas jalan. Gubernur Jenderal Daendels memang menakutkan. Ia kejam, tak kenal ampun. Dengan tangan besinya jalan itu diselesaikan hanya dalam waktu setahun saja (1808). Suatu prestasi yang luar biasa pada zamannya. Karena itulah nama Daendels dan Jalan Raya Pos dikenal dan mendunia hingga kini.
Di daerah Bandung khususnya dan daerah Priangan umumnya, Jalan Raya pos mulai dibangun pertengahan tahun 1808, dengan memperbaiki dan memperlebar jalan yang telah ada. Di daearh Bandung sekarang, jalan raya itu adalah Jalan Jenderal Sudirman - Jalan Asia Afrika - Jalan A. Yani, berlanjut ke Sumedang dan seterusnya. Untuk kelancaran pembangunan jalan raya, dan agar pejabat pemerintah kolonial mudah mendatangi kantor bupati, Daendels melalui surat tanggal 25 Mei 1810 meminta Bupati Bandung dan Bupati Parakanmuncang untuk memindahkan ibukota kabupaten, masing-masing ke daerah Cikapundung dan Andawadak (Tanjungsari), mendekati Jalan Raya Pos.
Ketika Jalan Raya Pos sampai di kota Sumedang dimana pembangunan jalan harus melalui daerah yang sangat berat ditembus, di daerah Ciherang Sumedang, yang kini dikenal dengan nama Cadas Pangeran. Para pekerja paksa harus memetak pegunungan dengan peralatan sederhana, seperti kampak, dan lain-lain. Dengan medan yang demikian beratnya inilah untuk pertama kalinya ada angka jumlah korban yang jatuh mencapai 5000 orang.
 
Ketika pembangunan jalan sampai di daerah Semarang, Daendels mencoba menghubungkan Semarang dengan Demak. Kembali medan yang sulit menghadang. Bukan hanya karena tanahnya tertutup oleh rawa-rawa pantai, juga karena sebagian daripadanya adalah laut pedalaman atau teluk-teluk dangkal. Untuk itu kerja pengerukan rawa menjadi hal utama. Walau angka-angka korban di daerah ini tidak pernah dilaporkan, mudah diduga betapa banyaknya kerja paksa yang kelelahan dan lapar itu menjadi makanan empuk malaria yang ganas.
 

Tahun 1808-1811 Surabaya di bawah pemerintahan langsung Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Pada masa itu Surabaya dijadikan sebagai kota Eropa kecil. Surabaya dibangun menjadi kota dagang sekaligus kota benteng.
Sumber Inggris melaporkan seluruh korban yang tewas akibat pembangunan Jalan raya Pos sebanyak 12.000 orang. Itu yang tercatat, diyakini jumlah korban lebih dari itu. Tak pernah ada komisi resmi yang menyelidiki.

Kota-kota yang dilalui Jalan Raya Pos adalah sebagai berikut:

1. Anyer
2. Serang
3. Tangerang
4. Jakarta
5. Bogor
6. Sukabumi
7. Cianjur
8. Bandung
9. Sumedang
10. Cirebon
11. Brebes
12. Tegal
13. Pemalang
14. Pekalongan
15. Kendal
16. Semarang
17. Demak
18. Kudus
19. Rembang
20. Tuban
21. Gresik
22. Surabaya
23. Sidoarjo
24. Pasuruan
25. Probolinggo
26. Panarukan (Situbondo)
 
 
Nol (0) Kilometer Anyer-Panarukan
 
 
Di sekitar Mencusuar Anyer yang terletak di Desa Tambang Ayam, Kecamatan Anyer, Serang, Banten,

terdapat tapal yang menandai titik awal pembangunan Jalan Anyer-Panarukan. Tidak diketahui pasti siapa dan kapan pembuatannya. Sejarawan Universitas Indonesia, Djoko Marihandono, merasa heran dengan tapal tersebut. “Saya masih mempertanyakan nol kilometer yang ada di Anyer Banten sebagai titik awal pembangunan Anyer-Panarukan,” kata Djoko kepada Historia.

Selain itu, Djoko yang menulis disertasi tentang sentralisasi kekuasaan Daendels di Universitas Indonesia pada 2005, juga merasa prihatan karena dalam tapal tersebut “tahunnya saja salah.” Pada tapal persegi empat itu tertulis: “0 KM Anjer-Panarukan 1806 AKL.” Padahal, Daendels baru mendarat di Anyer pada 5 Januari 1808.

Dari Anyer ke Batavia, Daendels menempuh perjalanan selama empat hari. Pada musim hujan, jalan-jalan itu tidak layak dilewati. Sementara jalur laut tidak mungkin dilaluinya karena ancaman armada Inggris yang sudah mengepung pulau Jawa. Rute jalan Anyer-Batavia (Anyer-Cilegon-Serang-Tangerang-Batavia) sudah ada sebelumnya. Sehingga Daendels hanya memerintahkan untuk memperkeras dan memperlebarnya. Setelah diperkeras dan dilebarkan, Anyer-Batavia dapat ditempuh dalam waktu sehari.

“Pekerjaan ini mudah saja karena medannya datar. Hambatan hutan-belantara sepanjang lebih kurang 40 km dapat diatasi tanpa kesulitan berarti. Demikian juga dengan ruas jalan Batavia-Buitenzorg (Bogor),” tulis Pram.


Kepentingan Ekonomi, Lalu Militer


Menurut Pram, bukan kebetulan bila Daendels memerintahkan pembangunan jalan Anyer-Batavia sebagai prioritas utama. Dengan adanya jalan ini secara teoritis tentaranya akan segera dapat didatangkan dari Batavia bila Inggris menyerbu.

Namun, menurut Djoko, pembangunan jalan Anyer-Panarukan lebih termotivasi oleh kepentingan ekonomi, selanjutnya militer. “Daendels mengeluarkan besluit (keputusan) bahwa tujuan pembangunan jalan itu untuk dua kepentingan, yaitu membantu penduduk dalam mengangkut komoditas pertanian ke gudang pemerintah atau pelabuhan dan untuk kepentingan militer. Tapi, dia mendahulukan kepentingan pertama karena memang daerah di sekitar Bogor sangat subur dan menguntungkan bagi pemerintah kolonial. Namun, jalan dari Batavia hanya sampai Cisarua, dari Cisarua hanya jalan kecil, banyak belokan, dan sebagainya,” ujar Djoko.

Selain mempertahankan Jawa dari Inggris, Daendels juga harus mendanai pemerintahannya terlebih bisa setor ke kas pemerintah di Belanda. Dan komoditas andalannya adalah kopi yang ditanam di Priangan.

Daendels memang berhasil mengamankan jalur hubungan antara Bogor dan Batavia sebagai pelabuhan produk-produk ekspor. Setelah Inggris memblokade jalur ke pelabuhan Batavia, dia mencari alternatif pelabuhan lain yaitu di Cirebon dan Tegal. Namun, pengangkutan kopi dari Bogor lewat Batavia menuju Cirebon terkendala pemberontakan Bagus Rangin yang berkobar di Cirebon karena penetrasi ekonomi Tionghoa dan pembuangan Sultan Kanoman oleh VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur).

Dari hasil pemantauannya, Daendels mendapati jalan yang ada antara Bogor-Cirebon hanya sebatas jalan kecil dan tidak memungkinkan untuk pengangkutan komoditas dalam jumlah besar. Dia kemudian menugaskan komandan pasukan zeni Kolonel von Lutzow untuk melakukan pemetaan jalur Bogor-Cirebon. Hasilnya, jalur pembangunan Bogor-Cirebon yang akan ditempuh: Cisarua-Cianjur, Cianjur-Rajamandala, Rajamanadala-Bandung, Bandung-Parakanmuncang, Parakanmuncang-Sumedang, dan Sumedang-Karangsembung. Sebagian besar proyek pembangunan jalan raya ini ditujukan untuk memperbaiki dan menghubungkan jalan-jalan desa yang telah ada.


Kerja Upah


Daendels memutuskan pembangunan jalan Bogor-Cirebon yang berjarak 150 km, pada 25 April 1808 dan pengerjaannya dimulai awal Mei 1808. “Dalam membuat jalan yang sulit dan menembus gunung-gunung tinggi ini dikerahkan 1.100 tenaga kerja paksa,” tulis Pram.

Namun, menurut Djoko, pekerjaan pembuatan jalan raya Bogor-Cirebon dilakukan atas dasar kerja upah karena Direktur Jenderal Keuangan van Ijsseldijk menyiapkan dana untuk upah pekerja dan mandor, peralatan, dan konsumsi atau ransum. “Untuk membangun jalan dari Cisarua, Bogor sampai Cirebon, Daendels menyediakan dana sebanyak 30.000 ringgit ditambah dengan uang kertas yang begitu besar,” kata Djoko.


Pekerja Dari Luar Bogor-Cirebon


Rincian pekerja untuk pembangunan jalan Bogor-Cirebon antara lain Cisarua-Cianjur (400 orang), Cianjur-Rajamandala (150 orang), Rajamanadala-Bandung (200 orang), Bandung-Parakanmuncang (50 orang), Parakanmuncang-Sumedang (150 orang), dan Sumedang-Karangsembung (150 orang). Perbedaan jumlah pekerja tersebut disesuaikan dengan panjangnya jalan dan beratnya medan.

“Sebagian besar para pekerja tersebut dikerahkan dari luar daerah Bogor-Cirebon, terutama dari Jawa karena penduduk sekitar sudah diberikan tugas untuk meningkatkan produksi kopi,” kata Djoko.

Daendels menaruh perhatian besar terhadap kopi sampai-sampai dia mengangkat inspektur jenderal khusus tanaman kopi yang dijabat oleh Von Winckelman. Selain kopi, dia juga memperhatian padi. Kendati bukan komoditas ekspor, padi sangat diperlukan untuk menjamin pasokan pangan bagi masyarakat terutama di kota-kota besar seperti Batavia dan Surabaya.

Oleh karena itu, menurut Pram, Daendels memerintahkan pembangunan jalan Bogor-Cirebon sehabis panen kopi dan padi. Jauh sebelumnya wajib tanam kopi (koffie stelsel) telah dikenakan di Priangan dan harus menjualnya kepada Kompeni untuk membiayai pemerintahannya. “Priangan paling cocok tanaman kopi. Dan untuk melancarkan perekonomian Kompeni, jalan ekonomi perlu ditingkatkan. Digabungkan dengan keperluan pertahanan, jalan ekonomi juga dibuat jadi prasarana militer,” tulis Pram.


Di Bawah Pimpinan Militer


Mulanya proyek jalan Bogor-Cirebon ini akan diserahkan kepada Komisaris Urusan Pribumi, namun Daendels menyadari medannya tidak mungkin bisa ditangani oleh pekerja biasa. Peralatan yang dibawa para kuli tidak memadai, terlebih banyak batuan padas di lereng-lereng bukit sehingga tidak mungkin bisa dihancurkan dengan peralatan pertukangan. Selain itu, para pekerja juga terancam binatang buas.

Oleh karena itu, Daendels memutuskan proyek ini akan ditangani oleh militer dengan penanggungjawab Kolonel von Lutzow. Komandan zeni ini bertanggungjawab menyediakan peralatan dan persenjataan berat seperti meriam untuk meruntuhkan batuan-batuan padas maupun alat pengangkutnya.


 Dimulainya Kerja Wajib


Setibanya di Karangsembung, timbul persoalan. Selain dana habis untuk membayar pekerja maupun untuk perbaikan dan perawatan jalan, sebagian dari tanah-tanah di sekitar Karangsembung yang akan dijadikan jalan, milik Sultan Cirebon. Daendels kemudian menekan Sultan agar menyerahkan tanahnya demi kepentingan pembangunan jalan. Sultan membebaskan tanahnya karena Daendels menjanjikan jalan itu bisa digunakan untuk mengangkut kopi yang juga memberikan pemasukan kepada Sultan. Namun, menurut Pram, residen Cirebon sendiri juga “mengajukan permohonan agar pekerjaan diteruskan melewati karesidenannya. Selanjutnya demikian pula halnya dengan Residen Pekalongan. Dan jalan Raya Pos pun semakin panjang, hanya sekarang memantai.”

Untuk menyiasati kehabisan dana, Daendels mengumpulkan semua penguasa pribumi termasuk para bupati di Jawa Tengah dan Jawa Timur, di rumah residen Semarang. Dia menyampaikan maksudnya untuk melanjutkan pembangunan jalan raya dari Cirebon sampai Surabaya. Daendels meminta kepada mereka agar menyediakan tenaga kerja dengan menggunakan sistem kerja yang berlaku pada masyarakat yaitu heerendiensten, kerja wajib untuk raja.

“Prinsip kerja wajib itu karena penduduk menempati tanah milik raja, maka wajib hukumnya untuk memberikan upeti kepada raja. Ini dipakai oleh Daendels untuk memerintahkan para bupati agar mengerahkan penduduknya untuk bekerja,” kata Djoko.

Jalur Cirebon-Surabaya yang akan ditempuh di sepanjang pantai utara Jawa dengan pertimbangan bahwa semua itu adalah tanah-tanah pemerintah, sehingga tidak akan mengganggu wilayah raja-raja pribumi. Atas kesediaan para bupati, proyek penggarapan jalan itu dilanjutkan.


Mengapa ke Panarukan?


Ketika berkunjung ke Surabaya pada awal Agustus 1808, Daendels melihat bahwa jalan dari Surabaya perlu diperpanjang ke timur. Tujuannya bahwa wilayah Ujung Timur (Oosthoek) merupakan daerah yang potensial bagi produk tanaman tropis selain kopi, seperti gula dan nila. Di samping itu ada kemukinan perairan di sekitar selat Madura memberikan peluang bagi pendaratan pasukan Inggris. Untuk itu, dia memerintahkan F. Rothenbuhler, pemegang kuasa (gesaghebber) Ujung Timur sebagai penanggungjawab pembangunan jalan Surabaya sampai Ujung Timur yang dimulai pada September 1808.

Titik akhir jalan di Ujung Timur terletak di Panarukan, dan tidak dibangun hingga Banyuwangi. Pertimbangannya Banyuwangi dianggap tidak memiliki potensi sebagai pelabuhan ekspor. Sedangkan Panarukan dipilih karena dekat daerah lumbung gula di Besuki dan dengan tanah-tanah partikelir yang menghasilkan produk-produk tropis penting.


Tonggak atau Paal


Daendels telah memerintahkan pembangunan jalan dari Ujung Barat (Anyer) sampai Ujung Timur (Panarukan) yang jaraknya mencapai 600 paal (1 pal = 1,5 km) atau hampir 1.000 kilometer. Direncanakan jalan ini mencapai lebar dua roed (1 roed = 3,767 m2) atau jika medan memungkinkan lebarnya 7,5 meter. Setiap 400 roed (1 roed = 14,19 meter) harus dibuat satu tonggak (paal). Menurut Pram, setiap jarak 150,960 meter harus didirikan tonggak untuk jadi tanda jarak dan juga tanda kewajiban bagi distrik (kawedanaan) dan penduduknya untuk memeliharan jalan tersebut.

“Jalan-jalan yang sudah selesai diberi tanda dengan ukuran paal. Makanya di daerah-daerha yang dilewati jalan ini kebanyakan namanya berawalan Pal seperti Pal Merah, Pal Meriam, Pal Sigunung,” kata Djoko.

9. Peraturan Jalan Raya Pos

Setelah Jalan Anyer-Panarukan selesai, Daendels mengeluarkan tiga peraturan terkait dengan pengaturan dan pengelolaan jalan raya ini. Peraturan pertama dikeluarkan pada 12 Desember 1809 berisi aturan umum pemanfaatan jalan raya, pengaturan pos surat dan pengelolaannya, penginapan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kereta pos, komisaris pos, dinas pos dan jalan. Peraturan kedua keluar pada 16 Mei 1810 tentang penyempurnaan jalan pos dan pengaturan tenaga pengangkut pos beserta gerobaknya. Peraturan ketiga tanggal 21 November 1810 tentang penggunaan pedati atau kereta kerbau, baik untuk pengangkutan barang milik pemerintah maupun swasta dari Jakarta, Priangan, Cirebon, sampai Surabaya.


Genosida Daendels


Pembangunan Jalan Anyer-Panarukan hingga kini masih menjadi perdebatan. Di satu pihak pembangunan Jalan Raya Pos itu sangat dipuji, tetapi di lain pihak juga dicaci karena mengorbankan banyak nyawa manusia.

Pram menegaskan bahwa pembangunan Jalan Anyer-Panarukan adalah salah satu genosida dalam sejarah kolonialisme di Indonesia. “Menurut sumber Inggris hanya beberapa tahun setelah kejadian Jalan Raya Pos memakan korban 12.000 orang,” tulis Pram.

Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 1, musuh-musuh Daendels membandingkan pembangunan Jalan Anyer-Panarukan dengan Piramida Mesir. Dampak jalan raya itu ternyata jauh melampaui perkiraan Daendels. Jalan ini telah memenuhi harapan Daendels sebagai sarana ekonomi kolonial. Meski tidak memungkinkan untuk menahan pendaratan Inggris, namun jalan ini mengubah secara besar-besaran kondisi ekonomi dan kehidupan di Jawa. Jalan ini mempersingkat waktu tempuh: Batavia-Surabaya dapat ditempuh dalam lima hari; pengiriman pos Batavia-Semarang hanya memerlukan 5-6 hari, sebelumnya memakan 14 hari di musim kemarau atau tiga minggu sampai sebulan di musim hujan. Jalan ini memunginkan pengembangan dan komersialisasi produk-produk perkebunan. Jalan ini juga menciptakan sebuah kelompok sosial penting, yaitu kaum pedagang perantara. Terakhir dan terutama, jalan raya ini menimbulkan pergerakan penduduk yang berpengaruh ke segala bidang.


Pemberian upah didasarkan pada beratnya lokasi yang ditempuh seperti batuan padas, hutan lebat, lereng bukit atau gunung, keterjalan lokasi dan sebagainya. Rinciannya antara lain rute Cisarua-Cianjur (10 ringgit perak per orang/bulan), Cianjur-Rajamandala (4 ringgit perak per orang/bulan), Rajamanadala-Bandung (6 ringgit perak per orang/bulan), Bandung-Parakanmuncang (1 ringgit perak per orang/bulan), Parakanmuncang-Sumedang (5 ringgit perak per orang/bulan), dan Sumedang-Karangsembung (4 ringgit perak per orang/bulan). Selain upah, para pekerja juga mendapatkan beras dan garam.

“Sistem pembayarannya, pemerintah memberikan dana kepada para prefek (jabatan setingkat residen) lalu diberkan kepada para bupati. Ini buktinya ada. Sedangkan dari bupati ke para pekerja, tidak ada buktinya. Bisa jadi ada tapi belum saya temukan. Apakah para bupati membayarkannya atau tidak kepada pekerja, itu urusan lain. Jadi bukan kerja paksa karena diberi upah,” ungkat Djoko.

Pernahkah Anda mendengar Jalan Daendels? Jalan inilah asal muassal terbangunnya Jalur Pantura yang kini sudah bisa dilalui jutaan orang dalam sehari. Jalan ini disebut Jalan Daendels, karena ia dibangun atas perintah Gubernur Jenderal Belanda Herman Willem Daendels yang menjadi penguasa Hindia Belanda antara tahun 1808 hingga 1811.

Jalan Daendels atau yang juga dikenal dengan Jalan Raya Pos ini melintas dari Anyer ke Panarukan dengan panjang 1000 kilometer. Jalan ini sebagian besar menyusuri pantai Laut Jawa. Atas dasar inilah, Jalan Daendels kelak menjadi jalan yang lebih dikenal sebagai Jalan Pantura, akronim dari pantai utara.

Dalam catatan sejarah, pembangunan Jalan Daendels ternyata sudah mengakibatkan ribuan nyawa melayang. Bahkan sebuah sumber Inggris menyebutkan sebanyak 12.000 orang tercatat tewas dalam pengerjaan proyek raksasa itu.

Kenapa begitu banyak menelan tumbal? Ini karena kekejaman Daendels dalam mencapai hasrat besarnya itu. Konon diceritakan, pada tahun 1808, Daendels ditunjuk sebagai Gubernur Hindia Belanda oleh Raja Belanda Louis Napoleon, adik kaisar prancis Napoleon Bonaparte. Kemudian, ia langsung berangkat ke Hindia Belanda dan tiba di Anyer.  Setelah itu, ia menuju Semarang yang ditempuh 10 hari dari Bogor, tempat kediaman Gubernur Jenderal. Dari perjalanan panjang inilah, muncul dalam benaknya untuk membangun mega-proyek pembangunan jalan di Jawa.

Namun sayangnya, hasratnya ini membuat jutaan orang tersiksa dan tewas. Ini lantaran keinginannya yang ingin membangun jalan tersebut hanya dalam rentang satu tahun sudah selesai. Caranya, ia menekan penguasa lokal untuk membangun jalan tersebut sesuai target produksi yang diinginkannya. Jika gagal, penguasa lokal beserta para pekerjanya akan dibunuh dan kepalanya di gantung di kanan-kiri jalan yang sedang dibangun.

Akibat keinginan ini pun, penguasa lokal dan rakyat ketakutan. Mereka bekerja rodi, tanpa imbalan. Dalam masa pembangunan jalan ini, banyak di antara mereka yang menjadi korban kelaparan, selain juga serangan malaria yang mematikan. Para mayat pekerja yang meninggal tidak dikubur dengan layak, mereka yang meninggal, langsung ditanam di pinggir jalan yang dibangun itu.

Kekejaman ini membuahkan hasil bagi Daendels. Ia berhasil mewujudkan impiannya menyelesaikan jalan ini hanya dalam setahun (1808). Oleh karena itu, berkat keberhasilannya ini, meski dilalui dengan kekejaman, nama Daendels tetap dikenal sampai sekarang, dan ia dipandang telah meraih prestasi luar biasa.


Latar Belakang Masalah Jalan raya pos yang dibangun ketika Mr. Herman Willem Daendels menjadi gubernur jendral Hindia Belanda. Jalan yang membentang dari Anyer sampai Panarukan sepanjang 1.000 Kilometer ini ditulis dalam novel sejarah oleh pengarang sastra Roman yang beraliran realisme sosial Pramoedya Ananta Toer. Judul dari Novel tersebut adalah “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels”. Jalan yang dibangun oleh Daendels (yang lebih tepatnya dilebarkan) menurut Pram merupakan satu dari banyaknya kisah tragedi kerja paksa yang terjadi sepanjang sejarah di Indonesia, atau Hindia Belanda pada masa itu. Sebelum pembantaian yang dilakukan oleh Daendels pada pembangunan jalan raya pos dari Anyer sampai Panarukan ini menurut Pram ada beberapa kisah pembantaian yang dilakukan Belanda kepada rakyat yang berada di Hindia Belanda, seperti contoh kisah pembantaian lain terjadi di pulau Bandaneira, pada tahun 1621, yang dilakukan oleh Jan Pietersz Coen. Selanjutnya, kisah pembantaian tanam paksa yang dilakukan oleh Van Den Bosch diberbagai perkebunan dan jalan kereta api. Dengan novel ini, Pram mencoba untuk menuturkan sisi kelam dari pembantaian yang dilakukan Daendels dengan pembangun jalan raya pos yang membunuh ribuan rakyat Hindia Belanda. Sejak dipergunakan pada tahun 1809 jalan raya pos ini telah menjadi infrasturktur penting, dan untuk selamanya. 
 
Namun sayangnya dengan sudahnya pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1942, masa pendudukan militer Jepang sampai kemerdekaan Indonesia, orang-orang sudah tidak perduli lagi bahkan tidak ingat lagi kepada sejarah jalan raya yang membentang 1.000 kilometer ini. 1.2 Rumusan dan Batasan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, terdapat beberapa permasalahan yang akan menjadi kajian dalam makalah ini. adapun permasalahan pokok yang akan di kemukakan adalah: ‘Bagaimana sejarah pembangunan jalan raya pos ini melalui sastra dan novel’ Untuk mempermudah penulis dalam menyusun makalah ini maka rumusan masalah di atas harus dibatasi dengan beberapa pembatasan masalah. Adapun pembatasan masalah dituangkan kedalam beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana resensi dari Novel jalan raya pos, jalan Daendels? 2. Bagaimana analisis setting sosial, ekonomi, politik, budaya, dan alur cerita dalam novel jalan raya pos, jalan Daendels ini? 3. Bagaimana Biografi Pengarang novel jalan raya pos, jalan Daendels ini? 1.3 Tujuan dan Penulisan Makalah Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengungkapkan bagaimana analisis dari novel sejarah yang menguraikan persoalan pembangunan jalan raya pos yang telah mengorbankan ribuan rakyat Indonesia, serta dapat memberikan jawaban-jawaban terhadap berbagai pertanyaan yang telah diajukan kedalam rumusan masalah diatas, yang diantaranya: 1. Memberikan resensi dari Novel jalan raya pos, jalan Daendels. 2. Memberikan penjelasan dari analisis seting sosial, ekonomi, politik, budaya, dan alur cerita dalam novel jalan raya pos, jalan Daendels ini . 3. Memberikan penjelasan tentang Biografi Pengarang novel jalan raya pos, jalan Daendels ini. 1.4 Sistematika Penulisan Untuk memudahkan memahami penulisan ini, maka penulis menggunakan sistematika sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini penulis mengungkapkan latar belakang masalah, mengapa penulis memilih tema ini. Selain itu, bab ini juga memuat rumusan masalah yang akan di bahas, batasan masalah yang ditulis pada bagian selanjutnya bertujuan agar pembahasan dalam makalah ini tidak keluar dari garis yang telah ditetapkan. bab ini juga memuat tujuan penulisan yang menjelaskan tentang hal-hal yang akan disampaikan untuk menjawab permasalahan yang telah ditentukan. bagian selanjutnya adalah sistematika penulisan. BAB II ANALISIS NOVEL JALAN RAYA POS, JALAN DAENDELS Bab ini menguraikan penjelasan mengenai analisis dari novel sejarah Jalan Raya Pos, Jalan Daendels yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, dengan melalui salah satu pendekatan teoritis yakni teori teori sosiologi sastra. 
 
Pembahasan dalam bab ini ditulis berdasarkan dari sumber tertulis dan dari sumber Internet. BAB III KESIMPULAN Pada bab ini penulis mengemukakan kesimpulan terhadap beberapa peramasalahan yang telah diajukan sebelumnya. hal ini tentunya setelah penulis semua fakta yang ada dengan didukung oleh berbagai literatur yang telah dibaca dan didiskuiskan sebelumnya. BAB II JALAN RAYA POS, JALAN DAENDELS 2.1 Resensi Novel Jalan Raya Pos, Jalan Daendels Novel Jalan Raya Pos, Jalan Daendels karangan Pramoedya Ananta Toer adalah sebuah Novel Sejarah yang menguraikan kebijakan Herman Willem Daendels yang sedang berkuasa di Hindia Belanda dengan membangun jalan raya pos dari Anyer sampai Panarukan. Daendels memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos melalui penjatahan pada para bupati yang kabupatennya dilalui jalan itu. Penanggung jawab teknis dari pekerjaan rodi ini, namun yang tidak dapat menyelesaikan pekerjaan yang telah ditentukan, akan digantung sampai mati pada dahan-dahan pohon sekitar proyek. 
 
Tidak terhitung lagi pekerja yang mati, karena malaria, karena kelaparan, karena kelelahan. Jalan ini termasuk jalan terpanjang didunia pada masanya karena terbentang disepang pulau Jawa, sama dengan jalan raya Amsterdam Paris. Nyatanya bukan Daendels yang membuat seluruh jalan raya pos ini. Berabad sebelumnya bagian terbesar jalan raya pos ini sudah ada. Jalan Raya Pos atau yang lebih dikenal sebagai Jalan Daendels merupakan proyek yang sangat penting saat itu. Membentang 1.000 kilometer di bagian utara Pulau Jawa dari Anyer di Provinsi Banten saat ini Hingga Panarukan di Jawa Timur. Dibangun “hanya” dalam waktu satu tahun dengan mengerahkan tenaga rodi rakyat Hindia Belanda yang tak berdosa. Pembangunannya yang demikian ini menjadikan proyek ini sebagai salah satu tragedi pembantaian terbesar dalam sejarah Hindia Belanda. Diperkirakan 12.000 (ini hanya angka perkiraan yang dibuat pemerintah kolonial Inggris, bisa saja lebih) rakyat tak berdosa tewas karena kerja paksa dan wabah malaria selama pembangunan jalan ini. Sebuah peringatan untuk kita para generasi penerus.


Daendels menurut novel jalan raya pos, jalan Daendels ini tidak seutuhnya membuat jalan yang sepanjang 1.000 kilometer ini, namun Daendels hanya melebarkan sampai 7 meter. Semua batu untuk peninggian dan pengerasan, rakyat kecil, para petani, harus setor, dan tanpa imbalan, atau dengan imbalan, hanya saja orang-orang atasan tertentu yang menerimanya. Atasan disini ialah para pembesar orang berkulit putih atau coklat, atau juga putih dan coklat. Bukan menjadi rahasia lagi, bahwa pada era kompeni adalah zaman maraknya korupsi. Residen atau asisten Residen yang sedang dinas atau setelah dinas, sudah menjadi tuan tanah. Lebih kaya, dan lebih berkuasa, di kerajaannya sendiri daripada sebagai pejabat kolonial. Pram dengan begitu teliti menampilkan data-data historis yang begitu detail berikut pengalaman-pengalamannya dalam buku ini. Secara sekilas namun cukup jelas dan mendetail, Pram juga menyisipkan kisah-kisah pembantaian yang pernah menimpa bangsa ini, baik oleh kaum penjajah maupun oleh bangsa Indonesia sendiri. Secara terstruktur Pram menjelaskan proses pembangunan Jalan Daendels sejak dari titik nol di Anyer hingga Panarukan. Dari kota ke kota Pram menyajikan fakta-fakta menarik dan data-data historis tentang proses pambangunan jalan ini. Dan ternyata Jalan Daendels bukanlah sebuah jalan “baru” yang dibangun oleh Daendels. 
 
Beberapa ruas jalan telah ada sejak berabad-abad sebelum orang Eropa menginjakkan kakinya di Pulau Jawa. Daendela hanya memperlebar dan memperbaiki infrstruktur jalan sehingga dapat dilalui segala jenis kendaraan. Data-data mengenai jalan kuno tersebut dengan metode penuturan disajikan dengan sangat baik oleh Pram. Hal ini tentu saja tak lepas dari pandangan politik Pram yang kontroversial dan ada yang menganggap “kekiri-kirian”. Hanya saja intensitasnya tak seberapa jika dibandingkan dengan karya-karyanya yang terdahulu. Jika di perhatikan dengan seksama, beberapa kali Pram terasa tak fokus dan mengalihkan topik pembicaraan ke masalah lain yang kurang berhubungan dengan materi yang sedang dibahasnya. Hal ini dapat kita temui di beberapa bagian buku ini. Untuk pembaca yang kurang sabar barangkali akan menimbulkan kebingungan. Dan lagi, di beberapa bagian cukup terasa kalau Pram sedang “marah-marah”. Namun begitu, karya kecil Pram ini patut kita beri apresiasi yang terhormat. Di masa senjanya Pram masih mampu menyajikan sebuah reportase sejarah yang sedemikian detail dan cukup akurat. Sebuah prestasi yang tak banyak dimiliki penulis-penulis negeri ini. Seperti halnya nasib bangsa ini di msa lalu, Pram sendiri merupakan sosok penulis Indonesia yang kontroversial dan penuh vitalitas. Dikucilkan oleh komunitas sastrawan karena track record-nya sebagai budayawan LEKRA yang vokal dan tak kenal kompromi, tapi juga dipuji karena kualitas karya-karyanya yang mendunia. Ini karenakan Pram mencoba menyajikan sebuah tulisan yang terlihat realis, dan sesuai dengan kenyataan yang ada. Didalam Novel Jalan Raya Pos, Jalan Daendels pun Pram dengan terperinci menjelaskan setiap kota-kota yang dilalui jalan raya pos ini sesuai dengan historis dan kejadian-kejadian yang terjadi.


 Didalam novel tersebut Pram menjelaskan setiap kota yang dilalui jalan raya pos ini. Adapun kota-kota yang dilalui oleh pembangunan Jalan Raya Pos adalah Blora-Rembang, Lasem, Anyer, Cilegon, Banten, Serang, Tangerang, Batavia, Meester Cornelis/Jatinegara, Depok, Buitenzorg/Bogor, Priangan, Cianjur, Cimahi, Bandung, Sumedang, Karangsembung, Cirebon, Losari, Brebes, Tegal, Pekalongan, Batang, Waleri, Kendal, Semarang, Demak, Kudus, Pati, Juwana, Rembang, Tuban, Gresik, Surabaya, Wonokromo, Sidoarjo, Porong, Bangil, Pasuruan, Probolinggo, Kraksaan, Besuki, Panarukan. 2.2 Analisis dan Telaah Novel Jalan Raya Pos, Jalan Daendels 1) Identitas Novel : Judul Novel : Jalan Raya Pos, Jalan Daendels Penulis : Pramoedya Ananta Toer Penerbit : Lentera Dipantara Jumlah Halaman : 148 Halaman Cetakan VI : April 2008 2) Unsur intrinsik novel (tema, pembabakan, seting waktu dan tempat, plot/alur) : Tema : Jalan Raya Pos, Jalan Raya Deandels atau kerap dikenal dengan nama jalan Anyer-Panarukan. Sesuai dengan namanya awal dari pembangunan jalan ini mulai dari Anyer. Anyer merupakan tempat pertama kali Deandels menginjakan kaki di bumi Jawa. Tetapi Anyer yang didarati Deandels bukan Anyer yang sekarang. Pantai dan beberapa desanya telah habis disapu oleh letusan gunung Krakatau tahun 1883. Setelah itu jalan Raya Pos bergerak sampai ke ujung timur pulau Jawa yaitu Panarukan. Pembabakan : Jawa Pada Masa Herman Willem Daendels Seting waktu : Abad-19 Seting tempat : Pulau Jawa Plot/alur : Campuran 3) Analisis (seting sosial, seting ekonomi, seting politik, seting budaya, perbedaan fakta dan fiksi yang digambarkan novel) : Seting Sosial : Seting sosial pada novel ini adalah kehidupan masyarakat yang daerahnya dilalui oleh pembangunan Jalan Raya Pos. Dalam novel ini, diceritakan bahwa dengan adanya jalan ini kehidupan masyarakat berubah drastis. Masyarakat menjadi lebih mudah dalam setiap urusannya. Ironinya, Jalan raya ini adalah bukti nyata dari pembantaian yang terjadi ketika Belanda, yang di wakili Herman Willem Daendles. Cerita yang diangkat oleh Pram dalam nivel ini hampir seluruhnya menceritakan kehidupan masyarakat yang tertekan dengan adanya pembangunan jalan. Bukan hanya rakyat yang tertekan, para Bupati dan kepala desa pun tertekan karena harus mengirimkan ribuan rakyatnya, sedangkan rakyat sendiri tidak diberikan akomodasi oleh Daendles. Seting ekonomi : Seting ekonomi pada Novel ini adalah pertumbuhan kota-kota dan perekonomian yang dilalui jalan raya pos. Jalan raya pos tidak seluruhnya di buat, karena kebanyakan hanya memperlebar Jalan yang sudah ada. Kehidupan ekonomi antar satu daerah ke daerah yang lain sudah terjadi. Setelah pembangunan jalan raya pos ini, kehidupan ekonomi masyarakat menjadi lebih pesat. Mobilisasi dari satu daerah ke daerah yang lain menjadi semakin cepat karena kondisi jalan raya pos lebih baik daripada jalan yang dulu.


 Ada satu poin yang menarik dari novel Jalan Raya Pos, Jalan Daendles ini, yaitu setiap daerah yang dilalui Jalan ini, memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan yang lain. Dengan adanya jalan ini pula, komoditi dagang menjadi lebih beragam. Seting politik : Seting politik pada Novel ini adalah pembangunan jalan raya pos ini dibangun guna menyelamatkan Jawa dari kekuasaan Inggris, yang dimana Pulau Jawa adalah satu-satunya pulau besar yang belum dikuasai Inggris, dan Daendels ini diangkat jadi Gubernur Jendral Hindia oleh Loedwijk Napoleon pada tahun 1808. Novel ini juga menggambarkan bahwa kebijakan negara tidak pernah berpihak pada rakyat. Kebijakan Deaendles untuk membangun jalan ini sangatlah mengsengsarakan rakyat dengan korban ribuan tewas mencapai ribuan orang. 4) Perbandingan dengan buku teks (karya sejarawan) : Ada tindakan Deandels yang menjadi sejarah –semua tindakanya sepertinya adalah sejarah – yaitu ketika dalam perjalanan inspeksi pembangunan Jalan Raya Pos ia mengucapkan kata-kata sebagai berikut : “Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd” (Usahakan ketika aku datang lagi kesini telah di bangun sebuah kota). Lalu ia menusukan tongkat ke tanah. Tempat menusukan tongkat itulah yang kemudian menjadi titik nol kilometer kota Bandung. 5) Dalam analisis novel Jalan Raya Pos, Jalan Daendels menggunakan teori sosiologi sastra. Didalam teori sosiologi sastra, karya sastra dianggap dapat mewakili zamannya dan memiliki nilai dokumenter yang dengan sendirinya harus dinilai sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat karya sastra dihasilkan, yang disebut dengan analisis emik (Kutha Ratna, 2008: 290). Dalam buku sosiologi sastra, mengutip pendapat Vladimir Jdanov Robert, Edcarpit (2008: 8) mengemukakan bahwa sastra harus dipandang dalam hubungan yang tak terpisahkan dengan kehidupan masyarakat, latar belakang unsur sejarah, dan sosial yang mempengaruhi pengarang dan harus mengabaikan sudut pandang subjektif dan arbitrer yang menganggap setiap buku sebagai suatu karya yang independent dan berdiri sendiri. 
 
Didalam novel Jalan Raya Pos, Jalan Daendels ini menggambarkan dan menguraikan tempat-tempat yang dilalui oleh pembangunan jalan raya pos ini tidak jauh dari buku teks sejarah. Pada dasarnya pembangungan jalan raya pos ini baru dituliskan dalam bentuk Novel dan didalam buku-buku teks sejarah memuat tentang kebijakan Daendels yaitu kerja paksa. 2.3 Biografi Pengarang Novel Pramoedya Ananta Toer di lahirkan di Blora pada tahun 1925. Pram terlahir sebagai anak sulung, ayahnya sendiri bekerja sebagai guru sedangkan ibunya pedagang nasi. Pram bersekolah di Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya dan selama pendudukan Jepang, bekerja di Jakarta sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang. Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan seringkali ditempatkan di Jakarta di akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpendan buku sepanjang karir militernya dan dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948dan 1949. Pada 1950-an ia sanggup tinggal di Belanda sebagai bagian program pertukaran budaya, dan saat kembalinya ia menjadi anggota Lekra, organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno. Hingga Akhirnya Pram pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pram merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan: 13 Oktober 1965 - Juli 1969, Juli 1969 - 16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan, Agustus 1969 - 12 November 1979 di Pulau Buru, November - 21 Desember 1979 di Magelang . Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca yang menjadi serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. 
 
Tokoh utamanaya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalamannya sendiri. Jilid pertamanya dibawakan secara lisan pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Pram dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke KodimJakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun. Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995). BAB III KESIMPULAN Buku ini ditulis dengan mengalir, tanpa pembagian bab. Pada halaman-halaman awal Pram menguraikan awal ketertarikannya pada Jalan Raya Pos yang memakan banyak korban jiwa para pekerja paksa yang ia golongkan sebagai genosida. Ia juga menyinggung beberapa genosida yang awalnya dilakukan oleh Jan Pietersz Coen (1621) di Bandaneira, Daendels dengan Jalan Raya Posnya (1808), Cuulturstelsel alias tanam paksa, genosida pada zaman Jepang di Kalimantan, genosida oleh Westerling (1947) hingga genosida terbesar dalam sejarah bangsa Indonesia di awal-awal pemerintahan Orde Baru. Setelah mengurai sejarah tercetusnya ide pembuatan Jalan Raya Pos di benak Daendels, di halaman-halaman selanjutnya Pram membagi bukunya ini berdasarkan kota-kota yang dilewati dan berada di sepanjang Jalan Raya Pos. Pram mencatat dan mengurai 39 kota yang berada dalam jalur Jalan Raya Pos, baik kota-kota besar seperti Batavia, Bandung, Semarang, Surabaya, maupun kota-kota kecil yang namanya jarang terdengar oleh masyarakat umum seperti Juwana, Porong, Bangil dan lain-lain. Secara rinci Pram mengungkap sejarah terbentuknya kota-kota tersebut, dampak sosial saat dibangunnya Jalan Raya Pos, hingga keadaan kota-kota tersebut pada masa kini.


Masa-masa kelam ketika Jalan Raya Pos dikerjakan terungkap di buku ini. Sampai di kota Sumedang pembangunan jalan harus melalui daerah yang sangat berat ditembus, di daerah Ciherang Sumedang, yang kini dikenal dengan nama Cadas Pangeran. Di sini para pekerja paksa harus memetak pegunungan dengan peralatan sederhana, seperti kampak, dan lain-lain. Dengan medan yang demikian beratnya untuk pertama kalinya ada angka jumlah korban yang jatuh mencapai 5000 orang. Ketika pembangunan jalan sampai di daerah Semarang, Daendels mencoba menghubungkan Semarang dengan Demak. Kembali medan yang sulit menghadang. Bukan hanya karena tanahnya tertutup oleh rawa-rawa pantai, juga karena sebagian daripadanya adalah laut pedalaman atau teluk-teluk dangkal. Untuk itu kerja pengerukan rawa menjadi hal utama. Menurut Pram didalam Novelnya itu, walau angka-angka korban di daerah ini tidak pernah dilaporkan, mudah diduga betapa banyak para pekerja paksa yang kelelahan dan kelaparan itu menjadi korban malaria. (2008: 94) Sumber Inggris melaporkan seluruh korban yang tewas akibat pembangunan Jalan raya Pos sebanyak 12.000 orang. Itu yang tercatat, diyakini jumlah korban lebih dari itu. Tak pernah ada komisi resmi yang menyelidiki. Selain mengungkap sisi-sisi kelam di balik pembangunan Jalan Raya Pos, Pram juga senantiasa menyelipkan penggalan kenangan-kenangan masa muda dirinya pada kota-kota di sepanjang Jalan Raya Pos yang pernah ia singgahi. Ada kenangan yang pahit, mengesankan, dan lucu yang pernah dialaminya di berbagai kota yang ditulisnya di buku ini. Sebut saja pengalaman lucu ketika Pram muda yang sedang bertugas sebagai tentara di daerah Cirebon. 
 
Buku ini diutup dengan bab "Dan Siapa Daendels" yang ditulis oleh Koesalah Soebagyo Toer. Dalam bab ini diuraikan biografi singkat Daendels. Selain itu bagian daftar pustaka yang menyajikan sumber-sumber pustaka yang digunakan Pram untuk menyusun buku ini mencakup buku-buku yang terbit pada pertengahan abad ke-19 hingga akhir abad ke-20. Tak heran jika membaca karya ini pembaca akan mendapatkan hal-hal yang detail mengenai sejarah kota yang dilalui oleh Jalan Raya Pos. namun sayangnya buku ini tidak memuat peta yang secara jelas menggambarkan rute-rute Jalan Raya Pos. Buku ini hanya menyajikan reproduksi dari peta kuno yang diambil dari Rijks Museum Amsterdam. Peta yang tak menggambarkan Pulau Jawa secara utuh dan huruf yang tak terlihat pada peta tersebut tentu saja menyulitkan pembaca untuk memperoleh gambaran akan sebuah jalan yang dibuat Daendels sepanjang Anyer hingga Panarukan ini. (*)



Comments

Popular Post