Nahdlatul Ulama (NU) Aswaja dan Nasionalisme

Dengan didirikannya jam’iyah Ahlussunnah wal-Jama’ah (Aswaja). Ahlussunnah wal-Jama’ah, adalah sebuah aliran atau paham yang berpegang teguh kepada al-Qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas. KH Bisri Musthofa mendefinisikan Aswaja yaitu aliran yang menganut madzhab fiqh yang empat, Imam Syafi’I, Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Beliau juga menyebutkan, Aswaja merupakan paham yang mengikuti al-Asy’ari dan al-Maturidi  dalam bidang akidah, sementara dalam bidang tasawuf mengikuti Junaid al-Bagdadi dan Imam Ghazali.

Paham Aswaja ini banyak diikuti oleh mayoritas umat Islam di Indonesia khususnya diikuti oleh warga NU, yang di dalamnya mempuyai beragam konsep yang jelas dilandasi dengan dalil-dalil yang qath’i. Adapun salah satu konsep yang terkandung dalam ajaran Aswaja yaitu, tawasut, tasamuh, tawazun, dan amar ma’ruf nahi mungkar.

Yang dimaksud tawasuth (moderat), adalah sebuah sikap keberagamaan yang tidak terjebak terhadap hal-hal yang sifatnya ekstrim. Tasamuh, sebuah sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang menerima kehidupan sebagai sesuatu yang beragam. Tawazun (seimbang), adalah sebuah keseimbangan keberagamaan dan kemasyarakatan yang bersedia menghitungkan berbagai sudut pandang, dan kemudian mengambil posisi yang seimbang proporsional. Amar ma’ruf nahi mungkar, mengajak kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran.

Buku Risalah Ahlusunnah Wal-Jama’ah ini, disusun oleh Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur yang salah satu tim penulisnya adalah, KH Abdurrahman Navis, Muhammad Idrus Ramli, dan Faris Khairul Anam. Dari ketiga tim tersebut, adalah pakar yang tidak diragukan lagi kealiman ilmunya, seperti Ustad Idrus Ramli yang sudah banyak melahirkan banyak karya tentang Aswaja. Salah satu tujuan disusunnya buku ini, yaitu sebagai modul bahan bacaan, dan pegangan warga NU agar supaya paham apa itu makna Aswaja, apa yang terkandung di dalamnya, dan bagaimana cara mengaplikasikannya dengan baik dan sempurna.

Ajaran Ahlussunnah wal-Jama’ah, adalah  sebagai benteng akidah amaliah warga NU. Tantangan besar yang dihadapi warga NU, yaitu mewaspadai beberapa aliran yang akhir-akhir ini mulai berkembang besar di Indonesia. Salah satunya, seperti aliran Salafi Wahabi, Hizbut Tahrir, Majlis Tafsir al-Qur’an (MTA), Syi’ah, yang ajaran ideologinya telah bertentangan dengan Aswaja. Misi mereka adalah mengadu domba umat Islam, menuduh bahwa perbuatan yang dilakukan oleh warga NU bid’ah, syirik, dan tidak ada dalilnya dalam al-Qur’an dan hadits. Tuduhan-tuduhan yang sudah meresahkan masyarakat tersebut sudah bebas di akses dimana-mana, baik melalui media cetak, elektro, buku, bahkan mereka mulai berani berdakwah di masjid, mushalla, majlis ta’lim, dan di komplek-komplek perumahan.

Adapun amaliah dan tradisi islami warga NU, yang diklaim bid’ah dan termasuk perbuatan syirik oleh mereka adalah, tradisi ngapati, mitoni, tingkepan, mengiringi jenazah dengan bacaan tahlil, talqin saat pemakaman jenazah, ziarah kubur, selamatan dalam 7 hari kematian, memberikan jamuan makan kepada para pentakziah, membaca al-Qur’an di kuburan, istghosah, tahlilan, yasinan, dan diba’an. Sementara di dalam buku yang sederhana ini, dijelaskan bahwa tradisi tersebut tidak termasuk perbuatan bi’ah dan bukan perbuatan yang diharamkan. Dalil-dalilnya shahih, seperti yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an, hadist, dan kitab-kitab klasik yang telah muktabar dikalangan para ulama.

Menariknya di dalam buku ini, menjelaskan beberapa aliran yang telah berkembang degan pesat di negara kita ini, seperti Syi’ah, Wahabi Salafi, Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir (HTI), Jama’ah Tabligh, Jama’ah Islamiyah, Ahmadiyah, Jama’ah Ansharut Tauhid, Fron Pembela Islam (FPI), mulai dari pengertian, sejarah berdirinya, hingga ajaran dan penyimpangannya yang telah bertentangan dengan ajaran Ahlussunnah wal-Jama’ah. Dan tak kalah menariknya juga dijelaskan tentang “Fikrah Nahdliyah” (metode berfikir ke NU-an). Sesuai keputusan Musyawarah Nasional Ulama di Surabaya “Fikrah Nadliyah”, didefinisikan sebagai kerangka berfikir yang didasarkan pada ajaran Ahlussunnah Waljama’ah yang dijadikan landasan berfikir Nahdlatul Ulama (Khittah Nadliyah) untuk menentukan arah perjuangan dalam rangka ishlah al-ummah (perbaikan umat) hal. 167.

Buku ini penting dibaca oleh siapa saja lebih-lebih dibaca oleh kader-kader muda NU yang masih mempunyai keyakinan bahwa amaliah dan tradisi yang selama ini kita yakini bukanlah perbuatan bid’ah seperti yang dituduhkan oleh kelompok Salafi Wahabi. Amaliah dan tradisi yang kita lakukan selama ini adalah perbuatan disunnahkan, yang tentunya dapat pahala bagi yang melakukannya.
Nahdlatul Ulama (NU), diantaranya bertujuan untuk memperjuangkan dan membentengi ajara.

Sebagaimana aliran lain yang lahir pada abad pertengahan, Ahlussunnah waljama'ah merupakan aliran yang holistik (menyeluruh), Aswaja mencakup pandangan tentang realitas (ontology), pandangan tentang pengetahuan dan pandangan tentang tata nilai (aksiologi), kemudian masih dilengkapi lagi pandangan mengenai masa depan yang dijanjikan (eskatologi). Pandangan holistik, berasumsi bahwa sebuah aliran mampu menjawab dan mengatur segala aktivitas manusia di segala bidang, pandangan itu memang merupakan ciri khas dari pemikiran skolastik. Sementara pandangan holistik tentang Aswaja itu oleh kalangan NU dirumuskan, sebagai landasan berpikir, bersikap dan bertindak, Sedangkan kalangan Islam revivalis merumuskan Aswaja sebagai teori dan praktek yang menyangkut dimensi lahir dan batin. Pandangan yang serba meliputi itu dirinci dalam berbagai disiplin keilmuan dan agenda kegiatan sosial. Oleh kanem itu dalam pengertian kontemporer Aswaja tidak hanya meliputi doktrin teologi (akidah). tetapi telah dikembangkan sebagai ideologi pembaruan sosial.

Walaupun Aswaja mengklaim sebagai system yang menyeluruh. tetapi sulit sekali menemukan kitab atau literatur, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Arab yang membahas atau memaparkan pandangan Aswaja yang menyeluruh seperti yang mereka klaim selama ini. Aswaja yang dirutuskan KH. Hasyim Asy'ari(1)  misalnya, walaupun telah mencakup bidang akidah, fikih dan tasawuf, tetapi tidak mencakup bidang filsafat dan politik, walaupun bidang politik ini juga dibahas di lain kesempatan, dalam Resolusi Jihad misalnya, bisa dimasukkan dalarn sistem Aswaja yang ia bangun. Kemudian kalangan NU sebagaimana lazimnya melihat bahwa filsafat NU adalah Ghazalian sementara politiknya Mawardian dan sebagainya. Semuanya itu lebih banyak dipraktekkan ketimbang dirumuskan secara konseptual.

Upaya menyusun Aswaja secara sistematis sebagai sebuah aliran pemikiran dan gerakan yang holistik telah banyak diupayakan, seperti yang digagas oleh Lakpesdam Yogyakarta dengan bukunya Teologi Pembangunan (1988)(2). Kritik serius yang diarahkan pada Aswaja konvensional itu akhirnya juga direspon oleh para ulama NU yang berusaha mendefinisikan kembali Aswaja secara lebih mencakup. Tetapi usaha ini banyak mendapat sandungan karena para ulama masih belum beranjak dari konsep lama yang melihat Aswaja hanya sebatas akidah.(3) Kemudian juga dalam buku yang ditulis oleh PBPMII, (1997)(4) yang hampir mencakup seluruh aspek kehidupan, hanya sayangnya karena lemahnya kerangka filosofis, maka berbagai aspek yang diuraikan antara pandangan Aswaja di bidang keilmuan, social, politik dan ekonomi tidak saling berkaitan, secara logis, karena lebih menekankan segi-segi aktivismenya. Dalam karya Syeikh Abdul Hadi al Misri,(5) sebenarnya berpretensi menampilkan Aswaja yang utuh, tetapi sekali lagi ia gagal menjelaskan relasi Aswaja dengan perkembangan masyarakat kontemporer, akhirnya kembali pada tradisi lama, yang hanya berputar di sekitar pembahasan akidah. Sementara Karya Ali Asghar lebih menekankan dimensi aktivismenya, maka ia hanya mengekspos segi-segi pembebasan dari doktrin Islam. Sebenarnya yang cukup lengkap adalah yang dirumuskan oleh Hassan Hanafi, hanya saja tersebar di berbagai kitab sehingga perlu  perhatian khusus untuk memahaminya.

Uraian di atas menunjukkan bahwa sebagai upaya untuk mewujudkan klaim bahwa aswaja merupakan ajaran yang holistik. masih merupakan agenda dan masih perlu digarap serius. Pandangan semacam itu diperlukan agar Aswaja peduli dengan perkembangan masyarakat kontemporer, baik dari segi pemikiran keilmuan hingga ke masalah pergerakan sosial politik, untuk menegakkan keadilan dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu Aswaja tidak lagi bisa diterima apa adanya, sebagaimana ketika diwariskan oleh para leluhur kepada kita, melainkan diperlukan reformulasi dan terobosan baru, sesuai dengan perkembangan aspirasi umat manusia dewasa ini.

Gerakan Aswaja kontemporer bukan lahir dari persoalan pemahaman terhadap doktrin, tetapi lebih didorong oleh terjadinya pergumulan sosial yang terjadi di Dunia Ketiga pada umumnya dalam menghadapi represi dari negara otoriter dan eksploitasi dari kapitalisme dunia atas nama pembangunan dan kemajuan. Maka di situlah gerakan teologi kontemporer merumuskan agenda emansipasi social, dan berusaha menciptakan persaudaraan kemanusiaan universal (ukhuwah insaniyah) sementara Aswaja klasik sangat menekankan doktrin najiyah-, sehingga tanpa disadari menjadikan Aswaja sebagai doktrin yang eksklusif, yang menuduh aliran lain sebagai sesat, bahkan kafir, padahal aliran ini megklaim diri bersikap kejamaahan (inklusif), rnaka sikap najiah bertentangan dengan prisip jamaah. Maka gerakan baru ini mempertegas Aswaja dengan prinsip kejamaahan serta menolak doktrin najiah yang mengeksklusi pihak lain di luar kelompoknya secara semena-mena. Dengan berpegang pada prinsip jamaah tidak berarti mengikuti ajaran mereka, melainkan menjadikan mereka yang berbeda sebagai mitra dialog dalam mencari kebenaran.

Kelahiran Aswaja, atau lebih tepatnya terminologi Aswaja, merupakan respon atas munculnya kelompok-kelompok ekstrem dalam memahami dalil-dalil agama pada abad ketiga Hijriah. Pertikaian politik antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Gubernur Damaskus, Muawiyah bin Abi Sufyan, yang berakhir dengan tahkim (arbitrase), mengakibatkan pendukung Ali terpecah menjadi dua kubu.

Kubu pertama menolak tahkim dan menyatakan Ali, Muawiyah, Amr bin ‘Ash, dan semua yang terlibat dalam tahkim telah kafir karena telah meninggalkan hukum Allah. Mereka memahami secara sempit QS. Al-Maidah:44: “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka telah kafir”. Semboyan mereka adalah laa hukma illallah, tiada hukum selain hukum Allah. Kubu pertama ini kemudian menjadi Khawarij.

Sedangkan kubu kedua mendukung penuh keputusan Ali, sebab Ali adalah representasi dari Rasulullah saw, Ali adalah sahabat terdekat sekaligus menantu Rasulullah saw. Keputusan Ali adalah keputusan Rasulullah saw. Kubu kedua ini kemudian menjadi Syiah. Belakangan, golongan ektstrem (rafidhah) dari kelompok ini menyatakan bahwa tiga khalifah sebelum Ali tidak sah. Bahkan golongan Syiah paling ekstrem yang disebut Ghulat mengkafirkan seluruh sahabat Nabi Saw kecuali beberapa orang saja yang mendukung Ali. Di sinilah awal mula pertikaian antara Syiah dengan Khawarij yang terus berlangsung hingga kini.

Khalifah Ali kemudian dibunuh oleh Khawarij. Pembunuhnya adalah Abdurrahman bin Muljam, seorang penganut fanatik Khawarij. Menyedihkan, Ibnu Muljam ini sosok yang dikenal sebagai penghafal Al-Quran, sering berpuasa, suka bangun malam, dan ahli ibadah. Fanatisme dan minimnya ilmu telah menyeretnya menjadi manusia picik dan sadis.

Berdasarkan musyawarah ahlul halli wal áqdi yang beranggotakan sahabat-sahabat besar yang masih tersisa waktu itu, menyepakati kedudukan Ali sebagai khalifah digantikan oleh puteranya Al-Hasan. Namun Al-Hasan hanya dua tahun menjabat sebagai khalifah. Ia mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan khalifah kepada Muawiyah karena menurut ijtihadnya mengundurkan diri adalah pilihan terbaik untuk menyelesaikan perselisihan umat. Dalam sejarah, tahun pengunduran diri Al-Hasan dinamakan“am al-jamaáh” atau tahun persatuan.

Naiknya Muawiyah menjadi khalifah menimbulkan reaksi keras dari kelompok Syiáh dan Khawarij. Mereka menolak kepemimpinan Muawiyah dan menyatakan perang terhadap Bani Umayah. Perselisihan makin memuncakmanakala Muáwiyah mengganti sistem khilafah menjadi monarki absolut, dengan menunjuk anaknya Yazid sebagai khalifah selanjutnya.

Di sisi lain, tragedi Karbala yang menyebabkan terbunuhnya cucu Rasulullah saw Al-Husein dan sebagian besar ahlul bait Rasulullah saw pada masa Khlalifah Yazid bin Muawiyah, telah mengobarkan semangat kaum Syiah untuk memberontak terhadap Bani Umayah. Pertikaian selanjutnya melebar jadi pertikaian segitiga antara Bani Umayah, Syiah, dan Khawarij. Pertikaian terus berlanjut hingga masa Bani Abbasiah. Dua kelompok ini senantiasa merongrong pemerintahan yang sah.

Chaos politik yang melanda umat Islam awal pada akhirnya juga melahirkan kelompok lain di luar Syiah dan Khawarij. Pada awal abad ketiga Hijriah muncul kelompok Murjiáh, yang berpendapat bahwa dalam persoalan tahkim tidak ada pihak yang berdosa. Dosa dan tidaknyaserta kafir dan tidaknya seseorang bukanlah diputuskan di dunia, melainkan di akhiratoleh Allah SWT.

Dari persoalan politik kemudian merembet menjadi persoalan akidah.Perdebatan siapa yang bersalah dalam konflik antara Ali dan Muawiyah melebar jadi perdebatan tentang perbuatan manusia. Setelah Murjiáh, muncullah aliran Jabbariah (fatalisme) dan Qodariah(fre act and fre will). Jabbariah berpendapat, perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan, artinya manusia tak lebih laksana wayang yang digerakkan oleh dalang. Qodariah berpendapat sebaliknya, bahwa manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannya tanpa ada “campur tangan” Tuhan terhadapnya.

Setelah Qodariah dan Jabbariah, berikutnya muncul aliran Mu’tazilah yang berpendapat sama dengan Qodariah dalam hal perbuatan manusia, namun mereka menolak penetapan sifat (atribut) pada Allah. Menurut Mu’tazilah, bila Allah memiliki sifat berarti ada dua materi pada Allah, yakni Dzat dan Sifat, hal ini berarti telah syirik atau menduakan Allah.

Lahirnya aliran-aliran ekstrem setelah Syiah dan Khawarij bukan hanya disebabkanoleh persoalan politik yang melanda umat Islam awal, akan tetapi juga dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran dari luar Islam. Hal ini merupakan imbas dari semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam yang meliputi wilayah-wilayah bekas kekaisaran Persia dan Romawi yang sudah lebih dahulu memiliki peradaban yang mapan dan telah bersentuhan dengan rasionalisme Yunani dan filsafat ketimuran.

Seperti yang saya kemukakan di awal tulisan ini, kemunculan istilah Aswaja merupakan respon atas kelompok-kelompok ekstrem pada waktu itu. Aswaja dipelopori oleh para tabiín (generasi setelah sahabat atau murid-murid sahabat) seperti Imam Hasan Al-Bashri, tabi’tabiín (generasi setelah tabiín atau murid-murid tabiín) seperti Imam-imam mazhab empat, Imam Sufyan Tsauri, Imam Sufyan bin Uyainah. Ditambah generasi sahabat, inilah yang disebut dengan periode salaf, sebagaimana disebut oleh Rasulullah saw sebagai tiga generasi terbaik agama ini.

Selepas tabi’ tabiínajaran Aswaja diteruskan dan dikembangkan oleh murid-murid mereka dan dilanjutkan oleh generasi-generasi berikutnya.Mulai dari Imam Abul Hasan Al-Asyári, Imam Abu Manshur Al-Maturidi, Imam Al-Haromain, Imam Al-Junaid Al-Baghdadi, Imam Al-Ghazali dan seterusnya sampai Hadratussyekh Hasyim Asyári.

Dalam memahami dalil Al-Qur’an dan Sunnah Aswaja mengikuti metodologi para sahabat, yakni metodologi jalan tengah (moderat), keseimbangan antara pengunaan teks suci dan akal. Menyikapi pendapataliran-aliran ekstrem tersebut Aswaja mengambil jalan tengah di antara pendapat-pendapat mereka. Beberapa ajaran pokok Aswaja, antara lain:

1. Pertikaian politik yang terjadi di antara para sahabat Nabi saw merupakan ijtihad para sahabat, bila benar mendapat dua pahala dan bila salah mendapat satu pahala. Aswaja mengambil sikap tawaquf (diam) atas perselisihan yang terjadi di antara para sahabat dan menyatakan keadilan para sahabat (hadisnya bisa diterima).

2. Dalam masalah takfir Aswaja amat berhati-hati, karena bila sembrono efeknya akan kembali kepada si penuduh. Aswaja tidak akan mudah mengkafirkan ahlul qiblah atau selama masih mengakui tidak ada ada Tuhan selain Allah dan Muhammad saw adalah utusan allah; mengakui hal-hal prinsip dan sudah pasti dalam agama(al-ma’lum mina diini biddhoruroh) seperti rukun Islam, rukun iman, dan perkara-perkara gaib seperti surga, neraka, hisab, shirath, malaikat, jin, peristiwa isra’ dan mi’raj dll. yang informasi mengenai hal-hal tersebut hanya diketahui dari Kitabullah dan Sunnah Nabi saw yang mutawatir.

3. Aswaja juga tidak mudah memvonis sesat sebuah pemikiran atau pendapat seseorang yang berangkat dari dalil yang tidak tegas (ijtihadi) atau masih terbuka ruang perbedaan pendapat di dalamnya. Aswaja amat menghargai perbedaan pendapat karena perbedaan pendapat di kalangan umat adalah rahmat.

4. Mengenai perbuatan manusia, Aswaja berpendapat bahwa perbuatan manusia pada dasarnya diciptakan oleh Tuhan, namun manusia memiliki kuasa (kasb) atas perbuatannya yang bersamaan dengan kehendak Tuhan.

5. Dalam memahami teks Al-Quran dan sunnah, Aswaja berpendapat bahwa ada ruang bagi akal untuk memahami teks. Artinya ada teks yang mengandung makna haqiqi dan ada teks yang mengandung makna majazi(metaforis) yang membuka ruang akal (tafsir) untuk memahaminya.

6. Mengenai perbuatan dosa atau masuk surga dan neraka manusia, Aswaja berpendapat manusia divonis telah berdosa di dunia apabila telah melanggar hukum-hukum syariat sedangkan di akhirat mutlak adalah keputusan Allah.

7. Mengenai sifat Allah, Aswaja berpendapat bahwa Allah memiliki sifat. Dzat (esensi) dan Sifat (atribut) adalah dua hal yang berbeda namun tak dapat dipisahkan, seperti halnya sifat manis yang melekat pada gula. Antara atribut manis dan esensi pada gula keduanya menyatu, namun tak bisa dilepaskan satu sama lain. Sifat senantiasa menyatu dengan Dzat (esensi).

8. Terkait dengan politik dan kekuasaan, Aswaja menyatakan haram hukumnya bughot (memberontak) meskipun pemerintahan itu zhalim,karena hanya akan menimbulkan pertikaian dan pertumpahan darah yang tak berkesudahan di kalangan umat. Namun pemerintahan hasil kudeta adalah pemerintahan yang sah karena terkait dengan kesejahteraan umat dan legalnya beberapa hukum syariat.

9. Aswaja tidak menolak tradisi dan kebudayaan yang sudah lama berkembang dan mendarah daging di tengah masyarakat, asal tidak bertentangan dengan syariat. Namun bila bertentangan dengan syariat, Aswaja menolak perubahan dilakuan secara radikal dan revolusioner. Perubahan harusdilakukan secara bertahap.Atau tidak harus merubahnya, tetapi mewarnai tradisi dan kebudayaan tersebut sehingga cocok dengan ajaran Islam.

Fleksibilitas Ajaran Aswaja 
Sepanjang sejarah perjalanannya, prinsip jalan tengah yang ditempuh Aswaja, yang mewujud dalam karakter tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), dan tawazun (seimbang) membuat Aswaja mampu hidup dan berkembang di wilayah mana saja dan mampu melebur dengan kebudayaan setempat, serta senantiasa mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman (dinamis).

Dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara,dai-dai Aswaja awal di Nusantara seperti Walisongo tak mengalami benturan dengan kebudayaan masyarakat Nusantara. Pasalnya, kata Clifford Gertz, dalam menyebarkan agama Islam mereka tidak hanya berperan sebagai pendakwah yang menyiarkan agama Islam,akan tetapisebagai cultural broker, makelar budaya.

Oleh karena itu, saya berani katakan corak Islam di Nusantara 90 persen terbentuk dari budaya. Hal ini terlihat dari arsitektur rumah ibadah, istana kesultanan, tradisi dan ritual keagamaan, kuliner, fashion, hingga sistem pengajaran dan pendidikan.Islam di Nusantara itu unik dan berbeda dengan Islam di tanah asalnya, Arab.

Orientasi Aswaja Bukan Kekuasaan 

Ajaran Aswaja yang dianut oleh mayoritas umat Islam di seluruh dunia orientasinya tidak lain adalah mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan umat baik bidang agama, sosial, politik, maupun ekonomi. Aswaja bukanlah golongan yang menjadikan kekuasaan politik sebagai tujuan. Artinya, bagi Aswaja kekuasaan bukanlah indikator keberhasilan dakwah islamiah, tetapi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Hal ini berbeda dengan kaum Syiah dan Khawarij yang orientasi utamanya adalah kekuasaan politik.

Dengan prinsip jalan tengahnya, dalam bidang politikAswaja menghendaki tatanan politik yang stabil. Aswaja mengharamkan pemberontakan terhadap pemerintah yang sah dan mengharamkan sebuah tindakan dan pernyataan yang dapat memicu huru-hara politik dan chaos. Mengapa? Karena instabilitas politik dapat memicu kekacauan sosial yang pada ujungnyahanya akan menyengsarakan rakyat.

Aswaja menyatakan bahwa Islam tidak meninggalkan sistem politik apapun. Mengenai pengaturan negara diserahkan kepada masyarakat yang membentuk negara itu. Islam tidak mempersoalkan sistem demokrasi atau monarki. Islam hanya memerintahkan seorang pemimpin harus adil dan berakhlakul karimah, senantiasa musyawarah, serta berkomitmen untuk menyejahterakan rakyatnya, sebagaimana kaidah fiqh “tashorruful imam ála roíyah manuthun bil mashlahah” kebijakan seorang pemimpin berdasarkan kesejahteraan rakyatnya.

Dalam bidang sosial, Aswaja menginginkan sebuah tatanan masyarakat yang beradab(tamaddun), dalam arti masyarakat yang membangun, saling menghormati, dan toleran, meski berbeda agama, suku bangsa, dan budaya. Inilah tatanan masyarakat ideal sebagaimana telah diwujudkan oleh Nabi Muhammad saw 14 abad yang lalu ketika membangun masyarakat madani (civil society) di Madinah.

Dalam bidang ekonomi, Aswaja menekankan pemerataan ekonomi. Aswaja mengambil jalan tengah antara kapitalisme-liberalisme dan sosialisme-komunisme. Aswaja mengharamkan monopoli atas kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat. Aswaja juga mengharamkan sumber daya alam dan mineral sebuah negara dikuasai oleh pribadi atau segelintir orang. Aswaja menekankan keseimbangan antara hak-hak individu dan hak-hak masyarakat sehingga tercipta keadilan sosial dan ekonomi.

Aswaja dan Nasionalisme 

Bagi Aswaja, agama dan nasionalisme tak bisa dipisahkan, ibarat dua sisi mata uang. Agama dan nasionalisme saling mendukung. Nasionalisme tanpa agama akan kering nilai-nilai, sementara agama tanpa nasionalisme tak mampu menyatukan elemen-elemen bangsa. Hadratussyekh Hasyim Asyári jauh sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan menyatakan,cinta tanah air sebagian dari iman. Siapa yang tidak mencintai tanah airnya maka belum sempurna imannya. Inilah prinsip jalan tengah Aswaja dalam menyikapi persoalan kebangsaan. Al-Quran secara jelas mengatakan: “sesungguhnya Kami (Allah) menciptakan kamu dari jenis laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya kamu saling mengenal (berinteraksi)”

Alhasil, Aswaja bukan hanya sebuah pandangan keagamaan, akan tetapi lebih jauh merupakan pandangan hidup (way of life) seorang muslim dalam menyikapi lingkungannya yang majemuk dan dinamis. Aswaja adalah manhajul fikrah wal harakah (landasan pemikirandan gerakan) dalam menyikapi berbagai persoalan, baik berhubungan dengan agama, sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan. Seorang muslim penganut Aswaja mampu hidup dan menyesuaikan diri serta dituntut untuk menciptakan kedamaian, kesejahteraan, dan ketentraman masyarakat di manapun mereka hidup. Wallahua’lam. (*)

Comments

Popular Post