Ideologi Kritik Mazhab Franfurt

Mazhab Frankfurt, sebagaimana dikenal dari namanya, adalah suatu gerakan pemikiran filosofis yang dikembangkan di Universitas Frankfurt mulai tahun 1930an. Bila yang “dilibatkan” dalam Mazhab Frankfurt adalah Horkheimer, Adorno, Marcuse, dan Habermas, maka gerakan tersebut identik dengan gerakan Teori Kritis. Namun ada pula ahli yang memahami mazhab tersebut lebih dari keempat tokoh tersebut, dan memasukkan Wellmer ke dalamnya (Geuss, 1989: 1). Menyebut Mazhab Frankfurt, sesungguhnya menyebut riwayat “tradisi intelektual” yang panjang. Horkheimer, Adorno, dan Marcuse adalah perintis gerakan pemikiran ini, yang kemudian sering pula disebut sebagai Generasi Pertama. Murid yang pernah ditolak oleh Horkheimer, Habermas, tidak dapat dilepaskan dari tradisi Mazhab Frankfurt. Ia disebut termasuk sebagai Generasi Kedua Madzab Frankfurt, sedangkan pada Institute for Social Research di bawah kepemimpinan Axel Honneth telah muncul Generasi Ketiga Mazhab Frankfurt.

Tradisi intelektual ini disebut sebagai “mazhab” lantaran beberapa tokoh yang terlibat di dalamnya disatukan oleh suatu proyek teoretis (Honneth, 1987: 347). Melalui “buku paling gelap” Dialectic of Enlightenment, Horkheimer dan Adorno mengkonsepsikan proses penghancuran diri Pencerahan (Habermas, 1992: 106). Seluruh proses peradaban manusia ditentukan oleh suatu logika reifikasi gradual yang dirangkai dalam gerak oleh tindakan pertama penguasaan terhadap alam dan memuncak pada munculnya Fascisme (Honneth, 1987: 360). Lantaran awalan yang demikian, banyak yang menilai bahwa proyek teoretis yang dibangun oleh Mazhab Frankfurt adalah “proyek teoretis yang muram” karena menyoroti ekses dan sisi gelap perkembangan masyarakat modern. Pertanyaan yang kemudian mengemuka: Apakah sedemikian “gelap” pembacaan mazhab ini atas masa depan masyarakat modern? Apakah mungkin, dalam kerangka “kritik ideologi”, analisis mereka diterima sebagai upaya rasional-etis untuk memperlihatkan konsekuensi-konsekuensi modernitas yang gambaran “muram”-nya semakin kelihatan nyata pada masyarakat kita sekarang ini?

Kritik Ideologi & Mazhab Frankfurt
Terdapat tiga tesis yang mencirikan “Teori Kritis” Mazhab Frankfurt, yakni: (1) Teori kritis memiliki titik pijak khusus sebagai pengarah tindakan manusia yang bertujuan untuk mencerahkan agen agar dapat menetapkan kepentingan mereka yang sesunggunya dan dengan demikian secara inheren bersifat emansipatoris, karena hendak membebaskan kesadaran manusia dari rasa frustasi. (2) Teori Kritis memiliki muatan kognitif, dalam arti, teori kritis merupakan bentuk-bentuk pengetahuan. (3) Teori Kritis secara epistemologis berbeda secara esensial dengan teori-teori yang dikembangkan dalam ilmu alamiah, karena teori ilmu alamiah “mengobjektivasi”, sedangkan teori kritis bersifat “refektif”. 

Teori Kritis dengan demikian merupakan suatu teori refleksif yang memberikan pada agen suatu jenis pengetahuan yang secara inheren mencerahkan dan emansipatoris (Geuss, 1989: 1-2). Anggota-anggota Mazhab Frankfurt berpegang pada tiga tesis tentang Ideologiekritik, yakni: (1) Bahwa kritik radikal atas masyarakat dan kritik atas ideologi yang dominan merupakan dua hal yang tak terpisahkan, dan dengan demikian kritik ideologi meski menjadi bagian integral dari riset sosial dari suatu teori kritis atas masyarakat. (2) Kritik ideologi tidak hanya merupakan sebentuk “kritisisme moral” yang tidak dapat dikritisi, namun merupakan suatu kiprah kognitif, suatu bentuk pengetahuan dan oleh karenanya dapat dikritisi. (3) Kritik ideologi (dan mestinya semua teori sosial yang menjadi bagiannya) memiliki struktur kognitif yang secara signifikan berbeda dari ilmu-ilmu alamiah (natural sciences), sehingga kritik ideologi perlu melakukan perubahan atas pandangan epistemologis yang diwarisi dari empirisme tradisional sebagaimana modelnya ditemukan dalam kajian-kajian ilmu kealaman (Geuss, 1989: 26). 

Kritik menjadi kritik ideologi bilamana kritik tersebut berusaha menunjukkan bahwa validitas suatu teori telah secara tidak memadai dicabut dari konteks tempat munculnya teori tersebut, dan bahwa di balik teori tersembunyi suatu campuran antara kekuasaan dan validitas yang tidak dapat diterima. Kritik ideologi hendak menunjukkan bagaimana konteks makna dan konteks realitas terbentuk dan bagaimana pula relasi internal dan relasi eksternal ini dijumbuhkan lantaran pengkaitannya dengan kekuasaan (Habermas, 1992: 116). Secara garis besar, bentuk kritik ideologi dapat dibedakan dalam tiga wujud: sebagai kritik atas dimensi epistemis dari ideologi, sebagai kritik atas dimensi fungsional ideologi, dan sebagai kritik atas sifat genetis ideologi sebagai bentuk kesadaran. Sebagai kritik dalam dimensi epistemis ideologi, yang digugat oleh Mazhab Frankfurt adalah “positivisme” di balik bangunan “empirisme logis” yang membangun ilmu alamiah. Oleh Positivisme dinyatakan bahwa pernyataan yang tidak memuat kandungan kognitif tidak dapat dinyatakan salah atau benar, dan dengan demikian nir-arti (meaningless). Rasionalitas positivisme kemudian dibangun atas dasar pada pernyataan-pernyataan deskriptif tentang fakta, dan dengan demikian menyingkirkan jenis pernyataan normatif dan metafisis dari kategori “rasionalitas” (Geuss, 1989: 26-28). Pertanyaan sederhana yang dapat diajukan: Adakah semesta realitas dan pengalaman manusia yang dapat dijadikan pegangan pengambilan keputusan “rasional” hanyalah yang “kognitif” saja? 

Tidakkah pernyataan-pernyataan preskriptif memiliki “rasionalitas”-nya sendiri? Jika tidak, bagaimana kemudian dapat ditentukan suatu perbuatan itu baik atau buruk? Bagaimana pula dengan pernyataan-pernyataan yang “non kognitif” tentang, misalnya, “keagungan ciptaan Tuhan”? Sungguhkan dalam penalaran logika empiris yang ketat tidak dapat disimpulkan bahwa “alam semesta diciptakan oleh Tuhan”? Yang konsistem dengan “jalan” empirisme logis memang akan sampai, setidaknya, pada academic atheism sebagaimana Bertrand Russell. Sebuah pendirian yang tidak mudah, karena bagi mereka sungguh-sungguh tidak ada satu pernyataan metafisis pun yang dapat dipercaya. Sekalipun Mazhab Frankfurt tidak sampai pada “perumusan positif” atas “epistemologi alternatif”, usaha mereka menunjukkan kelemahan dan keterbatasan “ideologi-epistemis” di balik positivisme jelas telah menyingkap kesadaran baru tentang adanya pluralitas rasionalitas. Kedua, kritik dalam kaitan dengan fungsi ideologi dalam membentuk kesadaran. Dalam konteks fungsional ini, ideologi sebagai suatu “gambaran dunia” memiliki kecenderungan untuk melegitimasi atau memapankan dominasi (Geuss, 1989: 31). 

Baik dalam konteks ideologi sebagai “gambaran dunia yang salah” (yang akan sangat tergantung pada konteks sosio-kultural) maupun terkait dengan fungsinya yang merepresi kesadaran (agar tetap menerima “gambaran dunia yang salah” tersebut), sejarah peradaban manusia menunjukkan bahwa serangkaian norma dan pengetahuan tertentu secara ideologis memang digunakan oleh yang dominan untuk melegitimasi diri mereka (baik sebagai Tuhan, dewa, raja, dukun, dosen, dlsb). Terdapat hubungan “dialektis” antara “legitimasi kognitif-normatif” ideologi dengan “fungsi represi” atau “fungsi pemapanan” ideologis. Pada satu sisi legitimasi yang dominan bergantung pada kepercayaan (kognitif-normatif) terhadap “ideologi”, pada sisi lain melalui “ideologi” sengaja dibangun struktur kesadaran yang melanggengkan dominasi. Ketiga, kritik dalam konteks genesis bentuk kesadaran. Pertanyaan yang mengemuka: dapatkah suatu bentuk kesadaran dapat “salah” terkait dengan asal usul, sejarah, atau genesis kesadaran tersebut? (Geuss, 1989: 36) Contoh yang lazim mengambil dari perspektif “jangkar sosial” sebagaimana ditawarkan oleh Marx, bahwa kesadaran (palsu) dibentuk oleh struktur sosial, atau bentuk kesadaran yang terbangun mewakili realitas sosial dari kelas sosial (Geuss, 1989: 37). Namun dari perspektif semacam ini muncul persoalan epistemis yang bila tidak diselesaikan dengan baik akan membawa pada relativisme epistemis. Model kritik genetis ini juga dapat ditemukan pada analisis ideologi yang didasarkan pada paradigma psikologis Freudian, yang sekalipun terbukti salah, tidak cukup bukti, atau memiliki bukti yang lemah, suatu ideologi tetap dipegang oleh orang karena memenuhi harapan (Geuss, 1989: 40). Adapun model lain dari kritik ideologi yang genetis juga ditemukan pada kritik Nietzche terhadap Kekristenan (Geuss, 1989: 44). 

Pertanyaan yang kemudian muncul: dari perspektif genetis ini, apakah setiap ideologi kemudian meski “ditinggalkan” bilamana ditemukan bahwa pada dasarnya delutif atau ilutif? Bila “norma” ini dipegang, ujung jalan yang ditemukan akan “sama” dengan sikap Positivisme yang menolak semua pernyataan metafisis, walau jelas mereka berangkat dari titik yang berbeda. Mungkin pijakan kritik genetis atas ideologi cukup dipakai sebagai “sikap metodis” agar kita tidak secara buta berpegang pada ideologi tertentu dan tetap memelihara sikap pikir terbuka, mengingat bisa jadi pijakan genetis ideologi adalah suatu “sumur tanpa dasar”. Berpijak pada pengenalan model-model kritik ideologi ini (yang tentu sudah dikenali melalui SKI sebelumnya), berikut diulas secara singkat pokok-pokok pikiran Mazhab Frankfurt. Tokoh tidak dibahas satu per satu secara khusus, namun diupayakan terpapar gambaran menyeluruh dari kritik ideologi yang dikembangkan oleh Mazhab Frankfurt. Sumber pokok diambil dari “orang dalam”, yakni Axel Honneth yang kiranya “paling mewakili” semangat dan pemahaman filsafat tentang Mazhab Frankfurt.

Pokok-pokok Pikiran Mazhab Frankfurt

Arah metodologis Teori Kritis yang dikembangkan oleh mazhab tersebut berbeda dengan pendekatan lain karena hendak menerobos pembatasan ilmu-ilmu khusus. Tujuan utama Teori Kritis adalah penggunaan secara sistematis semua disiplin ilmu sosial dalam rangka membangun sebuah teori materialis tentang masyarakat. Teori Kritis sebagaimana awalnya dirintis oleh Horkheimer bermaksud hendak membuka ruang bagi kemungkinan dihasilkannya penggabungan akademik antara ilmu sosial dan teori Marxis. Oleh karenanya, ketika Horkheimer menjadi direktur menggantikan Grünberg, ia menerima berbagai usulan agar lembaga yang dipimpinnya meski memberi sarana dan memfasilitasi realisasi program suatu teori masyarakat yang interdisipliner (Honneth, 1987: 348-349). Kecenderungan teori sosial sebelumnya memang selalu memisahkan penelitian empiris dengan pemikiran filosofis. Pemisahan yang sebelumnya telah memicu Hegel untuk mengatasinya melalui Idealismenya. Hasrat yang dibangun oleh Idealisme abad ke 19 melalui filsafat sejarah adalah sebuah kajian filsafat sejarah yang mampu mengikat secara bersama penelitian empiris dan refleksi filosofis. Harapan ini justru membawa hasil yang sebaliknya. Di abad ke 20 pengetahuan empiris mengenai realitas oleh Positivisme direduksi hanya sebagai kajian tentang fakta semata, dan dipisahkan dari refleksi filosofis manapun. 

Pada sisi lain, metafisika melalui filsafat Max Scheler dan Nicolai Hartman, merefleksikan rasio sebagai spekulasi tentang esensi yang independen terlepas dari rujukan realitas historis dan empiris. Horkheimer hendak menyerap kembali semangat filsafat sejarah abad ke 19, dan menetapkan bahwa dasar dari teori kritis tentang masyarakat pertama-tama meski berangkat dari pengandaian yang mengatasi keretakan intelektual antara penelitian empiris dan filsafat. Secara epistemologis, artikel-artikel Horkheimer dan Marcuse diarahkan sebagai sebuah kritik sistematis atas positivisme, secara metodologis artikel-artikel tersebut ditujukan pada sebuah konsep tentang penelitian interdisipliner (Honneth, 1987: 350). Epistemologi materialis pada Marx awal merupakan pijakan penting dari kritik Institute for Social Research atas positivisme. Horkheimer mengadopsi pendekatan ini dari Lukacs, dan pada sisi lain Marcuse menerimanya dari Heidegger. Namun keduanya berangkat dari pemahaman bahwa ilmu-ilmu empiris melalui metodologinya ditentukan oleh tuntutan adanya pembagian kerja dalam masyarakat, yang sebagaimana hakikat fisik berjangkar pada keadaan alamiah, demikian pula aktivitas kerja telah diarahkan terlebih dulu pada aras pra-ilmiah (Honneth, 1987: 350-351). 

Namun demikian, dengan mengklaim status “alamiah” ini, Positivisme telah memutuskan hubungan pengetahuan ilmiah dari jangkar sosial kesadaran, dan juga dari tujuan-tujuan praktis pengetahuan itu sendiri. Atas dasar kesalahan perspektif Positivistis yang demikian, Horkheimer dan Marcuse menyatakan bahwa “Teori Kritis” meski dipahami sebagai sebuah teori yang secara tetap sadar akan konteks sosial yang memunculkan teori itu sendiri di samping memperhatikan konteks praktis dari penerapan teori itu. Dengan perspektif yang demikian, maka Teori Kritis dapat menentukan posisi dan perannya sendiri dalam proses sejarah, dan dengan demikian tidak berlaku lagi pemilahan antara filsafat dan ilmu. Sekalipun telah merumuskan orientasi metodologis Teori Kritis, pada tahun tigapuluhan, Horkheimer dan Marcuse masih berpegang pada asumsi bahwa proses perkembangan kekuatan-kekuatan produksi merupakan pusat mekanisme kemajuan sosial. Melalui asumsi ini mereka hendak menggantikan praanggapan idealis Hegel tentang proses sejarah dengan premis-premis materialis (Honneth, 1987: 351-352). Dalam perspektif metodologis yang demikian, suatu teori kritis tentang masyarakat meski menggunakan semua spektrum disiplin ilmu sosial dalam rangka membangun kemampuan untuk mengapropiasi konflik yang berkembang antara kekuatan-kekuatan produksi dengan relasi-relasi produksi. Orientasi pengembangan kajian sosial yang demikianlah yang kemudian menjadi penentu program riset Institute for Social Research pada era tahun tigapuluhan. Horkheimer muda melihat bahwa proses semakin membesarnya integrasi kelas pekerja masuk ke dalam sistem kapitalisme lanjut sebagai kecenderungan yang paling menonjol pada masanya (Honneth, 1987: 352). 

Hasrat untuk membangun kajian sosial yang integratif nampak dalam upaya Horkheimer untuk mengkontruksi analisis sosial interdisipliner dengan menempatkan ekonomi politik sebagai pusat yang mengantarai filsafat sejarah dan ilmu-ilmu khusus dengan maksud mampu merangkum, yang dari sudut pandang empiris dapat menangkap gambaran yang sesungguhnya atas proses-proses produksi, dan yang dari sisi perspektif filsafat sejarah dapat menangkap tahap-tahap realisasi rasio. Horkheimer menilai bahwa tugas yang demikian tidak dapat dipenuhi oleh psikologi Freud, dan oleh karenanya perlu disiplin yang ketiga yang meski dibangun antara ekonomi politik dan psikologi, karena secara sosial pengaruh perubahan tidak langsung mengenai jiwa individu, namun lebih berimbas secara kultural. Horkheimer membayangkan suatu teori kebudayaan yang mengkaji syarat-syarat kultural bagi sosialisasi individual dalam masyarakat kapitalis lanjut. Berpijak pada ramuan dari tiga disiplin tersebut, Horkheimer menetapkan bahwa tugas utama teori kritis adalah menggabungkan analisis ekonomis kapitalisme fase post-liberal, kajian psikologi sosial tentang integrasi sosial individu, dan analisis teoritis kultural tentang cara berjalannya budaya massa. Sekalipun secara teoritis Institute for Social Research hendak menggabungkan analisis politik ekonomi, psikologi, dan budaya, pada kenyataannya Horkheimer dan sejawatnya mampu membangun suatu kesatuan teoritis hanya dengan menggunakan kembali fungsionalisme Marxis (Honneth, 1987: 353). Berdasar analisis ekonomis atas Sosialisme Nasional dan Komunisme Soviet, Horkheimer sampai pada kesimpulan bahwa suatu bentuk ekonomi yang terencana dari kapitalisme telah terbentuk dalam melalui media pengarah pasar telah digantikan oleh kekuasaan birokratis. 

Manajemen kapitalis yang dipegang oleh konglomerat digantikan oleh elit kekuasaan politis dengan dukungan integrasi sosial yang dibangun melalui dominasi administratif yang terpusat. Mengapa individu tanpa perlawanan tunduk pada sistem dominasi yang terpusat secara administratif? Oleh Fromm melalui analisis psikologi sosial ditemukan bahwa perkembangan tatanan negara kapitalis memerlukan suatu perubahan struktural dalam keluarga inti masyarakat sipil, bersamaan dengan perubahan basis ekonomis yang tidak lagi hanya bertumpu pada otoritas patriakal. Dalam pandangan Horkheimer, kecenderungan tersebut bila dilihat dari analisis kultural sejalan dengan citra yang sengaja dibuat oleh kapitalisme dalam rangka integrasi sosial (Honneth, 1987: 353-355). Jika Horkheimer tidak terjebak pada fungsionalisme Marxian, ia sesungguhnya dapat melihat bahwa subjek sosialisasi bukanlah subjek yang pasif dan anonim, melainkan subjek yang secara aktif berpartisipasi melalui pemahamannya sendiri atas proses-proses sosial yang terjadi (Honneth, 1987: 355). Dengan demikian, gambaran keseluruhan integrasi sosial bagi Horkheimer adalah sebuah kehidupan sosial yang melemahkan dirinya sendiri dalam suatu lingkaran tertutup dominasi yang terpusat, dengan kontrol kultural dan individu yang tunduk. Jika gambaran masyarakat yang demikian dialamatkan pada Fasisme dan Stalinisme mungkin mendapatkan pembenaran historisnya. Namun apabila ditilik dari sudut pandang sistematis, gambaran masyarakat yang demikian dengan sendirinya menunjukkan kontruksi teoritis yang salah. 

Kerangka teoritis Horkheimer secara sistematis menyingkirkan keyakinan moral dan orientasi normatif dari tindakan sosial. Program metodologis Horkheimer hanya dirancang untuk memberi tempat pada proses-proses sosial yang mengasumsikan proses produksi dan perluasan kerja sosial. Kecenderungan reduksionisme fungsionalis ini sesungguhnya berakar pada premis-premis filsafat sejarah yang dipegang oleh Horkheimer, Marcuse dan Adorno (Honneth, 1987: 356). Terdapat dua premis teoretis yang menentukan kerangka konseptual filsafat sejarah dalam karya-karya Horkheimer, Marcuse, dan Adorno. Pertama, ketiganya berasumsi bahwa rasio manusia atau rasionalitas meski dipahami sebagai kemampuan intelektual untuk penyelesaian instrumental atas objek-objek alamiah. Kedua, ketiganya sepakat bahwa perkembangan historis yang mengatasi segala hal merupakan sebuah proses pengembangan potensi rasionalitas yang pada hakikatnya dirancang sebagai penanganan instrumental manusia atas objek-objek alamiah. Dengan demikian, gaya fungsionalis dari program penelitian Horkheimer pada dasarnya merupakan konsekuensi metodologis dari reduksionisme yang berjangkar pada filsafat sejarah (Honneth, 1987: 357). Senyatanya, penelitian sosial interdisipliner sebagaimana digagaskan pada tahun tigapuluhan, hanya dapat bertahan hingga tahun awal empatpuluhan. 

Nuansa pesimistis semakin kuat dalam kajian-kajian Horkheimer, bahkan didominasi oleh paparan-paparan tentang potensi-potensi merusak rasio manusia. Yang terjadi dengan Adorno pun senada. Filsafat Adorno yang memuat skeptisisme terhadap kemajuan dan tempat yang terhormat bagi muatan estetis pengalaman, tidak lepas dari kerangka filsafat kesadaran yang telah dibangun oleh Horkheimer. Kondisi yang terbentuk akibat totalitarianisme Fasisme tidak lagi dilihat dengan kerangka Marxian, yakni sebagai konflik antara kekuatan-kekuatan produksi dan relasi produksi, namun dipahami sebagai dinamika internal pembentukan kesadaran manusia. Horkheimer melihat bahwa telah terjadi proses reifikasi pemikiran yang muncul bersamaan dengan proses penguasaan alam oleh manusia. Horkheimer dan Adorno menggunakan konsep “rasio instrumental” untuk menggambarkan proses reifikasi esadaran tersebut (Honneth, 1987: 358-359). Arah perkembangan orientasi metodologis yang cenderung menyoroti sisi negatif dari seluruh proses kebudayaan dan melihat seluruh peradaban manusia ditentukan oleh logika reifikasi gradual yang terangkai dengan tindakan penguasaan manusia atas alam, memberi corak negatif dan pesimistis pemikiran Teori Kritis tahun empat puluhan. 

Bahkan Horkheimer dan Adorno menyatakan bahwa setiap langkah ke arah penguasaan alam merupakan langkah menuju alineasi diri spesies manusia. Ketidakmampuan Horkheimer dan Adorno melihat dimensi kemajuan peradaban yang nampak bukan pada bertambahnya kekuatan-kekuatan produksi, tetapi pada meluasnya kebebasan hukum dan tindakan sosial, telah “membalikkan” maksud Teori Kritis sebagai kajian interdisipliner yang melibatkan berbagai disiplin ilmu sosial menjadi kajian khusus pada wilayah filsafat saja (Honneth, 1987: 360-361). Dengan upayanya masing-masing, pada pemikiran Franz Neuman, Otto Kirchheimer, Walter Benjamin, dan Erich Fromm, yang juga disebut sebagai “outer circle”, sesungguhnya muncul usaha untuk tetap membangun kajian interdisipliner (Honneth, 1987: 362-370), namun kajian-kajian mereka tidak pernah dapat menghapus nada muram Teori Kritis sebagaimana telah dikembangkan oleh Horkheimer dan Adorno. Setelah Perang Dunia II “lingkaran luar” (Neuman, Kircheimer, Benjamin, dan Fromm) putus hubungan dengan “lingkaran dalam” (Horkeimer, Adorno, dan Marcuse), karena migrasi ke Amerika. Ketika Institute for the Social Research dibuka kembali di Frankfurt tahun 1950, riset-riset yang dikembangkan tidak satu orientasi metodologis lagi dengan corak filsafat sosial yang dikembangkan oleh Horkheimer dan yang lain pada tahun 30-an dan 40-an. Setelah usai masa peperangan, orientasi untuk mengembangkan studi yang menggabungkan studi empiris dengan refleksi filosofis tidak ada lagi (Honneth, 1987: 370). Kajian-kajian yang dikembangkan oleh Horkheimer, Adorno, dan Marcuse lebih pada kritik kebudayaan dengan menjadikan kapitalisme negara sebagai kerangka umum analisis kapitalisme paska perang. Kehidupan sosial kemudian lebih dilihat sebagai suatu sistem pengekangan yang terintegrasi, yang bersifat tetap dan tak terbantahkan. 


Walaupun demikian ketiganya tetap mengembangkan corak teori kritik masyarakat masing-masing. Horkheimer, melalui pesimisme yang dijabarkannya dari Schopenhauer, sampai pada suatu bentuk teologi negatif. Adorno mengembangkan suatu kritik diri tentang pemikiran konseptual dengan berpijak dari analisis atas karya-karya seni. Hanya Marcuse yang memberikan reaksi atas pesimisme yang muncul pada saat itu dengan berupaya menyelamatkan gagasan tentang revolusi yang dinilainya telah hilang, dengan cara mendorong peran rasio masuk ke dalam penjelasan paradigmatik kebutuhan-kebutuhan manusia yang libidinal. Terlepas dari perbedaan tujuan masing-masing, latar filsafat sejarah secara umum tetap ditemukan dalam ketiganya. Suatu filsafat sejarah yang dipahami sebagai sebuah proses rasionalisasi teknis yang semakin mendekati bentuk akhirnya dalam sistem dominasi tertutup masyarakat dewasa ini (Honneth, 1987: 371). Kita dapat saja memang menunjukkan kelemahan argumentasi ketiganya dengan secara inversi memakai balik model-model kritik ideologi untuk “mengupas” ideologi Mazhab Frankfurt, namun pesan kemanusiaan yang hendak disampaikan para pemikir tersebut bisa jadi justru lepas dari cakrawala kesadaran kita. Dan dengan demikian semangat emansipatoris yang hendak dibangun melalui kritik ideologi juga akan runtuh.

Mazhab Frankfurt dengan Teori Kritisnya atau dengan Kritik Ideologinya pada satu sisi berupaya menguak keretakan kultural masyarakat modern dan pada sisi lain hendak mencari kerangka pikir baru untuk menyelamatkan peradaban manusia dari perkembangan modernitas. Memang muncul beberapa kritik terhadap Mazhab Frankfurt. Cakupan dan rentang penelitian yang luas dari orang-orang yang terlibat dalam Mazhab Frankfurt dinilai sebagai perkembangan yang inkonsisten dengan rancangan awal proyek mereka, dan inkonsistensi ini dianggap sebagai kelemahan paling mendasar dari Teori Kritis (Honneth, 1987: 347). Para pendukung Cultural Studies menuduh bahwa terdapat indikasi kesukaan Mazhab Frankfurt pada “budaya tinggi” (Agger, 2003: 183), walau gagasan Mazhab Frankfurt juga menjadi inspirasi dan dipraktekkan oleh para environmentalis dan teoretisi teknologi dan alam seperti SF Schumacher dengan teknologi tepatnya (Agger, 2003: 176). Pada sisi lain, terdapat “perubahan perspektif” yang cukup signifikan pada Mazhab Frankfurt Generasi Kedua. Bila Generasi Pertama cenderung menolak upaya membangun suatu “filsafat sistematis”, Habermas sebagai Generasi Kedua membangun pendekatan yang berbeda. dengan Horkheimer, Adorno dan Marcuse tentang filsafat. Sebagai contoh, sementara Adorno menyatakan bahwa tidak terdapat dasar yang utama untuk pengetahuan dan nilai, Habermas mempertahankan posisi yang berlawanan dengan itu. Dia menolak antipati Adorno dan Horkheimer terhadap pemikiran sistematik. Semua perhatian dari karyanya – perluasan dan apropriasi dari berbagai tradisi filsafat dan pemikiran sosial yang saling bersaing, perumusan kembali dasar-dasar teori sosial, dan pengungkapan keunggulan yang satu atas yang lain – secara nyata berbeda dengan perhatian utama teoritikus Frankfurt. Serangkaian debat publik dengan Hans-Georg Gadamer terkait dengan hermeneutika, dan Niklas Luhmann terkait dengan teori sistem, telah mendorong perkembangan pemikirannya pada pergantian perkembangan beberapa gagasannya. Karena pendekatan yang demikian, karya Habermas dikenal pula sebagai suatu ekletisme yang umum (Held, 1980: 252). 

Atas dasar paparan yang sangat singkat dan elementer ini, “ideologi kritik” sebagaimana yang dikembangkan melalui “Kritik Ideologi” oleh Mazhab Frankfurt membawa pesan yang jelas, yakni bahwa perspektif yang terbangun melalui tradisi ilmiah-akademis sesungguhnya memiliki kaitan yang sangat erat dengan kesalahan persepsi kita tentang ilmu, diri, dan alam di luar diri. Sekalipun Mazhab Frankfurt sering dinilai memiliki pandangan yang timpang lantaran cenderung hanya melontarkan “kritik kebudayaan” tanpa tawaran “strategi kebudayaan”, pilihan sebagai “anjing yang menggonggong” tetap merupakan pilihan yang positif di tengah kencangnya laju “lokomotif perubahan” yang menurut Giddens tidak satu pun mampu mengendalikan arah dan kecepatannya. “Dasar iman” dari Kritik Ideologi adalah selalu membuka diri dan mempertanyakan kembali asumsi-asumsi yang mendasari pemahaman kita tentang diri dan semesta realitas. Dengan “iman” yang demikian, kita setidaknya lebih sadar diri terhadap arah perubahan jaman, sekalipun kita tahu bahwa kita tidak bakal dapat menghentikan laju dan arah lokomotif modernitas yang akan membawa anak cucu kita pada kutukan “kejar daku, kau kutangkap”, yakni “hasrat menguasai segalanya, namun berakhir dengan dikuasai oleh segalanya”…. Sekalipun beberapa pembacaannya atas arah perubahan jaman benar, Horkheimer-Adorno-Marcuse (di alam sono) tentu tetap prihatin jurang yang menganga yang menunggu masyarakat modern. Namun pilihan sikap pesimistis ataukah optimistis tentu meski didasarkan atas kalkulasi yang lengkap melalui kajian interdisipliner sebagaimana yang pernah hendak dibangun oleh Generasi Pertama Mazhab Frankfurt. Terlepas dari “pilihan eksistensial” kita, kurang elok kiranya bila kita juga tidak belajar dari Generasi Kedua Mazhab Frankfurt, yang rencananya akan disampaikan setelah pokok bahasan ini.

* S. Tjahyadi*

Literatur:

Agger, Ben, 2003, Teori Sosial Kritis, Kritik, penerapan dan implikasinya (Asli: “Critical Social Theories”, penerjemah: Nurhadi), Kreasi Wacana, Yogyakarta
Geuss, Raymond, 1989, The Idea of A Critical Theory, Habermas & the Frankfurt School, Cambridge University Press, Cambridge
Habermas, Jürgen, 1992, The Philosophical Discourse of Modernity, Twelve Lectures, (asli: 1985, “Der philosophische Diskurs derModerne: Zwölf Vorlesungen, penerjemah: Frederick Lawrence), Polity Press, Cambridge
Held, David., 1980, Introduction to Critical Theory, Horkheimer to Habermas, University of Callifornia Press, Berkeley
Honeth, Axel, 1987, “Critical Theory”, dalam: Giddens, A.,& Turner, J., ed., Social Theory Today, Stanford University Press, California

Comments

Popular Post