Manifestasi Marxisme Ala Bung Karno
Salah satu
perbedaan paling mencolok antara Bung Karno dengan para politisi saat ini,
adalah penguasaannya yang mendalam akan teori-teori sosial-politik. Ia bukan
politisi karbitan, atau menjadi politisi karena keturunan. Ia juga bukan
politisi yang asal njeplak, yang tindakan politiknya tidak didasarkan
pada panduan teoritis yang jernih dan solid. Sebaliknya, seluruh tindakan
politik Bung Karno merupakan refleksi dia atas kondisi-kondisi sosial pada
masanya, dan itu semua dituangkannya dalam tulisan maupun pidato-pidatonya.
Salah satu sumber pemikiran yang sangat mempengaruhi Bung Karno dalam membaca
dan memahami realitas, dengan lebih utuh dan mendalam, adalah marxisme.
Hal ini
diakuinya sendiri, seperti yang ditulisnya di koran Pemandangan (1941),
bahwa “teori Marxisme adalah satu-satunya teori yang saya anggap kompeten buat
memecahkan soal-soal sejarah, soal-soal politik, soal-soal kemasyarakatan.”
Jadi, Bung Karno adalah manusia pergerakan bersenjatakan marxisme. Dan dengan
itu pula dia memperjuangkan kemerdekaan bangsanya.
Tetapi di
tahun 1966, setelah kontra-revolusi mulai berkuasa, keluar Tap MPRS nomor XXV
tentang pelarangan Marxisme. Juga Tap MPR XXVI/ MPRS/ 1966 tentang Pembentukan
Panitia Peneliti Ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno yang
berusaha membersihkan ajaran-ajaran Bung Karno dari marxisme. Kemudian, pada
bulan Desember 1967, Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pimpinan Osa
Maliki dan Usep Ranawidjaja, yang disokong rezim Orde Baru, membuat Pernyataan
Kebulatan Tekad untuk membersihkan marhaenisme dari marxisme. Dan
sejak itu marhaenisme di tangan PNI mulai kehilangan api-nya.
Efeknya
sangat merusak. Tanpa memiliki pengetahuan marxisme, tidak mungkin bisa
menyelami ajaran Bung Karno secara mendalam. Tanpa marxisme, ajaran Bung Karno
kehilangan “api”-nya. Tidak mengherankan, ajaran Bung Karno yang terdengar di
telinga kita sekarang ini tak lebih dari sebuah frase-frase atau slogan-slogan
heroik tanpa isi dan semangat.
Jadi, kalau
ada pertanyaan: mengapa ajaran Bung Karno kurang berkembang? Saya kira, jawaban
pokoknya adalah karena pemikiran Bung Karno dipelajari tanpa menggunakan
analisa atau teori marxisme. Konsekuensinya, kalau ada keinginan menghidupkan
kembali api pemikiran Bung Karno, maka marxisme sebagai teori perjuangan sekaligus
seperangkat ilmu pengetahuan harus dibebaskan dari belenggu pelarangan dan
pemberangusan semenjak era Orde Baru hingga sekarang.
Kontribusi
Marxisme
Tidak
berlebihan jika saya mengatakan bahwa marxisme berjasa besar bagi Bung Karno.
Berkat marxisme, Bung Karno tidak rasis melihat kolonialisme: sebagai ekspresi
kulit putih atau kafir. Sebaliknya, dia sadar bahwa kolonialisme adalah
konsekuensi dari kapitalisme yang membutuhkan penguasaan terhadap sumber bahan
baku, tenaga kerja murah, pasar, dan lahan baru untuk penanaman modal sebagai
prasyarat untuk keberlanjutan proses akumulasi kapital.
Karena itu
juga, nasionalisme yang dipeluk oleh Bung Karno jauh dari bau-bau chauvinisme
(nasionalisme sempit) dan fasisme. Sebaliknya, karena bercampur dengan marxisme,
nasionalisme Bung Karno berjiwa progresif. Saya lebih suka menyebutnya
“nasionalisme kiri”, karena mengedepankan cita-cita kesejahteraan sosial
sebagai tujuan pokoknya.
Marxisme
juga sangat mempengaruhi cara dan metode Bung Karno dalam membangun pergerakan
politiknya, seperti massa aksi, machtvorming (pembangunan kekuatan
politik), koran sebagai mulutnya pergerakan, rapat akbar/vergadering,
konsep partai pelopor, dan lain-lain. Dan yang terpenting: lahirnya ajaran
Marhaenisme.
Marhaenisme
Sebagai Marxisme ala Indonesia
Marhaenisme
diadopsi Bung Karno dari nama seorang petani yang ditemuinya saat melakukan
riset di daerah Bandung Selatan tahun 1920-an. Bung Karno menyebut marhaenisme
sebagai “marxisme yang diselenggarakan, dicocokkan, dilaksanakan di Indonesia, is
het in Indonesie toegepaste marxisme (Kursus Pancasila, 1958). Jadi,
marhaenisme adalah marxisme ala Indonesia.
Tentu,
sebagian kita bertanya, apa yang coba dicocokkan antara marxisme dan keadaan
Indonesia? Sebagai seorang marxis, Bung Karno jelas memakai analisa kelas.
Dalam marxisme, menurut bacaan dia, selalu ada kelas sosial yang memainkan
tugas sejarah untuk mengubah relasi produksi agar sejalan dengan tuntutan
kemajuan tenaga-tenaga produktif. Di Eropa, tugas sejarah itu berada di pundak
kelas proletar.
Tetapi
masyarakat Indonesia berbeda. Kendati sudah ada kaum proletarnya, seperti di
perusahaan kereta api, perusahaan pegadaian, pertambangan, dan lain-lain,
tetapi jumlahnya masih sangat kecil. Sementara yang dominan adalah pemilik
produksi kecil-kecilan: pertanian kecil, perdagangan kecil, dan
usaha produksi kecil. Kehidupan mereka sangat sengsara dan melarat.
Kendati
sama-sama melarat, namun proletar berbeda dengan marhaen. Proletar adalah
terminologi yang digunakan oleh Marx untuk menjelaskan sebuah kelas yang
dilahirkan oleh perkembangan kapitalisme di Eropa. Marx menyebutnya ‘kelas
pekerja modern’. Proletar ini dicirikan oleh: (1) mereka tidak punya alat
produksi; (2) untuk bertahan hidup, mereka menjual tenaga kerjanya kepada
majikan/kapitalis; dan 3) dari menjual tenaga kerjanya itulah ia mendapatkan
upah. Sedangkan Marhaen, kendati kehidupannya melarat seperti proletar, masih
punya alat produksi.
Bung Karno mengatakan bahwa Marhaen sebagai prototipe dari
kaum pemilik produksi kecil ini dicirikan oleh 1) pemilik produksi kecil;
mereka tidak menyewa atau mempekerjakan orang lain (biasanya dikerjakan sendiri
bersama anggota keluarga); (2) mereka tidak punya majikan ataupun buruh upahan;
dan (3) hasil produksinya hanya untuk kebutuhan sendiri dan keluarganya.
Dengan
analisa kelas ini, Bung Karno menemukan tenaga utama untuk mendorong revolusi
Indonesia, yaitu kaum marhaen. Dalam perkembangannya, istilah marhaen ini
diperluas cakupannya hingga meliputi seluruh sektor rakyat jelata: unsur kaum
miskin proletar Indonesia (buruh), unsur kaum tani melarat Indonesia, dan unsur
kaum melarat Indonesia lainnya. Namun demikian, ia tidak menampik peran
kepeloporan yang dimainkan oleh proletar. Ia juga percaya bahwa takdir historis
penggulingan kapitalisme berada di tangan proletar. Karena itu, katanya, “Nah,
tentara kita adalah benar tentaranya Marhaen, tentaranya kelas Marhaen, tentara
yang banyak mengambil tenaganya kaum tani, tetapi barisan pelopor kita adalah
barisannya kaum buruh, barisannya kaum proletar.”
Satu
pertanyaan yang mungkin mendayung di tengah kegelisahan kita adalah: apakah
marhaenisme masih relevan dalam konteks Indonesia saat ini? Saya akan menjawab:
iya. Merujuk kepada data resmi 2015, hampir 70 persen masyarakat Indonesia
bekerja di sektor informal. Kategori sektor informal adalah pedagang kaki lima,
perdagangan kecil, perajin kecil, dan pertanian dalam skala kecil. Ini meliputi
keseluruhan sektor perdagangan mikro (asongan, PKL, calo, dll), Industri
pengolahan mikro (industri rumah tangga, kerajinan, dan lain-lain), dan
pertanian mikro (petani menengah, miskin, dan gurem).
Artinya,
mayoritas rakyat Indonesia sekarang ini sebetulnya adalah pemilik produksi
kecil. Mereka adalah kaum marhaen. Dan ingat, mereka termasuk sektor sosial yang
paling dikorbankan oleh neoliberalisme, selain kaum buruh dan sektor kaum
miskin lainnya.
Cita-cita
Marhaenisme: Sosialisme Indonesia
Marhaenisme,
seperti dijelaskan Bung Karno di Konferensi Partindo, 1933, adalah azas yang
menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang di dalam segala halnya
menyelamatkan Marhaen. Karena itu, marhaenisme hendak menghilangkan kapitalisme
dan imperialisme. Sebab, kedua sistim itu telah menghisap dan menindas rakyat
jelata.
Dalam pidato
Tahun Vivere Pericoloso-TAVIP, 17 Agustus 1964, Bung Karno tegas
menyatakan bahwa Revolusi Indonesia yang bergelora sejak Agustus 1945 bermuara
pada Sosialisme Indonesia.
Sebetulnya,
jauh hari sebelumnya Bung Karno sudah mengidamkan masyarakat sosialistik
sebagai cita-cita politik pergerakannya. Seperti ditulisnya di risalah Mencapai
Indonesia Merdeka, 1933: “maksud pergerakan kita haruslah: suatu masyarakat
yang adil dan makmur, yang tidak ada tindasan dan hisapan, yang tidak ada
kapitalisme dan imperialisme.”
Seperti apa
sosialisme yang dibayangkan oleh Bung Karno? Di buku Sarinah, yang
merupakan kumpulan kuliah Bung Karno dalam kursus Wanita di Jogjakarta tahun
1946, dijelaskan soal sosialisme ala Bung Karno. Menurutnya, esensi dari
sosialisme adalah kesejahteraan sosial atau kemakmuran bagi semua orang. Dan
sebagai syaratnya: harus ada kepemilikan pabrik yang kolektif; ada
industrialisme yang kolektif; ada produksi yang kolektif; dan ada distribusi
yang kolektif.
Bung Karno
meyakini, supaya kesejahteraan kolektif bisa tercapai, harus ada kemajuan
teknik dan kemajuan pengetahuan. Ini sejalan dengan proposisi marxisme, bahwa
perkembangan kekuatan-kekuatan produktif, yang di dalamnya mencakup kemajuan
teknik dan kecakapan manusia, yang tidak dirintangi hubungan-hubungan
produksi—kalau dirintangi, akan dijebol melalui “Revolusi”—melahirkan perubahan
corak produksi.
Bung Karno
sendiri mengatakan, “alat-alat teknik, dan terutama sekali semangat
gotong-royong yang telah masak, itulah soko-gurunya pergaulan hidup yang
sosialistik.” Artinya, kemajuan kekuatan-kekuatan produktif, terutama kemajuan
teknik dan kecakapan manusia, harus disertai dengan relasi produksi yang
bersifat gotong-royong.
Selain itu,
Bung Karno menegaskan, “sosialisme Indonesia sebagai hari depan Revolusi
Indonesia bukanlah semata-mata ide ciptaan seseorang “in een slapeloze nacht”
(dalam satu malam yang tidak tidur), juga bukan suatu barang yang diimpor dari
luar negeri, atau sesuatu yang dipaksakan dari luar masyarakat Indonesia,
melainkan suatu “reaktief verzet van verdrukte elementen” (perlawanan
penentangan daripada anasir/kaum yang tertekan), suatu kesadaran sosial yang
ditimbulkan oleh keadaan sosial Indonesia sendiri, suatu “historische
Notwendigkeit”, suatu keharusan sejarah.” Karena itu, sosialisme Indonesia
akan diperkaya dengan tradisi progresif yang sudah mengakar dalam masyarakat
Indonesia, yaitu gotong-royong.
Keyakinan
Bung Karno di atas mirip degan kesimpulan seorang marxis berpengaruh di Amerika
Latin, Jose Carlos Mariategui, yang mengatakan bahwa sosialisme di Amerika
Latin tidak boleh menjadi suatu “tiruan murni” atau “salinan” saja dari
pengalaman-pengalaman sosialisme yang sudah ada, melainkan merupakan hasil
“penciptaan yang heroik”, yang sesuai dengan karakteristik dan kekhususan
masing-masing bangsa.
Bagaimana
mewujudkan Sosialisme Indonesia
Bung Karno banyak belajar dari pengalaman revolusi Perancis. Di sana, kaum borjuis berusaha menarik kaum proletar dan kaum tani dalam persekutuan di bawah slogan kebebasan (liberté), persamaan (egalité) dan persaudaraan (fraternité) untuk menumbangkan kekuasaan feodal. Namun, begitu kekuasaan feodal ditumbangkan, kaum borjuis membangun kekuasaannya sendiri dengan menyingkirkan kaum proletar dan kaum miskin lainnya.
Bung Karno
tidak mau kesalahan revolusi Perancis berulang dalam revolusi Indonesia. Karena
itu, sejak awal ia mewanti-wanti, dalam perjuangan mendatangkan Indonesia
merdeka, kaum Marhaen harus menjaga agar jangan sampai nanti mereka yang kena
getahnya, tetapi kaum borjuis atau ningrat yang memakan nangkanya.
Untuk itu, dia menghadirkan dua gagasan besar, yaitu sosio-nasionalisme dan
sosio-demokrasi.
Sosio-nasionalisme
adalah nasionalisme yang berpihak, yakni kepada massa-rakyat.
Sosio-nasionalisme menolak borjuisme (kapitalisme) dan keningratan (feodalisme).
Sosio-nasionalisme mencita-citakan sebuah masyarakat yang di dalamnya tidak ada
lagi penindasan dan eksploitasi oleh suatu kelas terhadap kelas tertentu. Atau
pendek kata: sosio-nasionalisme adalah nasionalisme yang menghendaki
“masyarakat tanpa kelas” alias “masyarakat adil dan makmur”.
Untuk
mencapai itu, sosio-nasionalisme menawarkan beberapa hal. Pertama,
sosio-nasionalisme mempromosikan nasionalisme politik (politik nasional yang
berdaulat) dan nasionalisme ekonomi (ekonomi nasional yang berdikari).
Nasionalisme politik menjamin penyelenggaraan kekuasaan politik negara Republik
Indonesia tidak direcoki, apalagi didikte, oleh bangsa atau kekuatan asing.
Sementara nasionalisme ekonomi memastikan kedaulatan negara terhadap seluruh
kekayaan ekonomi nasional.
Kedua, sosio-nasionalisme menempatkan
kemerdekan nasional hanya sebagai “jembatan emas” untuk mencapai cita-cita
perjuangan yang lebih tinggi, yakni masyarakat adil dan makmur. Dengan
demikian, tujuan akhir perjuangan nasional bangsa Indonesia bukanlah pada
terbentuknya negara merdeka saja, melainkan terwujudnya masyarakat adil dan
makmur.
Ketiga, sosio-nasionalisme mengawinkan
antara semangat kebangsaan dan kemanusiaan. Dengan begitu, sosio-nasionalisme
mencegah nasionalisme Indonesia terjebak dalam nasionalisme sempit atau
chauvinis. Selain itu, sosio-nasionalisme menganggap perjuangan untuk
emansipasi nasional tidak terpisahkan dengan perjuangan bangsa-bangsa di
seluruh dunia untuk mewujudkan dunia yang adil dan beradab.
Dengan tiga
hal tadi, saya kira, kontribusi sosio-nasionalisme adalah menyediakan koridor
yang aman bagi perjuangan nasional Indonesia menuju cita-cita akhirnya, yaitu
masyarakat adil dan makmur. Dengan koridor itu, perjuangan nasional Indonesia
tidak berhenti pada pintu gerbang kemerdekaan, tetapi berlanjut hingga
masyarakat tanpa penindasan dan penghisapan terbentuk.
Kemudian
tawaran sosio-demokrasi. Sosio-demokrasi adalah antitesa dari demokrasi
parlementer yang dihasilkan oleh Revolusi Perancis. Sosio-demokrasi juga
menegaskan keberpihakan, yakni kepada rakyat-marhaen. Secara harfiah
sosio-demokrasi berarti demokrasi masyarakat atau demokrasi massa-rakyat.
Karena keberpihakan itu, sosio-demokrasi juga menolak borjuisme (kapitalisme)
dan keningratan (feodalisme).
Lantas
muncul pertanyaan, apa keterhubungan antara sosio-demokrasi dengan cita-cita
marhaenisme, yakni mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur?
Pertama, sosio-demokrasi mengidamkan sebuah
kekuasaan politik di tangan rakyat-Marhaen. Bentuk konkritnya adalah Staat (Negara)
Rakyat, dimana seluruh urusan ekonomi dan politik dikerjakan oleh rakyat,
dengan rakyat, dan untuk rakyat. Seperti ditegaskan oleh Soekarno dalam
risalahnya yang terkenal, Mencapai Indonesia Merdeka, tahun 1933:
“Urusan
politik, urusan diplomasi, urusan onderwijs, urusan bekerja, urusan seni,
urusan kultur, urusan apa sahaja dan terutama sekali urusan ekonomi haruslah di
bawah kecakrawartian Rakyat itu: Semua perusahaan-perusahaan-besar menjadi
miliknya staat, – staatnya Rakyat, dan bukan staatnya burjuis atau ningrat
semua hatsil-hatsil perusahaan-perusahaan itu bagi keperluan Rakyat,
semua pembahagian hatsil itu di bawah pengawasan Rakyat.”
Kedua, sosio-demokrasi mendorong
kepemilikan sosial terhadap alat-alat produksi dan sumber daya ekonomi. Inilah
pijakan bagi penerapan demokrasi ekonomi. Dengan demokrasi di lapangan ekonomi,
maka demokrasi di lapangan politik dan budaya menjadi sangat mungkin. Sebab,
ekonomi merupakan pangkal bagi kehidupan politik dan sosial-budaya. Siapa yang
mengusai sumber-sumber ekonomi, maka dia pula yang berjaya di lapangan politik
dan sosial-budaya.
Ketiga, dengan menyerahkan urusan ekonomi
dan politik di tangan rakyat, sosio-demokrasi menghilangkan pemisahan antara
ekonomi dan politik sebagaimana lazim terjadi di bawah kapitalisme. Urusan
pemenuhan kebutuhan ekonomi tidak lagi dianggap urusan individu semata, tetapi
menjadi urusan kolektif/publik.
Tetapi Bung
Karno tidak berhenti di gagasan. Dia juga menawarkan strategi politik. Kata
dia, untuk mewujudkan sosialisme Indonesia, revolusi Indonesia mesti berjalan
melalui dua fase: fase nasional-demokratis dan fase sosialisme. Dalam fase
nasional demokratis, kita akan mendirikan Negara Indonesia yang merdeka dan
demokratis. Sedangkan dalam fase sosialisme, kita akan mendirikan sosialisme.
Dalam fase nasional demokratis, sasaran pokok revolusi adalah mengakhiri
penindasan nasional (kolonialisme/imperialisme) dan menghancurkan sisa-sisa
feodalisme. Dalam fase ini, perjuangan kita adalah meremukkan kolonialisme di
lapangan politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Selain itu, akan dijalankan land-reform
sebagai upaya menghapuskan hak-milik tuan feodal dan mendemokratiskan kehidupan
rakyat di pedesaan.
Dalam fase
nasional-demokratis ini, ungkap Bung Karno, kita juga menyiapkan syarat-syarat
untuk dimulainya fase selanjutnya, yakni revolusi sosialis. Syarat-syarat itu,
antara lain, memajukan teknik/industrialisasi, mencerdaskan kehidupan rakyat,
mendorong demokratisasi seluas-luasnya, dan membangun mental dan kepribadian
sebagai sebuah bangsa.
Gagasan
Trisakti, yang mencita-citakan sebuah negara nasional yang berdaulat di bidang
politik, berdikari di lapangan ekonomi, dan berkepribadian secara budaya,
sebetulnya berada di tahapan di revolusi nasional-demokratis. Trisakti adalah
jalan untuk mewujudkan cita-cita sosialisme Indonesia.
Dalam buku Sarinah,
Bung Karno menyatakan bahwa konstitusi kita, yakni UUD 1945, mencerminkan
transisi dari negara nasional borjuis menjadi negara sosialis. “Undang-Undang
Dasar kita adalah Undang-Undang Dasar sebuah negara yang sifatnya di
tengah-tengah kapitalisme dan sosialisme,” kata Bung Karno. UUD 1945 itu, kata
dia, di satu sisi kakinya masih berpijak dalam bumi burgerlijk (kapitalistik),
tetapi di dalam kandungannya telah hamil dengan kandungan masyarakat sosialis.
Inilah konsep negara peralihan ala Bung Karno, yakni sebuah negara yang sedang
melakukan transisi ke sosialisme.
Kemudian,
tahap yang kedua, yakni revolusi sosialis, yang mengarah pada perwujudan
sosialisme Indonesia, yang tidak ada lagi kapitalisme dan l’exploitation de
l’homme par I’homme. Salah satu ciri utama dari sosialisme adalah
kepemilikan sosial terhadap alat produksi. Dan di sini, seperti ditekankan oleh
Bung Karno, negara hanya berfungsi sebagai organisasi atau alat, tetapi
pemilikan sosial yang sesungguhnya harus di tangan rakyat. (RH)
Comments
Post a Comment