Tentang Marxisme Oleh D.N. Aidit (Februari 1962)
SEPATAH KATA TENTANG MARXISME YANG DIBERIKAN OLEH D.N. AIDIT
Buku ini semulanya adalah rangkaian ceramah Tentang Marxisme yang diberikan oleh Kawan D. N. Aidit, Ketua CC PKI di hadapan para peserta Pelatihan Kemiliteran Pegawai Sipil (LKPS) Departemen Luar Negeri Republik Indonesia dalam
bulan Februari 1962. Dalam ceramah-ceramah itu naskah rangkaian
ceramah ini sebagian dibacakan dan sebagian lagi diuraikan
pokok-pokoknya.
Dengan seizin pengarangnya, Akademi Ilmu Sosial Aliarcham
memutuskan untuk membukukan naskah rangkaian ceramah itu selengkapnya
setelah diadakan penyempurnaan oleh pengarang, baik mengenai redaksinya
maupun mengenai penguraian beberapa masalah. Tulisan Kawan D. N. Aidit
– Ketua Dewan Kurator dan Dosen Luarbiasa Akademi Aliarcham – merupakan bahan pelajaran penting bagi para mahasiswa Akademi Aliarcham,
terutama karena karya-karya klasik tentang Marxisme-Leninisme
kebanyakan masih terdapat dalam bahasa asing dan jumlah peredarannya di
negeri kita pun sangat terbatas.
Pembukuan rangkaian ceramah ini akan sangat membantu pula untuk
menyebarkan pengertian yang tepat tentang Marxisme-Leninisme di
kalangan masyarakat yang luas di Indonesia, pengertian bahwa ML adalah
ilmu masyarakat yang telah berakar dan tumbuh di bumi kita sendiri.
Semakin luas dan semakin tepat ML dipahami, maka semakin lancarlah
usaha untuk “meng-Indonesiakan” ML. Ini akan mendorong lebih maju
perkembangan ilmu sosial yang progresif di negeri kita dan memperbesar
pengabdiannya kepada penyelesaian tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus
1945 sepenuhnya, kepada pelaksanaan Manipol dengan konsekuen.
Akademi Ilmu Sosial Aliarcham
Jakarta, Mei 1962.
----------------------------------------------------------
PENGANTAR UNTUK CETAKAN II
Berhubung dengan banyaknya permintaan akan buku Tentang Marxisme, maka Akademi Ilmu Sosial Aliarcham telah memutuskan untuk menerbitkan Cetakan II dari buku tersebut.
Pada pokoknya dalam Cetakan II ini tidak diadakan
perubahan-perubahan, kecuali beberapa perubahan redaksional yang
dilakukan oleh penulisnya.
AISA
Jakarta, November 1962
-------------------------------------------------------------------------------------
PENGANTAR
Para Saudara yang terhormat,
Mengadakan ceramah di hadapan petugas-petugas Departemen Luar Negeri
bagi saya ini bukanlah yang pertama kalinya. Pada tanggal 8 April 1961,
atas permintaan Sdr. Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio saya telah
memberikan ceramah di hadapan Konferensi Kepala-Kepala Perwakilan
Republik Indonesia di Asia Pasifik dan Afrika Timur Tengah. Saya
mengucapkan banyak terima kasih atas kesempatan-kesempatan ini, dan
saya mempunyai keyakinan bahwa dengan bekerja sama demikian ini, kita
akan dapat lebih banyak menyumbangkan segala yang baik kepada urusan
bangsa dan Rakyat kita.
Saya diminta oleh Dr. Subandrio untuk menguraikan di hadapan
Saudara-Saudara TM. Satu tema yang sangat luas. Apa yang dapat saya
lakukan untuk memenuhi permintaan yang memang pada tempatnya ini dalam
keadaan singkatnya waktu untuk mempersiapkan diktat dan terbatasnya jam
ceramah? Dalam waktu beberapa hari ini saya telah mengumpulkan kembali
catatan-catatan yang lama maupun yang baru tentang studi mengenai ML,
menyusunnya secara sistematis agar dapat menghidangkannya kepada
Saudara-Saudara yang perlu-perlu saja, tetapi menyeluruh, dalam
beberapa kali ceramah.
Saya menyetujui pendirian Dr. Subandrio bahwa petugas-petugas
Departemen yang dipimpinnya harus mempelajari Marxisme, terlepas dari
apakah mereka menyetujui atau tidak menyetujui Marxisme. Saya kira,
kita semua sependapat, bahwa untuk menyetujui atau tidak menyetujui
sesuatu, orang harus mengetahui apa yang disetujui atau tidak
disetujuinya itu, dan itu hanya bisa dengan mempelajarinya
sungguh-sungguh. Sekarang memang kita sering menghadapi yang aneh-aneh.
Ada orang yang setuju kepada Marxisme, tetapi tidak mengetahui apa
Marxisme itu sebenarnya, sehingga ada kalanya terjadi, bahwa yang
mereka kira Marxisme itu justru adalah lawan daripada Marxisme.
Dan
banyak orang yang menentang mati-matian Marxisme, tetapi tidak
mengetahui dan malahan samasekali tidak pernah mempelajari Marxisme,
atau jika mempelajarinya tidak dari buku-buku Marxisme tapi dari
buku-buku musuh Marxisme atau renegad-renegad Marxism. Sering terjadi,
bahwa musuh-musuh Marxisme menyerang apa yang dikiranya Marxisme,
tetapi sebenarnya mereka telah menyerang apa yang juga diserang oleh
kaum Marxis. Misalnya, jika mereka menyerang materialisme, biasanya
yang mereka serang ialah materialisme Feuerbach atau materialisme
vulgar, tetapi mereka mengira bahwa yang diserangnya adalah materialisme
Marx. Sungguh sangat memalukan, bahwa masih ada saja orang-orang yang
suka berbicara panjang lebar dan menulis buku-buku tebal tentang
sesuatu yang tidak diketahuinya.
Tetapi persetujuan saja tidak terbatas di situ. Saya menyetujui
pendirian Dr. Subandrio agar pejabat-pejabat negara yang
bertanggungjawab mempelajari Marxisme, dengan alasan bahwa Marxisme
tidak hanya bukan barang selundupan di Indonesia, tetapi sesuatu yang
sah, karena konsepsi Nasakom adalah pengakuan hak hidup bagi Marxisme
di negeri kita, sebagaimana juga halnya dengan hak hidup bagi
Nasionalisme dan agama. Oleh karena itu, menurut pendapat saya, soal
mempelajari Marxisme di negeri kita, di samping sangat perlu untuk
menambah pengetahuan guna memahami berbagai gejala internasional,
menghadapi kenyataan adanya negara-negara sosiali atau gerakan kelas
buruh sedunia, adalah sangat perlu pula untuk memahami gejala-gejala
nasional, untuk merealisasi aspirasi-aspirasi nasional kita, untuk
merealisasi gagasan Nasakom, Gotong Royong dan Sosialisme Indonesia.
Seperti sudah saya katakan dalam ceramah saya tanggal 8 April tahun
yang lalu, Marxisme di Indonesia sudah menjadi kenyataan sejarah,
kenyataan sosiologis, kenyataan politis. Marxisme tumbuh sudah lama di
negeri kita, yaitu sejak tahun 1914 dengan berdirinya Perhimpunan Sosial Demokratis Hindia (PSDH,
Indische Sociaal Democratische Vereniging – ISDV) yang dalam bulan Mei
tahun 1920 menjadi PKI. Dalam tahun 1926 – 1927 Partai Marxis yang
masih sangat muda ini telah memimpin satu pemberontakan Rakyat
anti-kolonialisme yang gagal, kemudian hampir duapuluh tahun dipaksa
hidup di bawah tanah oleh kaum kolonialis Belanda dan Fasis Jepang,
tetapi sejak Revolusi Agustus 1945 ia muncul kembali ke permukaan bumi,
ambil bagian aktif dalam revolusi itu, dan sekarang telah merupakan
satu aliran dan kekuatan yang penting dalam kehidupan politik Rakyat
Indonesia. Jadi, mau tidak mau, suka tidak suka, Marxisme telah
mendapat tempatnya sendiri di dalam kehidupan politik dan sosial negeri
kita, di dalam hati bagian tertentu yang tidak kecil dari Rakyat
Indonesia.
Dalam ceramah saya tanggal 8 April tahun yang lalu tersebut di dalam
telah saya singgung serba singkat bahwa Marxisme terdiri dari tiga
sumber dan tiga bagian, yaitu Filsafat, Ekonomi Politik dan Sosialisme.
Filsafat Marx bersumber pada filsafat klasik Jerman. Filsafat
Marxisme adalah materialisme. Hasil yang paling penting dari Marx di
bidang filsafat ialah dialektika, yaitu ajaran tentang
perkembangan dalam bentuknya yang paling sempurna, paling dalam, bebas
dari sifat berat sebelah, ajaran tentang kerelatifan pengetahuan
manusia yang memberikan pencerminan kepada kita tentang materi yang
berkembang abadi. Marx tidak berhenti pada memperdalam dan
mengembangkan materialisme filsafat, tapi ia melengkapinya, ia
meluaskan pengertian materialisme filsafat tentang alam kepengertian
tentang masyarakat manusia. Penerapan (penggunaan, pelaksanaan)
azas-azas pokok materialisme dialektik di lapangan gejala sosial,
gejala kemasyarakatan, itulah yang dinamakan materialisme histori. Materialisme filsafat Marx telah menunjukkan kepada Rakyat pekerja jalan keluar dari perbudakan jiwa.
Saya bermaksud untuk menguraikan materialisme dialektik dan histori
secara agak mendalam dalam Bab I dari rangkaian ceramah-ceramah saya.
Materialisme dialektik dan histori tidak hanya merupakan salah satu
bagian, tetapi juga dasar daripada Marxisme.
Ekonomi Politik Marx bersumber pada ekonomi klasik Inggris.
Marx melanjutkan pekerjaan Adam Smith (1723-1790) dan David Ricardo
(1772-1823) yang berkat penyelidikannya di lapangan sistem ekonomi
telah meletakkan dasar-dasar untuk teori nilai kerja. Marx telah menyingkapkan hubungan antara manusia dalam
penukaran antara barangdagangan yang satu dengan barangdagangan yang
lain. Dalam hal ini ahli-ahli ekonomi borjuis hanya melihat hubungan
antara barang-barang tidak menyingkapkan hubungan antara manusia. Marx
membuktikan bahwa dalam sistem kapitalis tenaga kerja manusia pun menjadi barang perdagangan. Dan
dari sinilah Marx menjelaskan bagaimana kaum buruh menghasilkan
nilai-lebih yang menjadi sumber kekayaan seluruh kelas kapitalis.
Ajaran tentang nilai-lebih adalah batu-alas teori ekonomi Marx. Ekonomi
politik Marx menerangkan kedudukan kelas buruh yang sesungguhnya dalam
sistem umum kapitalisme.
Saya bermaksud untuk menguraikan secara agak mendalam tentang Ekonomi
Politik Marx dalam Bab II dari rangkaian ceramah-ceramah saya.
Sosialisme Marx bersumber pada ajaran Sosialisme klasik
Prancis. Berbeda dengan ajaran-ajaran sosialisme utopia Prancis,
Sosialisme Marx adalah ilmiah, tidak berdasarkan semata-mata pada
“kemauan baik” dan “akal” subjektif, tetapi berdasarkan hukum objektif
perkembangan masyarakat manusia. Marx telah menarik kesimpulan dari
sejarah dunia, bahwa perjuangan kelas adalah lokomotif daripada
kemajuan masyarakat, bahwa untuk menciptakan masyarakat sosialis,
masyarakat dimana tidak ada penghisapan atas manusia oleh manusia,
masyarakat tak berkelas, tidaklah mungkin dengan jalan mengharapkan
belas kasihan kaum kapitalis atau usaha orang-orang yang baik budi
saja, tetapi harus dengan jalan mengadakan perjuangan kelas terhadap
kaum kapitalis. Perjuangan kelas untuk menghapuskan kelas!
Saya bermaksud untuk menguraikan secara agak mendalam tentang
Sosialisme Ilmu dalam Bab III dari rangkaian ceramah-ceramah ini.
--------------------------------------------------------------
BAB I. FILSAFAT
Sebagaimana telah saya kemukakan dalam pengantar ceramah ini,
materialisme dialektik dan histori (MDH) bukan hanya salah satu bagian,
tetapi merupakan dasar daripada ajaran Marxisme keseluruhannya. Maka,
untuk dapat mengenal dan memahami, apalagi menguasai Marxisme,
pertama-tama dan terutama kita harus mengenal dan memahami filsafat
materialisme dialektik dan histori.
Dalam tulisannya Tiga Sumber dan Tiga Bagian Marxisme Lenin
antara lain mengatakan: “Filsafat Marx adalah materialisme filsafat
yang sudah disempurnakan, yang telah mempersenjatai umat manusia,
terutama kelas buruh, dengan alat-alat pengetahuan yang perkasa.”[1] Filsafat Marx adalah perkasa, ia bukan hanya merupakan senjata untuk mengenal, tetapi juga untuk mengubah keadaan alam, masyarakat maupun pikiran manusia sendiri.
Mengapa MDH itu perkasa?
“Ajaran Marx adalah perkasa, karena ia benar-benar kata Lenin, “Ia
komplit dan harmonis, ia memberi kepada manusia suatu pandangan dunia
yang lengkap yang tak dapat didamaikan dengan takhayul apapun, dengan
reaksi apapun, atau dengan pembelaan atas penindasan borjuis apapun. Ia
adalah pewaris yang sah dari pada apa yang paling baik yang sudah
diciptakan oleh umat manusia dalam abad kesembilanbelas”.[2[
Dengan perkataan lain, MDH yang diciptakan oleh guru-guru besar kelas
proletar, K. Marx (1818 – 1883) dan F. Engels (1980 – 1895) dalam abad
ke-19 itu adalah berdasarkan pengalaman praktek sosial seluruh umat
manusia di masa lampau (lebih dari 2000 tahun) serta hasil-hasilnya
yang terbaik dan termaju di bidang filsafat maupun di bidang ilmu alam
dan ilmu sosial. Ia merupakan suatu produk daripada proses perkembangan
sejarah pada tingkatan tertentu – yaitu kapitalisme, dimana proses
perjuangan antara pikiran-pikiran yang ilmiah dengan yang takhayul,
antara filsafat materialisme dengan filsafat idealisme telah mencapai
tingkat yang tertinggi. Proses perjuangan ini merupakan pencerminan
(refleksi) proses perjuangan kelas yang telah sampai pada tingkat
terakhir di sepanjang sejarah masyarakat berkelas. Oleh karena itu,
maka untuk dapat mengenal dan memahami MDH secara tepat, perlu kita
terlebih dahulu mendapat gambaran, walaupun secara singkat dan garis
besar, tentang sejarah perkembangan filsafat.
1. Dua Kubu Dalam Dunia Filsafat
Sejarah perkembangan pikiran filsafat adalah suatu bagian dan juga
suatu pencerminan (refleksi) daripada proses sejarah perkembangan
masyarakat manusia. Filsafat sebagai suatu bentuk khusus kesadaran
sosial mulai timbul dalam sejarah dunia pada jaman peralihan dari
masyarakat komune-primitif ke masyarakat pemilikan budak, dimana
masyarakat mulai terbagi dalam kelas-kelas yang saling bertentangan
kepentingannya, mulai terjadi pemisahan antara kerja badan dengan kerja
otak, dimana mulai terjadi hubungan penindasan dan penghisapan atas
manusia oleh manusia. Sejak itu, sebagaimana dikatakan oleh Marx,
sejarah masyarakat manusia adalah sejarah perjuangan kelas, maka sebagai
pencerminannya sejarah filsafat adalah sejarah perjuangan antara dua
kubu besar: materialisme dan idealisme.
Sebelum kita meninjau keadaan dua kubu besar filsafat tersebut serta
proses perkembangannya perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian
mengenai materialisme dan idealisme dalam filsafat.
Sebagai kita ketahui, filsafat adalah pandangan dunia, adalah
pandangan manusia yang paling umum mengenai dunia keseluruhannya,
mengenai gejala-gejala alam, masyarakat dan pikiran atau pengetahuan
manusia itu sendiri. Oleh karenanya, masalah pokok di dalam filsafat
adalah masalah hubungan antara pikiran dengan keadaan, antara
dunia-subjektif dengan dunia-objektif.
Dalam karyanya Ludwig Feuerbach dan Akhir Filsafat Klasik Jerman, Engels
menerangkan: “Masalah terpokok dari seluruh filsafat, ialah masalah
hubungan antara pikiran dengan keadaan, hubungan antara jiwa dengan
alam................ antara mana yang primer, jiwa atau
alam............... Jawaban-jawaban yang diberikan oleh para filsuf
terhadap masalah ini membagi mereka dalam dua kubu besar. Mereka yang
menegaskan bahwa jiwa ada lebih dahulu daripada alam, dan oleh
karenanya, dalam instansi terakhir, menganggap adanya penciptaan dunia
dengan satu atau lain bentuk.......... merupakan kubu idealisme.
Lain-lainnya yang menganggap alam adalah yang primer, tergolong ke
dalam berbagai mazhab materialisme”.[3] Jelasnya,
pandangan dunia materialisme bertolak dari kenyataan objektif, sedang
pandangan dunia idealisme berpangkal pada pikiran atau ide. Demikianlah arti sebenarnya daripada istilah-istilah materialisme dan idealisme di dalam filsafat.
Alangkah salah dan kacaunya kalau ada sementara orang mengatakan,
misalnya, bahwa orang yang berfilsafat materialisme itu hanya
mengutamakan atau mengejar kenikmatan kehidupan materiil saja, dan tidak
mementingkan kehidupan spiritual ataupun moral, sebaliknya orang yang
berfilsafat idealisme itu adalah orang yang bercita-cita luhur dan
bermoral tinggi, dan tidak lahap pada kenikmatan kehidupan materiil,
tidak mata duitan; bahwa orang itu adalah materialis karena ia tidak
beragama, dsb. dsb. Padahal, kenyataan banyak menunjukkan bahwa mereka
yang berfilsafat materialisme itu justru adalah orang-orang yang jauh
daripada lahap kepada kenikmatan kehidupan materiil, yang “rame ing
gawe”, tapi “Sepi ing pamrih”, dan yang paling berani mengorbankan
kepentingan dirinya, bahkan jiwa raganya sendiri untuk mewujudkan
cita-cita umat manusia yang paling luhur, yaitu masyarakat sosialis dan
Komunis yang bebas dari segala macam bentuk penindasan dan penghisapan
oleh manusia atas manusia. Pendeknya, bukti sangat banyak bahwa mereka
yang materialis dalam filsafat mempunyai ideal atau cita-cita itu.
Sebaliknya, sangat banyak pula bukti bahwa mereka yang idealis dalam
filsafat dan yang mengaku dirinya idealis justru adalah orang-orang
yang paling mementingkan dirinya sendiri, yang paling rusak akhlaknya.
Kata Engels: “Perkataan materialisme oleh si-filistin diartikan
kerakusan, kemabukan, mata keranjang, nafsu birahi, kesombongan,
kelobaan, kekikiran, ketamakan, pengejaran laba dan penipuan bursa –
pendeknya, segala keburukan kotor yang ia sendiri melakukannya secara
sembunyi-sembunyi.
Perkataan idealisme ia artikan kepercayaan akan
kebajikan, filantorpi universal dan secara umum suatu ‘dunia yang lebih
baik’, yang dia sendiri sombongkan di muka orang lain tetapi yang dia
sendiri hanya percaya selama ia berada dalam kesusahan atau sedang
mengalami kebangkrutan sebagai akibat dari ekses-ekses ‘materialis’nya
yang biasa. Waktu itulah ia menjanjikan lagu kesayangannya, Apa manusia
itu? – setengah binatang, setengah malaikat.”[4]
Juga kenyataan-kenyataan menunjukkan bahwa orang-orang yang tak
beragam tidaklah otomatis materialis dalam filsafat, dan orang yang
idealis filsafatnya tidak mesti beragama, sungguhpun setiap agama itu
dasar filsafatnya adalah idealis. Sarjana-sarjana dalam ilmu alam juga
tidak otomatis berfilsafat materialis. Justru oleh karena itu, maka
Engels memperingatkan: “Betapalah kacaunya jika kepada dua istilah itu
ditambahkan sesuatu pengertian yang lain”, maksudnya yang lain daripada
pengertian filsafat. Dan ia mengecam dengan kerasnya orang-orang yang
menyalahgunakan dua istilah tersebut sebagai orang-orang yang sudah
kacau balau pikirannya.
Jadi, dalam membicarakan materialisme dan idealisme kita harus
berpegang pada pengertian seperti yang sudah diterangkan di dalam, kita
harus berpegang pada pengertian filsafat dan bukan pengertian moral.
(A) IDEALISME
Filsafat idealisme yang pada dasarnya berpendapat bahwa ide atau
jiwa ada lebih dahulu, sedang alam atau kenyataan objektif diciptakan
atau diwujudkan oleh ide itu bersumber pada dua hal: 1) Kepicikan
pengetahuan atau takhayul dan 2) Watak kelasnya.
“Sejak jaman purbakala”, tulis Engels, “ketika manusia, yang masih
sama sekali tidak tahu tentang susunan tubuh mereka sendiri, di bawah
rangsang ujud-ujud impian mulai percaya bahwa pikiran dan perasaan
mereka bukan aktivitas-aktivitas tubuh mereka, tetapi suatu nyawa yang
tersendiri yang mendiami tubuhnya dan meninggalkannya waktu mereka mati
– sejak itu manusia didorong untuk berpikir tentang hubungan antara
nyawa dengan dunia luar. Jika pada waktu tubuhnya mati nyawa itu
meninggalkan tubuh dan hidup terus, maka tidak ada kesempatan untuk
mendapatkan suatu kematian lain yang jelas baginya”. [5]
Dengan demikian timbul ide tentang kekekalan, timbul kebingungan
karena ketidaktahuan. Dari sinilah kemudian timbul dan berkembang
berbagai macam bentuk-bentuk kepercayaan, ketakhayulan dan filsafat
idealisme.
Akan tetapi, ketidaktahuan atau kepicikan pengetahuan manusia, yang
disebabkan karena pembatasan syarat-syarat sejarah yang ada padanya,
atau oleh keterbatasan pengalaman praktek sosialnya, bukanlah akar yang
kuat bagi pertumbuhan filsafat idealisme. Sebab, seiring dengan
perkembangan masyarakat, dengan kemajuan praktek sosial manusia, makin
besar pulalah kemampuan manusia untuk mengenal dunia di sekitarnya.
Pengetahuan manusia makin luas, dalam dan tepat mengenai keadaan di
sekelilingnya maupun mengenai dirinya sendiri, sehingga pandangan
idealis yang bersumber pada pengetahuan yang salah itu dengan
sendirinya gugur. Tetapi kenyataan sejarah menunjukkan bahwa filsafat
idealisme dapat mempertahankan dirinya, bahkan dapat berpengaruh kuat,
walaupun di dalam keadaan dimana ilmu atau pengetahuan manusia telah
berkembang sangat tinggi seperti sekarang ini. Hal ini bisa terjadi
justru karena pandangan idealisme itu dapat memberikan kegunaan kepada
kekuatan-kekuatan sosial tertentu, dan karenanya mendapatkan dukungan
mereka. Dengan perkataan lain, sebagaimana dikatakan oleh Lenin,
filsafat idealisme “dikonsolidasi oleh kepentingan-kepentingan kelas-kelas yang berkuasa”[6] – pemilik budak, kaum feodal atau borjuasi. Di sinilah letak akar kelas dari idealisme.
Di dalam kubu idealisme terdapat berbagai macam aliran dengan
bentuk-bentuknya yang bersesuaian dengan keadaan sosial dimana mereka
tumbuh dan berlaku. Akan tetapi, pada pokoknya mereka dapat dibagi ke
dalam dua macam golongan besar, yaitu: a) idealisme objektif, dan b)
idealisme subjektif.
a) Idealisme Objektif
Sebagaimana telah dikemukakan di dalam, pokok pangkal dari segala
macam idealisme adalah sama, yaitu ide. Akan tetapi, ide itu dapat
diartikan pikiran manusia, baik sebagai umat manusia keseluruhannya
maupun sebagai orang seorang, dan juga dapat diartikan ide yang berada
di luar manusia, misalnya, ide dewa-dewa, atau “ide absolut” ciptaan
Hegel, dan entah berapa banyak lagi sebutan-sebutan lainnya.
Idealisme objektif adalah pandangan dunia yang berpokok-pangkal pada
ide yang berada di luar manusia, yang “objektif”. Pandangan dunia
semacam ini pada dasarnya mengakui adanya sesuatu yang bukan-materiil,
yang ada secara abadi di luar dunia dan manusia. Sesuatu yang
bukan-materiil itu ada sebelum dunia alam semesta ini ada, malah sebagai
pencipta dunia alam semesta ini, termasuk manusia dengan segala
pikiran dan perasaannya. Semua yang materiil, menurut idealisme
objektif, adalah hasil ciptaan atau sebagai perwujudan konkret daripada
ide. Dalam bentuknya yang amat primitif, pandangan ini menyatakan
dirinya dalam penyembahan kepada pohon, batu, dsb.
Akan tetapi, sebagai suatu sistem filsafat, pandangan dunia ini dalam
sejarah dunia kita kenal pertama-tama adalah sistem filsafat Plato
(427 – 347 S.M.) atau platoisme. Menurut Plato, dunia luar yang dapat
ditanggap oleh panca indera atau cita rasa kita itu bukanlah dunia yang
riil, melainkan bayangan daripada dunia “idea” yang abadi dan riil.
Oleh karenanya ia selanjutnya berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu
adalah penemuan kembali atau pengingatan kembali (anamnesis) pada
“idea” itu, dan tujuan dari pengetahuan manusia adalah untuk menemukan
kembali seluruh dunia “idea” itu. Pandangan dunia Plato ini mewakili
kepentingan kelas yang berkuasa pada waktu itu, yakni kaum bangsawan
pemilik-budak, dan ini nampak dengan jelasnya dalam ajarannya tentang
“masyarakat ideal” atau sosialisme kaum bangsawan. Tentang ini akan
diterangkan di bagian lain yang mengenai sejarah timbulnya cita-cita
Sosialisme.
Pada Zaman Tengah (feodal), filsafat idealisme objektif mengambil
bentuk yang dikenal dengan sebutan: skolastisisme. Sistem filsafat ini
adalah suatu pandangan dunia yang memadukan unsur-unsur idealisme dari
filsafat Aristoteles (384 – 322 S.M.) dengan teologi. Pokok
pandangan filsafat skolastisisme ini ialah, bahwa dunia kita ini
merupakan satu tingkatan hierarki dari seluruh sistem hierarki dunia
semesta yang diciptakan oleh Tuhan, begitupun juga hierarki yang ada
dalam masyarakat feodal merupakan kelanjutan dari hierarki dunia
ke-Tuhanan. Segala sesuatu yang ada dan yang terjadi di atas dunia kita
maupun di seluruh alam semesta ini tidak lain adalah pelaksanaan titah
Tuhan atau sebagai perwujudan konkret daripada ide Tuhan. Filsafat ini
membela kepentingan kaum bangsawan feodal dan kekuasaan gereja yang
pada waktu itu merupakan tuan tanah besar di Eropa. Tokoh-tokoh yang
terkenal dari aliran filsafat ini antara lain dapat dikemukakan di
sini, misalnya, Johannes Eriugena (833 – 800), Thomas Aquinas (1225 – 1274), Duns Scotus (1270 – 1308), dsb.
Kemudian, dalam Zaman Modern, pada akhir abad ke-18 dan awal abad
ke-19, filsafat idealisme objektif mengambil bentuknya yang terkenal
dengan sistem filsafat Hegel (1770 – 1831). Menurut Hegel,
hakikat dari dunia ini adalah “ide absolut”, yang berada secara absolut
dan “objektif” di dalam segala sesuatu, dan tak terbatas pada ruang
dan waktu. “ide absolut” ini, dalam proses perkembangannya menampakkan
dirinya dalam wujud gejala alam, gejala masyarakat dan gejala pikiran.
Dengan demikian, “ide absolut” itu tak lain adalah pencipta segala
sesuatu di dunia ini. Filsafat Hegel mewakili kelas borjuis Jerman yang
pada ketika itu baru tumbuh dan masih lemah, kepentingan kelasnya
menghendaki suatu perubahan sosial, menghendaki hapusnya hak-hak
istimewa kaum bangsawan jonker. Hal ini tercermin dalam pandangan
dialektiknya yang beranggapan bahwa segala sesuatu itu senantiasa
berkembang dan berubah, tidak ada yang abadi dan mutlak, termasuk juga
kekuasaan kaum feodal. Akan tetapi, kekuatan dan kedudukannya yang
masih serba lemah itu membikin mereka tak berani secara terang-terangan
melawan filsafat skolastisisme dan ajaran agama yang berkuasa pada
ketika itu, perlawanan mereka terbatas pada usaha menggantikan Tuhan
dengan “ide absolut”.
Bentuk filsafat idealisme objektif yang kita kenal pada zaman
sekarang, antara lain, adalah neo-Thomisme atau neo-skolastisisme.
Neo-Thomisme adalah suatu aliran filsafat yang menghidupkan kembali
filsafat skolastisisme di zaman tengah, menghidupkan kembali
ajaran-ajaran Thomas Aquinas, dengan menyalahgunakan hasil-hasil ilmu.
Dasar pandangannya ialah pengakuan Tuhan sebagai pencipta dan penguasa
yang maha kuasa atas dunia. Alam adalah “realisasi ide-ide suci”, dan
sejarah adalah “realisasi rencana suci”. Jadi, mereka mengakui adanya
dunia objektif yang diciptakan oleh Tuhan, dan manusia dibekali oleh
Tuhan untuk mengenal dunia objektif itu atau kebenaran abadi. Tetapi,
menurut mereka, pengetahuan yang diberikan oleh ilmu itu tak dapat
dipercaya dan hanya terbatas pada kulit badaniah yang menyembunyikan
kebenaran abadi, sedang filsafat hanya bisa mencapai atau menyelami
sebagian dari kebenaran itu. Jalan kebenaran yang tertinggi terletak
hanya lewat “wahyu”, “keyakinan agama”, dan oleh karenanya
kesimpulan-kesimpulan umum ilmu dan filsafat harus menyesuaikan diri
padanya. Jelaslah bahwa filsafat neo-Thomisme ini merupakan suatu
ajaran yang hendak mengabdikan ilmu dan filsafat pada kepentingan kamu
kapitalis dengan menggunakan gereja. Aliran filsafat ini di dalam dunia
kapitalis mempunyai pengaruh yang agak besar tidak hanya di kalangan
rakyat biasa, tetapi juga di kalangan kaum sarjana.
Demikianlah beberapa bentuk dari filsafat idealisme objektif yang dapat kita kenal dalam dunia filsafat.
Pikiran filsafat idealisme objektif itu juga dapat kita jumpai di
dalam kehidupan sehari-hari dengan berbagai macam bentuk. Perwujudannya
yang paling umum, antara lain, adalah formalisme dan doktrinisme. Kaum
formalis dan doktrineris secara buta tuli mempercayai dalil-dalil atau
formula-formula sebagai kekuatan yang maha kuasa. Sebagai obat yang
manjur untuk segala macam penyakit, sehingga dalam melakukan
tugas-tugas atau menyelesaikan persoalan-persoalan tidak bisa berpikir
dan bertindak secara hidup berdasarkan situasi dan syarat-syarat yang
konkret. Mereka, kaum “textbook-thinkers”, yang sering dikecam oleh
Presiden Sukarno, juga adalah perwujudan pikiran idealisme objektif
dalam praktek. Juga bapakisme atau kultus individu (pemujaan pada
seseorang) adalah perwujudan konkret dari idealisme objektif, karena
semua itu adalah bentuk-bentuk ketakhayulan.
b) Idealisme Subjektif
Berbeda dengan idealisme objektif, maka idealisme subjektif adalah
pandangan dunia yang berpangkal pada ide manusia, baik ide manusia
secara keseluruhannya, maupun secara perorangan. Jelasnya, aliran
filsafat ini berpendapat bahwa dunia di sekeliling kita ini merupakan
kumpulan daripada sensasi-sensasi manusia, dengan perkataan lain, dunia
luar yang ada di sekitar kita ini dipandangnya sebagai khayalan
belaka, sedang perasaan dan pikiran kita dipandangnya sebagai
satu-satunya zat (substansi) yang riil.
Salah satu tokoh yang terkenal dari aliran idealisme subjektif ini adakah seorang uskup Inggris yang bernama George Berkeley
(1648 – 1753). Menurut Berkeley, segala sesuatu yang tertanggap oleh
sensasi atau perasaan kita itu bukanlah dunia materiil yang riil dan
ada secara objektif, melainkan khayalan daripada ide kita belaka.
Sesuatu yang materiil, misalnya, bunga mawar merah, dianggapnya sebagai
suatu kumpulan dari berbagai macam perasaan tertentu, yaitu perasaan
mengenai warna, bau, bentuk, dsb. ; dan yang dimaksud dengan sensasi
atau perasaan itu adalah ide yang telah kita sedari, atau sebagai
bentuk eksistensi daripada ide kita.
Dengan demikian, Berkeley
menyangkal adanya dunia materiil yang objektif, dan hanya mengakui
adanya dunia yang riil di dalam sensasi atau ide manusia. Kesimpulan
yang logis yang dapat ditarik dari pandangan idealisme subjektif ini
adalah akuisme atau solipsisme, suatu pikiran filsafat yang menyatakan
bahwa yang ada secara riil di dunia ini hanyalah “aku”, segala sesuatu
lainnya, termasuk juga orang tuaku, tidak lain hanya sebagai perwujudan
konkret daripada sensasi aku. Untuk “menghindarkan diri dari
solipsisme”, maka Berkeley menyatakan bahwa hanya Tuhan yang berada
tanpa tergantung pada sensasi, bahkan sebagai penggerak daripada
sensasi kita. Filsafat Berkeley ini adalah filsafat kaum borjuis besar
Inggris pada abad ke-18, yang sudah merupakan kekuatan reaksioner,
dalam menentang materialisme, sebagai manifestasi kekhawatiran terhadap
revolusi, Berkeley sendiri secara terus terang menyatakan bahwa
filsafat idealisnya ditujukan untuk menyangkal materialisme dan untuk
memperkuat eksistensi Tuhan.
Dalam abad ke-19, idealisme subjektif mengambil bentuknya yang
terkenal dengan sebutan: positivisme, yang dikemukakan pertama kalinya
oleh filsuf Prancis bernama Auguste Comte (1798 – 1857).
Menurut ajarannya, hanya “pengalaman” merupakan kenyataan yang
“sesungguhnya”, selain dari pengalaman manusia tidak ada lagi dunia
kenyataan, dunia adalah hasil ciptaan dari pengalaman, dan ilmu hanya
bertugas untuk menguraikan pengalaman praktis itu. Kaum positivis
mengaku dirinya berdiri di dalam materialisme dan idealisme, hendak
menyamakan begitu saja ilmu dengan filsafat, tetapi sesungguhnya mereka
bersama-sama dengan idealisme menyerang materialisme. Comte membagi
sejarah dalam tiga tingkatan: tingkatan teologi, tingkatan metafisik,
dan tingkatan empiris. Kapitalisme, menurut Comte, merupakan sistem
yang paling rasional sebagai hasil daripada kemenangan pikiran ilmiah
pada tingkatan empiris. Dari sini jelaslah bahwa filsafat Comte atau
positivisme umumnya adalah pembelaan kepentingan kaum borjuis dan sistem
kapitalisme.
Dalam masa peralihan ke abad ke-20, positivisme menyatakan dirinya dalam bentuk Mach-isme (Mach, E, 1838 – 1916) yang juga disebut empirio-kritisisme, yang dikritik habis-habisan oleh Lenin dalam karyanya Materialisme dan Empirio-kritisisme.
Sebagai kelanjutan dari filsafat positivisme pada awal abad ke-20
adalah pragmatisme yang sekarang populer di Amerika Serikat.
Tokoh-tokohnya yang terkenal antara lain adalah William James (1842 – 1910) dan John Dewey
(1859 – 1952). Kaum pragmatis ini walaupun mengakui adanya dunia
objektif, tetapi, menurut mereka, dunia objektif tak ada artinya sama
sekali kalau tidak dihubungkan dengan pengalaman praktis manusia. Dalam
hubungan ini, menurut mereka, benar atau tidaknya pengetahuan atau
teori kita tentang sesuatu bukanlah diukur dengan sesuai atau tidaknya
dengan kenyataan objektif itu, melainkan diukur dengan ada atau
tidaknya “nilai kontan” (cash-value). Dengan demikian,
pragmatisme sebenarnya hanya mengakui adanya kebenaran subjektif, tidak
mengakui adanya kebenaran objektif. Filsafat ini adalah filsafatnya “big businessmen”
atau kaum borjuis besar, mewakili kepentingan kaum imperialis. Sebab,
berdasarkan ajaran mereka ini, maka tindakan penindasan dan penghisapan
ataupun perang agresi terhadap orang atau bangsa lain, misalnya,
pendudukan kaum imperialis Belanda atas wilayah kita Irian Barat,
asalkan bisa memberikan keuntungan kepada mereka, adalah suatu
kebenaran! Bekas Presiden Eisenhower menggunakan “prinsip” pragmatis
terhadap pemakaian senjata-senjata atom. “menurut pendapat saya”, kata
Eisenhower, … penggunaan bom-bom atom harus atas dasar ini. Apakah akan
menguntungkan saya atau tidak, apabila saya mengadakan suatu
peperangan? … Apabila saya berpikir bahwa hasil bersih akan ada di pihak
saya, saya akan menggunakannya segera”. [7]
Bentuk lain dari idealisme subjektif yang juga sangat populer di
dunia Barat pada masa kini dan selama ini agak banyak dipropagandakan
di negeri kita, adalah eksistensialisme. Pemukanya adalah seorang
filsuf Jerman bernama Martin Heidegger (1889 - …), yang banyak mengambil ajaran-ajarannya Soren Kierkegaard (1813-1855), seorang mistik Denmark pada awal abad ke-19. Eksistensialis-eksistensialis lainnya yang ternama antara lain Karl Jaspers (1883-…..) dan Jean Paul Sartre (1905-……..).
Pokok pandangan eksistensialisme adalah pengakuan bahwa manusia tak
mampu mengenal dunia luar yang serba misterius dan rumit itu,
satu-satunya kenyataan yang dikenalnya adalah “aku ada”. Sebagaimana
dikemukakan oleh Sartre. Eksistensi itu tidak mengandung akal,
kausalitas, keharusan! Oleh karenanya, setiap individu harus bebas
untuk berbuat apa saja yang dikehendakinya. Tetapi kebebasan itu hanya
dapat dicapai kalau memisahkan dirinya dari individu-individu lainnya,
dari masyarakat, karena dalam masyarakat, dalam hubungan dengan
orang-orang lain, akan terampas individualitasnya. Filsafat ini
menanamkan rasa takut kepada manusia dengan mengemukakan bahwa
eksistensi dunia dan manusia itu mempunyai masa akhirnya. Maka itu
carilah kepuasan yang sepuas-puasnya menurut kehendakmu selama kamu
masih ada (exist). Demikianlah eksistensialisme mendemonstrasikan
kekosongan spiritual dan degradasi moral yang berasal dari
individualisme borjuis.
Filsafat ini sebagai pencerminan ketakutan
borjuasi akan kehancurannya yang tak dapat dielakkan dan sebagai bentuk
manifestasinya ada kalanya berwujud tindakan yang kalap.
Eksistensialisme, bersama-sama dengan aliran-aliran idealisme subjektif
lainnya, merupakan tanah ideologi yang subur bagi pertumbuhan fasisme
dan militerisme.
Demikianlah beberapa macam bentuk idealisme subjektif yang dapat kita temukan di dalam dunia filsafat.
Di dalam kehidupan sehari-hari sering juga dapat kita jumpai
pikiran-pikiran idealisme subjektif dalam berbagai macam bentuk.
Misalnya, tak jarang kita mendengar ucapan-ucapan seperti berikut:
“Baik atau buruknya keadaan masyarakat kita sekarang ini tergantung
pada orang yang menerimanya, ia adalah baik bagi mereka yang
merasakannya baik, dan ia adalah buruk bagi mereka yang menanggapinya
buruk” ; atau “Keadaan masyarakat menjadi demikian buruknya tidak lain
karena orang-orang yang berkuasa banyak yang tidak jujur melakukan
tugas kewajibannya, jika mereka diganti dengan orang-orang yang jujur,
keadaan akan berubah menjadi baik” ; atau “Tanpa aku yang memimpin,
segala pekerjaan akan menjadi berantakan”; atau “aku bisa, kau harus
bisa juga!”; dsb.
Semuanya itu pada pokoknya mau menyatakan bahwa ide seseorang yang menciptakan atau menentukan keadaan objektif.
(B) MATERIALISME
Berlawanan dengan filsafat idealisme, filsafat materialisme pada
umumnya bersandar pada ilmu dan mempunyai watak kelas yang
revolusioner. Hal ini akan nampak dengan jelas di dalam proses
perkembangan sejarahnya.
a) Materialisme Primitif
Filsafat materialisme dialektik dan histori dilahirkan melalui suatu
proses perkembangan sejarah yang lama. Bentuk pertama filsafat
materialisme adalah materialisme primitif atau materialisme spontan yang
dikemukakan oleh filsuf-filsuf Yunani Kuno pada 600 tahun sebelum
masehi. Materialisme pada ketika itu adalah sederhana, kesederhanaannya
sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat pada zaman itu.
Sekalipun demikian, arti sejarahnya serta sumbangannya kepada pikiran
manusia pada zaman-zaman selanjutnya, terutama kepada kelahirannya
materialisme dialektik adalah besar sekali.
Sebagai wakil-wakil yang tersohor daripada filsuf-filsuf materialisme Yunani antara lain adalah Thales (640 – 546 S.M.), Anaximander (611 – 546 S.M.), Anaximenes, Heraclitus (kira-kira 500 tahun S.M.). Democritus
(kira-kira 460 – 360 S.M.), dsb. sekalipun ajaran-ajaran mereka
berbeda-beda satu sama lain, di antara mereka ada satu persamaan
pendapat: bahwa dunia ini terdiri dari materi: bahwa segala sesuatu di
dunia ini pada hakikatnya adalah materi yang senantiasa berubah dan
berkembang. Misalnya, Thales mengatakan segala sesuatu itu bersumber
pada air, air merupakan unsur pokok dari dunia ini. Anaximenes
berpendapat bahwa hakikat dari dunia ini adalah hawa. Heraclitus
menganggap dunia ini diciptakan oleh api. Pada antara abad ke-5 dan
ke-4 sebelum Masehi, Democritus mengemukakan teori atomnya yang
mempunyai nilai ilmu yang sangat besar sekali.
Menurut Democritus, dunia ini terdiri dari atom; atom adalah
bagian-bagian terkecil yang tak dapat dipecah lagi dari segala benda.
Perbedaan jumlah dan susunan atom membentuk benda-benda yang berlainan.
Kecuali atom, Democritus juga berpendapat bahwa masih ada satu hal lagi
yang ada di dunia ini, yaitu ruang. Ruang merupakan tempat dimana
atom-atom itu bergerak, saling mendorong dan bentrok. Sehingga terjadi
berbagai macam gejala dan gerak. Mengenai ide dan pengetahuan,
Democritus menerangkannya sebagai pencerminan keadaan luar di dalam
hati dengan melalui perasaan, karenanya perasaan dipandangnya sebagai
satu-satunya sumber pengetahuan. Kemudian, Epicurus (341 – 270
S.M.), sebagai penerus dari Democritus, menerangkan bahwa segala gejala
pikiran, perasaan, dsb, termasuk juga roh manusia, semuanya adalah
perwujudan dari gerak atom-atom. Dengan demikian, filsafat Epicurus
berpendirian materi menentukan ide, bukan ide menentukan materi.
Selain daripada itu materialisme Yunani kuno juga mengandung
pandangan metodologi dialektik. Misalnya, Thales beranggapan bahwa
segala sesuatu itu senantiasa berada dalam keadaan gerak, A bisa
berubah menjadi B, B juga bisa berubah menjadi C; demikianlah segala
sesuatu itu berubah terus menerus. Anaximander juga berpendapat bahwa
segala sesuatu itu bergerak dan berubah, bahkan ia menerangkan gerak
dan perubahan itu adalah suatu proses perjuangan dari dua hal yang
berlawanan: panas dan dingin. Akan tetapi, pandangan Heraclitus dalam
hal ini lebih maju lagi. Menurut Heraclitus, segala sesuatu itu
“mengalir”, “panta nhei”. Heraclitus tidak hanya menerangkan segala
sesuatu itu “mengalir”, berkembang, tetapi juga menjelaskan bahwa
perkembangan itu sendiri adalah proses perjuangan dari kontradiksi.
Demikianlah beberapa pokok pandangan materialisme primitif. Sudah
tentu dalam menerangkan segala sesuatu itu filsuf-filsuf materialis
Yunani tidak memberikan pembuktian-pembuktian secara ilmiah. Ini bisa
dipahami, mengingat tingkat perkembangan tenaga produktif masyarakat
yang masih sangat rendah pada waktu itu. Sungguhpun demikian, filsafat
ini pada ketika itu mewakili kepentingan kaum pedagang yang baru saja
tumbuh, dan oleh karena itu secara historis progresif. Sebagaimana kita
mengetahui, pada waktu itu di Pesisir Tenggara Yunani, ekonomi
barangdagangan mulai berkembang dan menggantikan ekonomi alamiah. Kaum
pedagang, golongan yang progresif pada waktu itu, berusaha menghapuskan
segala perintang perkembangan perdagangan dan mulai menuntut berbagai
ilmu praktis yang bersangkutan dengan usahanya, misalnya, astronomi,
ilmu ukur, dsb.
b) Materialisme Mekanik
Materialisme primitif Yunani pada abad ke-4 sebelum Masehi sudah
mulai menurun pengaruhnya, dan diganti oleh idealisme yang diwakili
oleh Plato dan kemudian Aristoteles. Sejak itu dunia filsafat dikuasai
oleh idealisme dalam jangka waktu sangat lama sekali, yaitu kira-kira
1700 tahun lamanya. Sepanjang masa itu merupakan zaman gelap bagi
materialisme.
Baru pada akhir jaman feodal, yaitu pada akhir abad 17, dimana kaum
borjuis sebagai kelas baru yang mewakili cara produksi baru sudah mulai
tumbuh dengan kuatnya, materialisme mulai muncul kembali dalam bentuk
yang umumnya kita sebut materialisme modern. Materialisme modern ini
sudah tentu jauh lebih maju daripada materialisme primitif, sesuai
dengan tingkat perkembangan masyarakat dan tingkat ilmu pada waktu itu.
Materialisme modern ini lahir sebagai senjata ideologi kelas borjuis
dalam perjuangannya melawan kelas feodal yang berkuasa pada ketika itu.
Oleh karenanya, materialisme modern ini justru tumbuh dan berkembang
luas terutama di negeri-negeri dimana gelombang revolusi borjuis sedang
pasang, yaitu di negeri Belanda, Inggris dan Prancis.
Sebagai wakilnya yang tersohor dalam abad ke-17 antara lain adalah seorang ahli pikir Belanda bernama Spinoza (Benedictus,
1632 – 1677). Menurut Spinoza dunia ini terdiri hanya dari satu
substansi, kecuali itu tidak ada zat lainnya. Substansi ini olehnya
disebut “Tuhan”. Akan tetapi, “Tuhan” yang dimaksudkan itu, menurut
penjelasannya, bukanlah Tuhan dalam dunia agama atau Tuhan yang
menciptakan dunia dan manusia, melainkan alam dan hukum-hukumnya.
Spinoza berbeda dengan Descartes (1596 – 1650). Descartes menganggap
yang ada di dunia ini dua unsur: Tuhan dan benda. Sedang Spinoza hanya
mengakui satu zat saja: alam. Walaupun ia sudah mengatasi dualismenya
Descartes, tetapi ia belum konsekuen meninggalkan pandangannya yang
memisahkan dan mempertentangkan dunia materi dengan ide. Menurut
pendapatnya, substansi itu mempunyai dua sifat: pikiran dan eksistensi
(artinya memiliki ruang); hakikat dari substansi itu dinyatakan
sepenuhnya oleh tiap sifat itu.
Dua sifat itu merupakan dua segi
daripada satu hal yang sama, yaitu alam, mereka masing-masing berdiri
sendiri-sendiri, satu sama lain tidak saling bergantungan. Ini
menunjukkan masih adanya sisa pengaruhnya dualisme Descartes di dalam
alam pikiran Spinoza. Selanjutnya Spinoza juga memandang dunia sebagai
suatu mesin, segala sesuatu yang ada di dalam dunia ini dihubungkan
satu dengan lainnya oleh satu tali. Ia juga menggunakan metode
mekaniknya pada etika dan politik. Dalam karya utamanya Ethica Ordine geometrico demonstrata
antara lain ia berkata: “Janganlah menangis, janganlah ketawa, tapi
pahamilah – inilah justru tugas manusia yang sesungguhnya”. Ia juga
mengatakan bahwa individu tak dapat memisahkan dirinya dari masyarakat,
kehidupan kemasyarakatan merupakan keharusan; di dalam kehidupan
semacam ini, tiap individu harus memadukan antara “mempertahankan
dirinya” dengan “mencintai sesamanya”. Mengenai negara, ia berpendapat
bahwa negara seharusnya tidak mengekang kepribadian manusia, sebaliknya
harus memberikan syarat-syarat untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan
materiil dan spiritual manusia.
Dari uraian di dalam, jelaslah kiranya sistem pemikiran Spinoza
adalah rasionalisme dan mekanisme, suatu sistem ideologi borjuis pada
abad 17 yang menyatakan perlawanannya terhadap hak-hak istimewa kaum
feodal serta perlawanan terhadap penindasan atas demokrasi borjuis,
sementara itu juga merupakan suatu ajaran atheisme yang menentang
teologi dan takhayul. Filsuf-filsuf kenamaan dari materialisme modern
yang sezaman dengan Spinoza, antara lain adalah Bacon (Francis. 1561 – 1626), Hobbes (Thomas, 1588 – 1679). Locke (John. 1632 – 1704) di Inggris dan Cassendt (Pierre.
1592 – 1655) di Prancis. Zaman mereka merupakan periode pertama dari
pertumbuhan materialisme mekanik. Aliran filsafat ini kemudian mencapai
puncak perkembangannya di Prancis pada abad 18 yang umumnya kita sebut
materialisme Prancis. Sebagai wakil-wakilnya yang terkemuka antara
lain ialah Holbach (Paul d’, 1723 – 1789) dan Lamettrie (Julien Offray de, 1709 – 1751).
Dalam menjawab masalah terpokok dalam filsafat, materialisme Prancis
secara tegas menyatakan bahwa materi adalah primer, ide sekunder; ide
dilahirkan dan ditentukan oleh materi. Holbach mengatakan: “Materi
adalah sesuatu yang selalu dengan cara-cara tertentu menyentuh
pancaindra kita, sedang sifat-sifat yang kita kenal dari berbagai macam
hal ihwal itu adalah hasil dari berbagai macam impresi atau berbagai
macam perubahan yang terjadi di dalam alam pikiran kita terhadap hal
ihwal itu”. [8])
Dengan demikian, materialisme Prancis telah menyangkal dan
menggulingkan pandangan mistisisme religius, teori tentang Pencipta
dunia (demiurge), yang sebelum itu telah lama menguasai alam pikiran
manusia. Bahkan secara terang-terangan Holbach menyatakan: “nampaknya
agama itu diada-adakan hanya untuk memperbudak Rakyat dan supaya mereka
tunduk di bawah kekuasaan raja lalim. Asal manusia merasa dirinya di
dalam dunia ini sangat celaka, maka ada orang datang mengancam mereka
dengan kemarahan Tuhan, memaksa mereka diam dan mengarahkan pandangannya
ke atas langit, dengan demikian membikin mereka tak dapat melihat
sebab sesungguhnya daripada kemalangannya itu, juga berpikir
menggunakan cara-cara yang diberikan kepadanya oleh dunia alam untuk
melakukan perjuangan terhadap bencana-bencana itu.”[9]
Materialisme Prancis adalah materialisme mekanik, yang menerangkan
bahwa tiap gejala adalah bagaikan mesin, dikuasai oleh hukum-hukum
mekanika. Segala macam gerak dipandangnya hanya sebagai gerak mekanik,
yaitu pergeseran tempat dan perubahan jumlah saja. Bahkan manusia serta
aktivitasnya disamakan dengan mesin. Ini nampak dengan mencolok sekali
dari karya Lamettrie yang berjudul Manusia adalah mesin. Menurut
pendapatnya tubuh manusia itu adalah mesin yang paling sempurna;
perasaan, pikiran, roh dan sifat-sifat manusia lainnya sama halnya
dengan sifat mesin. Tanpa tubuh, tiada perasaan, tiada pikiran. Mereka
tidak melihat adanya peranan aktif daripada pikiran atau ide terhadap
materi. Pandangan yang mekanik ini adalah salah satu ciri, malahan ciri
kelemahan daripada materialisme Prancis.
Selanjutnya kaum materialisme Prancis abad 18 dalam salah satu
epistemologi (teori tentang pengetahuan), secara tegas menentang
pandangan idealisme yang menyatakan bahwa sebagian akal manusia
didapatnya tidak dari pengalaman sensasionalnya melainkan sudah ada
semenjak ia dilahirkan. Kaum materialisme Prancis (juga di Inggris dan
Belanda) berpendapat bahwa pengalaman itu adalah satu-satunya sumber
pengetahuan, pengalaman ini didapatnya dari hubungan langsung materi
objektif dengan panca indera kita. Mereka mengutamakan pengetahuan
sensasional, dan mengabaikan peranan pengetahuan rasional. Oleh
karenanya materialisme mekanik sekaligus juga sensualisme atau
empirisme. Ini juga merupakan kelemahannya.
Akan tetapi kelemahannya yang paling besar ialah pandangan
sejarahnya. Karena mengenai gejala masyarakat, mereka berpijak pada
idealisme. Menurut pandangan mereka, kekuatan penggerak perkembangan
masyarakat adalah pikiran atau ide. Oleh karenanya mereka berpendirian
jalan satu-satunya untuk mengubah sistem masyarakat ialah pembangunan
mental, pendidikan, pembasmian kebodohan, dsb.
Walaupun materialisme mekanik mengandung banyak kelemahan, tetapi
pada ketika itu ia merupakan pandangan dunia yang revolusioner, suatu
kemajuan dalam dunia pikiran. Kemajuannya itu ditentukan oleh
kemajuan-kemajuan yang terdapat dalam hubungan sosial ekonomi dan ilmu,
tetapi syarat-syarat sejarah itu juga menentukan
kelemahan-kelemahannya.
c) Lahirnya Materialisme Marxis
Pada masa peralihan dari abad ke-18 ke abad ke-19, di Jerman, dimana
kapitalisme berkembang agak terbelakang, ideologi borjuis berwujud
dalam bentuk yang umumnya kita sebut filsafat klasik Jerman. Sebagai
puncak perkembangan aliran filsafat ini adalah Hegelianisme. Sebagaimana
telah dijelaskan dalam kita membicarakan tentang idealisme objektif,
filsafat Hegel adalah idealisme objektif. Pokok-pokok pandangannya
mengenai masalah terpokok dalam filsafat telah dikemukakan juga, di
sini tak perlu diulang lagi. Yang akan dikemukakan di sini ialah
mengenai segi-segi positifnya serta sumbangannya terhadap materialisme
Marxis, dan sedikit tentang latar belakang sosialnya.
Sumbangan ajaran Hegel dalam sejarah perkembangan pikiran manusia
besar sekali nilainya, bukan pandangan idealismenya, melainkan ajaran
dialektikanya, “jiwa” filsafatnya. Hegel sendiripun pernah mengatakan: “
yang penting di dalam filsafat ialah metode, bukan
kesimpulan-kesimpulan khusus mengenai ini atau itu”. Hegel telah
berhasil mengkristalisasi segala unsur dialektik yang terdapat di dalam
sistem pemikiran dari filsuf-filsuf besar yang ada sebelumnya,
sehingga tercipta metodologi dialektik yang komplit. Dengan demikian ia
telah menggulingkan metafisika, metodologi kuno yang sudah lama
menguasai alam pikiran manusia dan ilmu.
Hegel mengemukakan, bahwa kaum materialis Inggris dan Prancis pada
abad 17 dan 18, dan juga kaum idealis yang menjadi lawannya, semuanya
adalah ahli pikir metafisik. Ia menunjukkan kesalahan-kesalahan atau
kelemahan-kelemahan metafisika. Pertama, kaum metafisik
memandang segala sesuatu tidak dari keseluruhannya, tidak dari saling
hubungannya, tetapi ditinjaunya sebagai sesuatu yang berdiri
sendiri-sendiri; sedang Hegel memandang dunia sebagai satu badan
kesatuan, segala sesuatu di dalamnya terdapat saling hubungan yang
organik. Kedua, kaum metafisik melihat sesuatu tidak dari
geraknya, melainkan sebagai yang diam, mati, tidak berubah-ubah, sedang
Hegel melihat dari perkembangannya, dan perkembangan itu disebabkan
adanya kontradiksi intern. Kaum metafisik berpendirian “segala yang
bertentangan adalah irrasional”. Mereka tak mengetahui bahwa akal
(reason, raison) itu sendiri adalah pertentangan (kontradiksi).
Ketiga,
sumbangan Hegel yang penting ialah kritiknya mengenai pandangan
evolusi vulgar, yang pada ketika itu sangat merajalela, dengan
mengemukakan teorinya tentang “lompatan” (sprong) dalam proses
perkembangan. Sebelum Hegel sudah banyak filsuf yang mengakui bahwa
dunia ini berkembang, dan meninjau sesuatu dari proses perkembangannya,
tetapi pandangannya tentang perkembangan hanya terbatas pada
perubahan-perubahan berangsur-angsur, perubahan evolusioner saja. Sedang
Hegel berpendapat, dalam proses perkembangan itu pertentangan intern
makin mendalam dan meruncing, dan pada suatu tingkat tertentu perubahan
berangsur-angsur berhenti, terputus, terjadilah “lompatan”. Setelah
“lompatan” itu terjadi, maka kualitas sesuatu itu mengalami perubahan.
Dengan tersusunnya dialektika Hegel, maka dalam dunia pikiran manusia
terjadi revolusi menghancurkan metodologi metafisik yang berkuasa
lebih dari 2000 tahun lamanya. Logika dialektik Hegel telah memberi
dorongan yang kuat bagi kemajuan pikiran ilmiah dan meletakkan dasar
yang kuat pula bagi materialisme Marxis.
Akan tetapi dialektika Hegel itu diselubungi dengan kulit mistik,
reaksioner, yaitu pandangan idealismenya, sehingga ia memutarbalikkan
keadaan yang sebenarnya. Hukum dialektika, yaitu hukum tentang saling
hubungan dan perkembangan gejala-gejala yang berlaku di dunia ini
dipandangnya bukan sebagai suatu hal yang objektif, yang primer,
melainkan sebagai perwujudan dari “jiwa absolut”, yang sekunder.
“Kulit” yang reaksioner inilah yang kemudian dibuang oleh Marx, dan isinya yang “rasional” diambil serta ditempatkan pada kedudukannya yang benar.
Kontradiksi yang ada di dalam filsafat Hegel ini justru mencerminkan
keadaan masyarakat Jerman dalam zaman revolusi borjuis-demokratis.
Hegel sendiri juga pernah mengatakan bahwa filsafat itu “adalah
pernyataan zaman di dalam pikiran”. Pada ketika itu kapitalisme di
Jerman mulai berkembang, tetapi kekuatan borjuis masih lemah, sedang
kekuasaan feodal masih kokoh dan kuat. Dialektika Hegel yang
revolusioner itu menyatakan tuntutan kelas borjuis, sedang idealismenya
yang reaksioner itu di samping sesuai dengan keinginan kelas feodal
yang berkuasa, mencerminkan kelemahan dan watak kompromisnya borjuasi
Jerman pada ketika itu. Kelemahan dan watak kompromis mereka itu tidak
hanya karena ketidakmampuannya melawan feodalisme yang masih kuat itu,
tetapi juga karena ketakutannya kepada kelas proletar yang sudah mulai
‘bergelora”.
Pada pertengahan abad 19, kapitalisme di Jerman sudah berkembang
dengan pesat, kekuasaan feodal mulai guncang tetapi masih mampu
mempertahankan diri dengan gigih dan nekat. Dalam keadaan itu, muncullah
materialisme Feuerbach (Ludwig, 1804 – 1872) yang tidak
hanya mewakili kepentingan kaum borjuis, tetapi juga borjuis kecil yang
sangat menderita pada waktu itu.
Materialisme Feuerbach pertama-tama menentang idealisme Hegel,
menyangkal adanya “jiwa absolut”, dan secara tegas menyatakan bahwa
hakikat dunia ini adalah alam yang materiil. Ia dengan tajam
mengemukakan bahwa segala idealisme tidak berbeda dengan teologi yang
sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman dan harus diganti dengan
filsafat baru. Filsafat baru ini, menurut Feuerbach, harus bertolak
dari materi yang benar-benar ada di ruang dan waktu dan dapat dirasakan
oleh kita, pendeknya harus materialis dan atheis. Selanjutnya
Feuerbach mengkritik filsafat Hegel, dikatakannya bahwa Hegel berdiri
di dalam teologi berusaha menegasi teologi. Menurut Feuerbach,
kedudukan Tuhan digantinya dengan manusia, keTuhanan diganti dengan
kemanusiaan, secara tegas ia mengatakan, manusia itu sendiri adalah
Tuhan. Tidak hanya sampai di situ, ia bahkan mengatakan bahwa bukan
Tuhan yang menciptakan manusia, sebaliknya “Tuhan adalah bayangan
manusia di dalam cermin”. Ia berpendapat, sebagaimana Holbach, bahwa
agama itu pada permulaannya adalah untuk memenuhi sesuatu kebutuhan
manusia, akan tetapi, setelah ia dilahirkan, pastor dan yang berkuasa
(kaum bangsawan dan paderi) menggunakannya untuk memperbudak Rakyat
banyak atas nama Tuhan. Demikianlah Ludwig Feuerbach.
Filsafat Feuerbach mengandung beberapa kelemahan yang serius. Pertama, materialisme
Feuerbach adalah naturalis. Ia memandang manusia bukan sebagai manusia
kemasyarakatan, melainkan sebagai manusia alamiah. Dengan demikian,
pengertiannya terhadap manusia adalah makhluk di luar hubungan produksi
kemasyarakatan, maka dari itu ia tak dapat melihat peranan yang aktif
dari manusia dalam mengubah alam. Kedua, materialismenya juga
tak mendalam (intuitif). Dalam mengkritik filsafat Hegel, seluruh
ajaran Hegel, termasuk dialektikanya, ia salahkan. Ia tak memahami
kebenaran dialektika Hegel yang antara lain juga mengajarkan bahwa di
dalam setiap sesuatu itu terdapat segi positifnya dan segi negatifnya,
di dalam yang jelek ada yang baik, di dalam yang baik ada yang jelek.
Oleh karenanya, materialisme Feuerbach seperti filsafat borjuis
lainnya, masih tetap intuitif, metafisik, non-dialektik.
Kelemahan-kelemahannya inilah oleh Marx dikupas secara kritis.
Dari uraian tersebut di dalam jelaslah bahwa Marx dan Engels telah
merombak dialektika Hegel dan materialisme Feuerbach secara fundamental
dan kritis, sehingga menciptakan materialisme baru, materialisme
dialektik dan historis, yang lebih tinggi dan sempurna daripada semua
macam materialisme sebelumnya.
Maka adalah keliru, kalau oleh sementara orang materialisme dialektik
dan histori dianggap atau diartikan secara mekanis sebagai
penggabungan dialektika Hegel dan materialisme Feuerbach. Marx sendiri
berkata: “ Dialektika saya tidak hanya berbeda dengan Hegel secara
fundamental, tetapi adalah lawannya yang langsung. Bagi Hegel, proses
hidup otak manusia, yaitu proses pemikiran, yang dengan nama ‘idea’,
olehnya malahan diubah menjadi subjek yang berdiri sendiri, adalah
pencipta (demiurgos) daripada dunia nyata, dan dunia nyata itu hanyalah
bentuk luar, bentuk gejala daripada ‘idea’. Sebaliknya, bagi saya, ide
tidak lain daripada dunia materiil yang dicerminkan oleh otak manusia,
dan diterjemahkan dalam bentuk-bentuk pikiran...... Pandangan
dialektika Hegel berdiri di dalam kepalanya. Ia harus dibalikkan
kembali pada kedudukannya yang benar. Jika mau menemukan intisarinya
yang rasional di dalam kulitnya yang mistik”. [10])
Pendeknya, Marx dan Engels telah merombak dialektika Hegel secara
materialis dan merombak materialisme Feuerbach secara dialektik.
2. Pokok-Pokok Pandangan Materialisme Dialektik
(A) DUNIA ADALAH MATERIIL
Sama dengan aliran-aliran materialisme lainnya, materialisme
dialektik pertama-tama mengakui bahwa keadaan atau materi adalah
primer, sedangkan pikiran atau ide adalah sekunder, adalah yang
dilahirkan dan ditentukan oleh materi. Ini berarti bahwa segala macam
gejala yang ada di dunia ini mempunyai satu dasar yang sama, yaitu
materi. Dengan perkataan lain, dunia semesta ini pada hakikatnya adalah
materiil, dan dunia materiil ini adalah satu-satunya dunia yang nyata
(riil).
a) Apakah materi itu?
Akan tetapi, apakah materi itu?
Dalam menjawab pertanyaan ini kita harus dapat membedakan dua macam
pengertian, yaitu pengertian materi dalam filsafat dan pengertian
materi dalam ilmu alam.
Menurut filsafat, materi itu adalah segala sesuatu yang ada di luar
dan tidak tergantung pada kesadaran manusia, tidak diciptakan dan
dikendalikan oleh sesuatu ide apapun, dan dapat menimbulkan sensasi
serta melahirkan refleksi di dalam pikiran manusia. Dengan demikian,
pengertian materi dalam filsafat adalah berdasarkan pada hubungan
antara keadaan dengan pikiran, antara objek dengan subjek.
Sedangkan pengertian materi dalam ilmu alam adalah mengenai susunan
(struktur) dan organisasi daripada segala sesuatu yang ada di dunia
alam ini. Dengan demikian, pengertian materi dalam ilmu alam itu
didasarkan pada tingkat perkembangan pengetahuan manusia terhadap alam.
Jadi, pengertian materi dalam filsafat adalah luas dan bersifat umum,
ia tidak terbatas pada benda-benda atau proses-proses alam saja,
tetapi melingkupi juga gejala-gejala sosial, sedang pengertian materi
dalam ilmu alam hanya khusus mengenai benda-benda alam saja.
Selanjutnya, pengertian materi dalam filsafat bersifat mutlak dan
abadi, karena bagaimanapun majunya pengetahuan manusia, ini tak akan
mengubah kebenaran bahwa materi itu berada secara objektif dan tak
tergantung pada kesadaran manusia. Sebaliknya, pengertian materi dalam
ilmu alam bersifat relatif dan sementara, karena ia tergantung pada
perkembangan pengetahuan manusia. Misalnya, perkembangan teori atom
adalah perkembangan pengetahuan manusia tentang materi di dunia alam.
Sudah tentu, di samping ada perbedaannya, dua macam pengertian itu
juga mempunyai persamaannya, yaitu: pengertian materi dalam filsafat
itu merupakan perluasan atau generalisasi dari pengertian materi dalam
ilmu alam. Jelasnya, hubungan antara dua macam pengertian materi itu
adalah hubungan antara yang umum dengan yang khusus, antara yang
abstrak dengan yang konkret, antara yang absolut dengan yang relatif.
b) Apakah ide itu?
Sebagaimana telah dikemukakan di dalam, materialisme dialektik
berpendapat bahwa ide itu dilahirkan dan ditentukan oleh materi. Ini
mengandung dua pengertian.
Pertama, dipandang dari proses kelahiran ide atau pikiran,
maka nyatalah bahwa perasaan (sensasi) dan pikiran itu tidak dilahirkan
oleh sembarang materi, melainkan semacam materi tertentu yang kita
sebut otak, atau lebih tepatnya, suatu organisme sistem urat syaraf
yang telah mencapai tingkat perkembangan yang sangat tinggi. Tanpa otak
tak akan ada pikiran atau ide. Otak atau sistem urat syaraf manusia
adalah hasil tertinggi dari proses perkembangan alam. Oleh karenanya,
ide adalah suatu produk (hasil) dari proses perkembangan alam.
Kedua, dipandang dari isinya, bagaimanapun sesuatu ide
adalah pencerminan (refleksi) dari kenyataan objektif. Marx menerangkan
bahwa ide itu “tidak lain daripada dunia materiil yang dicerminkan
oleh otak manusia, dan diterjemahkan dalam bentuk-bentuk pikiran”[11])
Dan pencerminan itu hanya bisa terjadi dengan adanya kontak langsung
antara kesadaran manusia dengan dunia luar, dengan adanya praktek
sosial manusia. Oleh karenanya, ide juga merupakan produk dari proses
perkembangan praktek sosial manusia.
Dengan demikian, jelaslah bahwa pengertian ide menurut materialisme
dialektik tidak hanya berlawanan dengan pandangan idealisme, yang
beranggapan bahwa ide itu merupakan sesuatu yang berdiri sendiri tak
tergantung pada materi, bahkan sudah ada lebih dahulu daripada materi.
Oleh Lenin filsafat idealisme dengan tajamnya dinamakan “filsafat tidak
berotak”. Pengertian ide menurut materialisme dialektik juga
bertentangan dengan pandangan-pandangan materialisme vulgar dan
materialisme metafisik yang menyatakan, misalnya, bahwa segala materi
atau benda mempunyai ide, sebagaimana dikemukakan juga oleh Plekhanov
bahwa batupun mempunyai ide: atau yang beranggapan bahwa ide atau
pikiran itu merupakan suatu zat yang ditimbulkan oleh proses fisiologis
seperti halnya berliur, atau sebagaimana sering dikemukakan oleh
sementara orang bahwa pikiran itu adalah fosfor. Pandangan-pandangan
semacam ini timbul karena menganggap ide itu merupakan sifat (attribute)
dari segala macam benda atau sebagai produk dari proses perkembangan
alam saja, tetapi tidak melihat bahwa ide itu juga sebagai hasil dari proses perkembangan praktek sosial manusia, sebagai hasil dari proses perkembangan masyarakat.
c) Peranan aktif daripada ide
Materialisme dialektik di satu pihak berpendirian bahwa materi itu
ada lebih dahulu, dan ide itu dilahirkan dan ditentukan oleh materi,
tetapi di pihak lain juga mengakui adanya peranan aktif daripada ide terhadap materi. Ini mengandung dua pengertian.
Pertama, sebagaimana telah dikemukakan di dalam, ide itu
adalah pencerminan daripada kenyataan objektif, tetapi pencerminan ini
bukanlah pencerminan yang sederhana dan langsung, sebagaimana halnya
kaca cermin, yang hanya bisa mencerminkan gejala luar saja, melainkan
pencerminan yang aktif, melalui suatu proses pencerminan yang rumit
sehingga dapat mencerminkan kenyataan objektif sebagaimana adanya, baik
mengenai bagian luarnya maupun hakikatnya. Justru adanya peranan aktif
daripada ide inilah yang memungkinkan manusia menyempurnakan alat-alat
atau perkakas-perkakas untuk memperbesar kemampuannya dalam mengenal
atau mencerminkan keadaan maupun mengubah keadaan.
Kedua, peranan aktif ide terhadap materi atau keadaan itu
berarti bahwa dalam mengenal dan mengubah keadaan itu manusia bertindak
secara sadar, dengan motif atau tujuan tertentu, yaitu untuk memenuhi
kebutuhan praktek sosialnya, untuk kehidupannya. Ide revolusioner,
yaitu ide yang mencerminkan hukum-hukum perkembangan keadaan.
Sebaliknya, ide reaksioner, yaitu ide yang berlawanan dengan
hukum-hukum perkembangan keadaan objektif, memainkan peranan menghambat
kemajuan!
Dengan demikian materialisme dialektik menentang pandangan agnostisisme dari Kant (Immanuel, 1724
– 1804). Menurut Kant, manusia tak akan dapat mengenal atau
mencerminkan keadaan objektif sebagaimana adanya. Kemajuan ilmu,
misalnya penguasaan dan penggunaan tenaga atom adalah benar, adalah
sesuai dengan kenyataan (atom) sebagaimana adanya. Dengan demikian
terbuktilah juga ketidakbenarannya pandangan agnostisisme itu, dan
memperkuat pandangan materialisme dialektik.
Di samping itu, pandangan materialisme dialektik juga bertentangan
dengan pandangan mekanik yang mengabaikan peranan aktif daripada ide
terhadap materi.
Dengan dikemukakan keprimerannya materi dan peranan aktif ide
terhadap materi, materialisme dialektik mengajarkan kepada kita supaya
dalam memandang dan memecahkan sesuatu masalah harus bertolak dari
kenyataan yang konkret, harus berdasarkan data-data keadaan secara
objektif, jangan sekali-kali bersandar pada dugaan subjektif dan
dalil-dalil atau buku-buku yang mati, dan juga harus ditujukan untuk
kebutuhan praktek yang konkret. Di pihak lain ia memperingatkan kita
betapa pentingnya peranan teori, berhubung dengan adanya peranan aktif
daripada ide, untuk mengenal dan mengubah keadaan, sebagaimana
dikatakan oleh Lenin: “tanpa teori revolusioner tak akan ada gerakan
revolusioner.”[12]
(B) DUNIA MATERIIL ADALAH SATU KESATUAN ORGANIK
Ciri terpenting yang membedakan materialisme filsafat Marx dengan
aliran-aliran materialisme lainnya sebelum Marx ialah bahwa caranya
(metodenya) mendekati gejala-gejala alam, caranya mempelajari dan
memahami gejala-gejala ini adalah dialektik, sedangkan keterangannya
(interpretasinya) mengenai gejala-gejala alam, pengertiannya
(konsepsinya) mengenai gejala-gejala ini, teorinya, adalah materialis.
Yang dimaksud dengan metode dialektik adalah suatu cara mengenal,
mempelajari dan menganalisa segala sesuatu dengan berdasarkan hukum dialektika, yaitu hukum tentang saling hubungan dan perkembangan gejala-gejala yang berlaku secara objektif di dunia semesta ini.
Oleh karena itu, materialisme dialektik Marx memandang dunia materiil
ini bukan sebagai suatu tumpukan gejala-gejala yang terjadi secara
kebetulan saja, tiada hubungan tertentu, terpisah satu sama lain dan
berdiri sendiri-sendiri, tetapi sebagai satu kesatuan yang organik,
dimana segala gejala saling hubungan secara organik, saling
bergantungan, saling mempengaruhi dan saling menentukan satu sama lain.
Misalnya, kehidupan masyarakat manusia tak dapat dipisahkan dari
keadaan alam sekitarnya, satu sama lain mempunyai hubungan tertentu,
dan saling hubungan antara manusia dengan alam akan mempengaruhi dan
menentukan pula saling hubungan manusia yang satu dengan yang lain di
dalam masyarakat; dan semuanya itu akan mempengaruhi dan menentukan
pula alam pikiran manusia. Dengan demikian, gejala-gejala alam, masyarakat dan pikiran terjalin dalam satu hubungan yang organik.
a) Saling hubungan gejala-gejala adalah objektif
Dalam mengakui dunia materiil ini sebagai suatu kesatuan yang
organik, tidak cukup hanya mengakui adanya saling hubungan antara
gejala-gejala, tetapi yang penting ialah mengakui bahwa saling hubungan
antara gejala-gejala itu adalah suatu hukum yang objektif berlaku di
dunia semesta ini, bukan terkaan atau buatan manusia secara subjektif,
juga bukan sebagai perwujudan dari kemauan atau keinginan “ide absolut”
dsb. hal ini justru merupakan suatu ciri yang membedakan dialektika
Marx yang materialis dengan dialektika Hegel yang idealis.
Misalnya, sering kita berjumpa dengan hal sbb.: seorang anak sering
menderita sakit atau sakit-sakitan, oleh orang tuanya dianggap karena
nama yang diberikan kepadanya tidak cocok, lalu diubah, diberi nama
lain. Jadi menganggap nama seseorang mempunyai hubungan tertentu dengan
keadaan kesehatannya. Ini adalah pandangan idealis. Karena saling
hubungan semacam ini adalah terkaan subjektif, bukan saling hubungan
dengan objektif.
Misal yang lain: sementara orang mengakui adanya saling hubungan
antara penindasan imperialisme dengan gerakan kemerdekaan nasional.
Tetapi saling hubungan ini dianggap sebagai realisasi kehendak “ide
absolut” atau takdir. Demikianlah dialektika idealis sebagaimana
diajarkan oleh Hegel, yang oleh Marx dan Engels dikatakan dialektika
yang berdiri terbalik, yaitu kaki di dalam kepala di bawah.
Sesungguhnya di antara penindasan imperialisme dengan perjuangan
kemerdekaan nasional bangsa-bangsa tertindas terdapat saling hubungan
yang objektif. Bangsa-bangsa itu bangkit berjuang untuk merebut
kemerdekaan nasionalnya dari imperialisme yang menjajah negeri-negeri
mereka. Perjuangan untuk kemerdekaan nasional itu menumbuhkan rasa
patriotisme yang wajar. Pada pihak lain, imperialisme merupakan suatu
kekuatan internasional, ia tidak mungkin dikalahkan tanpa suatu front
internasional anti-kolonial dan cinta damai yang kuat, yang merupakan
“samenbundeling van alle revolutionaire krachten” di bidang
internasional, atau persatuan “the new emerging forces”. Oleh sebab itu
patriotisme yang sejati harus dipadukan dengan rasa internasionalisme
yang sadar, internasionalisme yang bertujuan mencapai kebebasan seluruh
umat manusia dari penghisapan dan penindasan, internasionalisme
Sosialis. Oleh sebab itu, saling hubungan antara patriotisme dengan
internasionalisme pun merupakan saling hubungan yang objektif dan bukan
yang diada-adakan secara subjektif.
Oleh karena itu kaum materialis dialektik berpendapat, bahwa saling
hubungan antara gejala-gejala itu berlaku secara objektif, tidak
tergantung pada kesadaran manusia. Maka itu, untuk mengenal secara tepat
saling hubungan itu kita harus meneliti dan mempelajarinya secara
ilmiah, sedikitpun tak boleh ditambahkan dengan dugaan-dugaan
subjektif. Pahamilah kenyataan itu sebagaimana adanya dan temukanlah
interkoneksi (salinghubungan) yang ada padanya.
b) Segala sesuatu ditentukan oleh keadaan, tempat dan waktu
Dengan mengakui adanya saling hubungan organik antara gejala-gejala
berarti juga bahwa adanya sesuatu hal tak dapat dipisahkan dari keadaan
di sekitarnya, atau adanya sesuatu hal mempunyai syarat-syarat
tertentu. Arti dari sesuatu hal ditentukan oleh keadaan atau situasinya.
Bilamana situasinya berubah, maka artinya pun berubah pula. Misalnya,
tumbuhnya cara produksi kapitalis atau kapitalisme memerlukan
syarat-syarat tertentu, yaitu di satu pihak sudah ada kapital, di lain
pihak sudah tersedia buruh upahan. Dan syarat-syarat ini baru terdapat
pada akhir zaman feodal di Eropa. Pada ketika itu kapitalisme mempunyai
arti yang revolusioner dalam melawan feodalisme, kelas borjuis
mempunyai peranan revolusioner dalam melawan kaum feodal. Tetapi
kapitalisme dan kelas borjuis di negeri-negeri Eropa Barat dan Amerika
pada waktu sekarang sudah tidak revolusioner lagi, melainkan
reaksioner, karena kelas borjuis di negeri-negeri tersebut sudah tidak
menginginkan lagi adanya perubahan revolusioner dalam masyarakat,
mereka mati-matian mempertahankan sistem masyarakat yang ada, mereka
mengulangi apa yang dilakukan oleh kaum feodal yang sudah mereka
jatuhkan itu.
Dengan demikian jelaslah bahwa materialisme dialektik bertentangan
dengan pandangan metafisik yang beku, yang berusaha mengabadikan atau
memutlakkan arti sesuatu, atau memandang dan menganalisa sesuatu
dipisahkan dari keadaan sekitarnya, dari hubungannya dengan hal-hal
lain. Misalnya, memandang kapitalisme sebagai sesuatu yang berdiri
sendiri; karena kapitalisme adalah suatu sistem penghisapan atas
manusia oleh manusia, maka dianggap sebagai suatu sistem yang
reaksioner dan harus ditentang secara mutlak dimana saja dan pada waktu
kapan juga. Sebagai kelanjutan daripada anggapan yang keliru ini,
ialah menilai peranan kaum kapitalis nasional di negeri kita sekarang
secara mutlak sebagai kelas yang reaksioner, karena mereka menghisap
kelas buruh. Jadi, tidak melihatnya dalam saling hubungannya dengan
imperialisme dan feodalisme, sehingga tak terlihat peranan revolusioner
borjuasi nasional dalam tingkat revolusi Indonesia sekarang yang secara
objektif anti-imperialisme dan anti feodalisme.
Pendeknya, dengan pandangan saling hubungan ini kita diajarkan supaya
dalam memandang dan memecahkan sesuatu masalah jangan dipisahkan dari
hubungan keseluruhannya, karena tiada satu hal yang tidak ada sebab atau
akibatnya, segala sesuatu ditentukan oleh keadaan, tempat dan waktu.
c) Saling hubungan yang pokok dan bukan pokok
Setiap hal mempunyai saling hubungan dengan banyak hal lainnya, baik
secara langsung maupun secara tidak langsung. Akan tetapi, di antara
sekian banyak saling hubungan itu tidaklah semuanya sama artinya,
peranannya, atau kedudukannya. Di antaranya ada saling hubungan yang
memainkan peranan menentukan, ada yang hanya memainkan peranan
mempengaruhi saja; ada yang bersifat keharusan, ada juga yang bersifat
kebetulan; ada yang merupakan sebab, ada pula yang merupakan akibat;
ada yang pokok, ada yang bukan pokok; dsb, dsb.
Misalnya, masalah pembebasan Irian Barat mempunyai saling hubungan
dengan banyak hal, yang secara umum kita dapat golongkan dalam
bidang-bidang ekonomi, politik, militer dan kebudayaan atau ideologi.
Untuk dapat membebaskan Irian Barat pertama-tama diperlukan adanya
kesadaran dan kebulatan tekad dari seluruh rakyat Indonesia dan seluruh
aparat pemerintah sehingga dapat memobilisasi seluruh kekuatan, baik
materiil maupun spiritual yang ada padanya. Tetapi untuk mencapai
persatuan nasional dan mobilisasi seluruh potensi nasional yang
dimaksud itu tak dapat hanya dengan agitasi saja tanpa memberikan
perspektif yang baik bagi kehidupan materiil dan spiritual bagi rakyat.
Oleh karena itu dibutuhkan adanya ketegasan di bidang politik untuk
menjamin kebebasan demokratis bagi rakyat dan semua elemen patriotik di
satu pihak, dan untuk menindas musuh-musuh rakyat di pihak lain.
Hanya
dengan demikian baru bisa ditimbulkan kesadaran dan kegairahan bagi
seluruh rakyat dan seluruh potensi nasional untuk membebaskan Irian
Barat maupun untuk mengatasi segala kesulitan-kesulitan yang
dihadapinya, terutama masalah keuangan dan ekonomi, masalah sandang
pangan. Oleh karena itu, saling hubungan pembebasan Irian Barat dengan
kebijaksanaan di bidang politik seperti tersebut di dalam (demokrasi,
persatuan nasional dan mobilisasi massa rakyat) merupakan saling
hubungan yang pokok. Ini sesuai dengan pengalaman sejarah pada masa
Revolusi Agustus 1945 yang membenarkan bahwa “politik adalah panglima”
atau seperti yang disebutkan dalam Resopim “Manipol memimpin bedil” dan
bukan “bedil yang memimpin Manipol”. Dalam meninjau saling hubungan
antara masalah pembebasan Irian Barat dengan
kebijaksanaan-kebijaksanaan di bidang politik, dapat pula kita bagi
dalam dua segi: politik luar negeri dan politik dalam negeri.
Hubungannya dengan politik dalam negeri merupakan faktor yang pokok,
yang menentukan. Politik luar negeri adalah pencerminan
kebijaksanaan-kebijaksanaan politik dalam negeri.
Pandangan demikian ini berlawanan dengan pandangan metafisik yang
cenderung menyamaratakan saling hubungan yang bersegi banyak itu,
sehingga mengaburkan pokok persoalannya, yang berakibat
berlarut-larutnya persoalan sehingga tak terselesaikan.
Oleh karenanya, pengakuan adanya saling hubungan antara gejala-gejala
adalah penting, tetapi lebih penting lagi ialah membeda-bedakan di
antaranya mana yang pokok dan yang bukan pokok, yang penting dan yang
tidak penting, yang bersifat kebetulan dan yang bersifat keharusan,
yang merupakan sebab dan yang merupakan akibat, dsb. dsb. hanya dengan
demikian kita baru bisa memecahkan persoalan secara tepat dan efisien.
(C) DUNIA MATERIIL SENANTIASA BERGERAK DAN BERKEMBANG – PATAH TUMBUH HILANG BERGANTI
Materialisme dialektik tidak hanya memandang dunia materiil sebagai
satu kesatuan yang organik, bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini
mempunyai saling hubungan yang organik, tetapi lebih lanjut juga
berpendapat bahwa dunia materiil ini senantiasa di dalam keadaan
bergerak dan berkembang.
“Seluruh alam”, kata Engels dalam karyanya yang terkenal Dialektika Alam,
“dari sesuatu yang sekecil-kecilnya sampai pada yang sebesar-besarnya,
dari sebutir pasir sampai matahari, dari Protista sampai ke manusia,
adalah dalam keadaan senantiasa timbul dan lenyap, dalam keadaan
senantiasa mengalir, dalam keadaan gerak dan berubah yang tak
henti-hentinya”.[13]
Dalam tulisannya Anti-Dühring, Engels menerangkan lebih lanjut: “Gerak adalah bentuk eksistensi materi. Dimanapun
tak pernah ada, dan juga tak mungkin ada materi tanpa gerak ... Materi
tanpa gerak sama tidak mungkinnya seperti gerak tanpa materi. Oleh
karena itu gerak, sebagaimana materi itu sendiri, tak dapat diciptakan
dan dilenyapkan; sebagaimana dinyatakan oleh filsafat yang lebih tua
(Descartes), kuantitas dari pada gerak yang ada di dunia selamanya
sama. Oleh karena itu gerak tak dapat diciptakan, ia hanya dapat
ditransfer.”[14]
Jelaslah bahwa pandangan materialisme dialektik demikian ini
berdasarkan kenyataan objektif – alam, masyarakat maupun pikiran manusia
– yang memang dalam keadaan senantiasa bergerak dan berkembang,
sebagaimana dikatakan oleh Heraclitus: “Panta rhei”, atau sebagaimana
peribahasa kita mengatakan “patah tumbuh hilang berganti” atau “zaman
beralih musim bertukar”.
a) Gerak materi adalah gerak sendiri
Dengan dikatakan gerak adalah bentuk eksistensi materi berarti bahwa
gerak materi itu bukan disebabkan karena dorongan dari kekuatan di luar
materi, melainkan oleh kekuatan-kekuatan yang ada di dalam materi itu
sendiri. Kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dalam ilmu alam, misalnya
tentang atom, transmutasi unsur-unsur dan sebagainya, telah membenarkan
hal ini. Pengalaman sejarah juga telah membuktikan bahwa perkembangan
masyarakat bukan disebabkan oleh kekuatan yang berada di luar
masyarakat itu, melainkan ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang berada
di dalam masyarakat itu sendiri.
Dengan demikian tidaklah berarti bahwa materialisme dialektik tidak
mengakui peranan faktor luar terhadap gerak materi. Materialisme
dialektik berpendapat bahwa faktor luar itu hanya dapat mempengaruhi
gerak materi tetapi bukan yang menentukan. Yang menentukan adanya gerak
materi adalah faktor-dalam yang ada pada materi itu sendiri.
Singkatnya, faktor-luar merupakan syarat dan faktor-dalam merupakan
sebab daripada gerak atau perubahan materi. Misalnya, seorang bayi
lahir bukan disebabkan oleh bidan, bidan hanyalah membantu lahirnya
sang bayi. Misal lain, perkembangan pembangunan nasional semesta
berencana di negeri kita ini ditentukan oleh faktor-faktor yang ada di
dalam negeri kita sendiri, sedangkan faktor-faktor yang ada di luar
negeri kita, seperti bantuan kredit, dsb. hanya memainkan peranan
mempengaruhi saja, bukan yang menentukan. Begitupun juga perkembangan
masalah Irian Barat ditentukan oleh faktor dalam negeri, oleh
kekuatan-kekuatan seluruh rakyat kita dari Sabang sampai Merauke.
Faktor-luar hanya dapat memainkan peranannya melalui faktor-dalam.
Pandangan demikian ini berlawanan dengan pandangan idealis maupun
materialis metafisik yang umumnya menganggap gerak materi itu
disebabkan oleh kekuatan-kekuatan di luar materi itu. Kaum metafisik,
yang pada dasarnya berpendapat bahwa segala sesuatu itu adalah diam dan
statis, dalam menghadapi kenyataan yang bergerak, berkembang dan
berubah, tak bisa lain daripada menarik kesimpulan bahwa gerak atau
perkembangan materi itu disebabkan oleh dorongan dari kekuatan-kekuatan
di luar materi itu, oleh faktor-faktor-luar, yang pada akhirnya tak
dapat menghindarkan diri terjerumus ke dalam lembah idealis, yaitu
menganggap bahwa gerak materi adalah pelaksanaan atau realisasi dari
“ide absolut” dsb., sebagaimana dialami oleh ahli ilmu-alam Inggris
yang besar pada abad ke-17, Isaac Newton (1642-1727).
b) Diam adalah salah satu bentuk gerak
Dengan pandangan bahwa dunia materiil itu selalu bergerak dan
berkembang, tidaklah berarti bahwa materialisme dialektik menyangkal
adanya keadaan diam atau statis. Materialisme dialektik berpendapat
bahwa gejala demikian itu adalah suatu bentuk dari pada gerak materi,
suatu bentuk gerak di dalam keadaan tertentu dimana imbangan
kekuatan-kekuatan-dalam dengan kekuatan-kekuatan-luar daripada materi
itu mencapai keseimbangan yang sifatnya sementara dan relatif. Keadaan
demikian ini disebut juga sebagai kestabilan relatif daripada kualitas.
Dengan demikian, materialisme dialektik berpendapat bahwa bentuk
gerak materi atau kenyataan objektif itu beraneka corak dan ragamnya,
makin berkembang praktek sosial manusia, makin maju ilmu, makin
banyaklah kita kenal akan bentuk-bentuk gerak materi. Engels
mengatakan: “gerak materi, tak dapat digolongkan begitu saja ke dalam
semacam gerak mekanis yang sederhana dan mati, semacam gerak sederhana
yang berupa pergeseran tempat saja; panas dan sinar, listrik dan
magnet, persenyawaan (kombinasi) dan peruraian (diasosiasi) dalam
kimia, kehidupan, dan akhirnya ide, semuanya adalah gerak materi”. [15]
Jelaslah, bahwa gerak materi itu beraneka bentuk ragamnya, dari gerak
yang paling sederhana, yaitu perubahan jumlah dan tempat – mekanis,
sampai pada yang paling rumit yang berupakan kehidupan alam organik,
termasuk juga pikiran. Tidak saja materi yang khusus mempunyai bentuk
geraknya yang khusus, satu materi yang sama juga mempunyai berbagai
macam bentuk geraknya pada tingkat-tingkat proses perkembangannya.
Misalnya, bentuk gerak masyarakat kapitalis pada tingkat pra-monopoli
berbeda dengan pada tingkat monopoli. Dan bentuk gerak materi yang satu
dapat berubah bentuk menjadi gerak yang lain. Semuanya itu telah
dibuktikan dengan penemuan-penemuan dalam ilmu-alam, misalnya dari
bentuk gerak aliran air bisa berubah menjadi bentuk gerak aliran
listrik, dan diubah lagi menjadi bentuk gerak mekanik, dsb.
Pandangan demikian ini bertentangan dengan pandangan gerak daripada
materialisme mekanis yang beranggapan gerak mekanis sebagai satu-satunya
bentuk gerak bagi semua materi.
c) “The new emerging forces” pasti menang
Dengan mengakui bahwa segala sesuatu dalam keadaan gerak dan
berkembang, bahwa tidak ada satu hal yang abadi, semuanya merupakan
proses perkembangan, semuanya “patah tumbuh, hilang berganti”, berarti
bahwa segala sesuatu ada masa lahir dan pertumbuhannya dan ada masa
lenyap atau perubahannya. Jika ada sesuatu yang baru tumbuh, sekalipun
kelihatannya kecil dan lemah pada permulaan perkembangannya, dalam
proses perkembangan selanjutnya pasti menjadi besar dan kuat.
Sebaliknya, suatu hal yang mula-mula kelihatannya besar dan kuat,
tetapi mewakili kekuatan lama, jadi tidak mempunyai hari depan,
akhirnya pasti lenyap. Demikianlah imperialisme dan kolonialisme yang
oleh Bung Karno disebut “the old established forces” (kekuatan lama
yang bercokol) sekalipun kelihatannya besar dan kuat, tetapi sebenarnya
ada dalam keadaan yang sedang lapuk dan hampir mati, adalah “macan
kertas”. Sebaliknya, kekuatan-kekuatan gerakan kemerdekaan nasional dan
kekuatan-kekuatan Sosialisme yang oleh Bung Karno disebut “the new
emerging forces” (kekuatan baru yang sedang tumbuh), walaupun pada
mulanya kelihatan kecil dan lemah, tetapi berada dalam proses
perkembangan tumbuh besar dan kuat, dan akhirnya pasti dapat
mengalahkan ‘the old established forces” dan memperoleh kemenangan yang
sepenuhnya.
Dengan demikian, pandangan materialisme dialektik mengajarkan kepada
kita supaya senantiasa berorientasi pada kekuatan-kekuatan atau
segi-segi yang sedang tumbuh, yang mempunyai hari depan. Ini berarti,
bahwa sebagai suatu prinsip kehidupan politik, kita harus selalu
memandang ke depan, dan tidak ke belakang. Demikianlah juga dalam
kehidupan organisasi, masalah penciptaan dan pemeliharaan tenaga-tenaga
muda atau kader-kader yang baru dan segar, merupakan suatu pekerjaan
yang penting. Dan hanya dengan demikian kehidupan organisasi bisa terus
berkembang maju, dari tingkat yang rendah ke tingkat yang lebih
tinggi.
(D) DUNIA MATERIIL BERKEMBANG MENURUT HUKUMNYA SENDIRI
Sebagaimana telah dikemukakan di dalam, dialektika adalah hukum
tentang saling hubungan dan perkembangan gejala-gejala. Jadi, saling
hubungan gejala-gejala dan perkembangan gejala-gejala merupakan dua segi
daripada dialektika yang tak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.
Dari uraian di dalam jelaslah kiranya, bahwa adanya saling hubungan
gejala-gejala sudah mengandung arti adanya gerak atau sebagai suatu
bentuk gerak; begitupun juga gerak sendiri daripada setiap materi sudah
mengandung arti adanya juga saling hubungan intern maupun ekstern
daripada materi. Jelaslah, oleh karena segala sesuatu itu saling
hubungan satu sama lain, maka bila ada satu hal bergerak dan berubah,
segera akan mempengaruhi hal-hal lainnya; dan oleh karena segala
sesuatu itu senantiasa bergerak dan berkembang, maka membikin satu sama
lain terjalin dalam saling hubungan yang makin rumit.
Sungguhpun demikian, tidaklah berarti bahwa saling hubungan dan
perkembangan gejala-gejala itu terjadi dan berlangsung secara kebetulan
atau tidak ada ketentuan-ketentuannya, sebagaimana anggapan kaum
metafisik; sebaliknya, materialisme dialektik berpendapat, dan memang
demikian kenyataannya, bahwa saling hubungan dan perkembangan
gejala-gejala di dunia ini mempunyai ketentuan-ketentuannya, mempunyai
hukum-hukumnya.
Bagaimana hukum dialektika atau hukum tentang perkembangan itu? Engels merumuskan dalam tiga hukum dasar:
a. Hukum tentang kesatuan dan perjuangan dari segi-segi yang berlawanan atau tentang kontradiksi;
b. Hukum tentang perubahan kuantitatif ke perubahan kualitatif; dan
c. Hukum tentang negasi daripada negasi.
Baiklah sekarang saja terangkan secara singkat isi pokok daripada tiga hukum dasar dialektika itu.
a) Hukum tentang kontradiksi
Hukum kontradiksi ini merupakan “inti” atau “jiwa” daripada dialektika, karena ia menerangkan sumber dan hakikat perkembangan. Lenin mengatakan: “Terbaginya kesatuan dan pengenalan atas bagian-bagiannya yang berkontradiksi adalah hakikat dari dialektika”.[16]
Oleh karenanya ia adalah salah satu ciri terpenting yang membedakan
dialektika dengan metafisika. Dan merupakan kunci bagi kita untuk
memahami dengan baik dialektika keseluruhannya.
Hukum ini menyatakan bahwa segala sesuatu terdiri dari bagian-bagian
atau segi-segi yang berbeda-beda atau berkontradiksi, dan gerak atau
perkembangan sesuatu itu terutama disebabkan adanya saling hubungan yang
berupa “persatuan dan perjuangan” antara segi-segi bertentangan yang
ada di dalamnya. Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa kita sendiri, maka
dapatlah kita katakan hukum ini adalah hukum “bhinneka tunggal ika”.
Pengenalan manusia bahwa dunia kenyataan ini mengandung
kontradiksi-kontradiksi sebagai sumber perkembangannya, sebagaimana
telah dikemukakan dalam bagian terdahulu, sudah dimulai oleh
filsuf-filsuf Yunani Kuno, dan kemudian makin diperkuat kebenarannya
oleh hasil-hasil ilmu, misalnya, sebagaimana dikemukakan oleh Lenin,
adanya plus (+) dan minus (-), diferensial dan integral dalam ilmu
pasti (matematika); adanya aksi dan reaksi dalam mekanika; adanya
listrik positif dan negatif dalam fisika; adanya persenyawaan
(kombinasi) dan peruraian (disosiasi) atom-atom dalam ilmu kimia; dan
adanya perjuangan kelas dalam ilmu kemasyarakatan.[17]
Jelaslah bahwa kontradiksi itu ada secara objektif, bukanlah buatan
atau terkaan manusia dalam pengalaman praktek sosialnya, sungguhpun
demikian, hingga kini masih saja ada sementara orang yang tak dapat
atau tidak mau memahami kebenaran hukum kontradiksi ini, dan
melontarkan ejekan, sebagaimana pernah dilakukan oleh Duhring, bahwa
hukum kontradiksi daripada dialektika itu adalah suatu kegilaan yang
besar. Bahkan ada juga di antaranya yang menuduh filsafat kaum Marxis
atau Komunis ini adalah filsafat berbolak-balik yang tiada
ketegasannya, atau menuduh kaum Komunis paling keranjingan untuk
menimbulkan dan mengobarkan pertentangan-pertentangan di dalam
masyarakat atau perjuangan kelas guna kepentingannya, dsb.
Terhadap mereka saya hanya hendak mengulangi kembali jawaban yang
pernah diberikan oleh Engels, Engels berkata: “otak yang berpikir
secara metafisik itu secara mutlak tak mampu beralih dari ide tentang
diam ke ide tentang gerak, sebab kontradiksi yang ditunjukkan di dalam
telah menutup jalannya”.[18]
Adapun berpikir secara metafisik, kalau bukan karena kekhilafan atau
kebiasaan yang jelek, adalah karena dorongan keinginan subjektif yang
keras untuk menutup-nutupi kenyataan guna mengabadikan kepentingan dan
kedudukan kelasnya. Kaum Marxis tidak berkepentingan untuk menutupi
kenyataan atau menutup matanya terhadap kenyataan, dan justru karena
kaum Marxis membuka matanya lebar-lebar terhadap kenyataan, maka dapat
memahami secara mendalam dan tepat akan kontradiksi-kontradiksi yang
berlaku di dunia ini, adanya perjuangan kelas di dalam masyarakat,
sehingga tahu pula bagaimana seharusnya berjuang untuk melenyapkan
perjuangan kelas untuk selama-lamanya.
Hukum kontradiksi adalah umum dan universal. Segala hal ihwal pada
waktu dan tempat manapun juga, selalu mengandung kontradiksi di
dalamnya. Sudah tentu, tiap-tiap hal mempunyai kontradiksinya
sendiri-sendiri yang khas, yang membedakan hal yang satu dari lainnya.
Satu hal yang sama, pada tingkat-tingkat yang berbeda dari proses
perkembangannya, juga mempunyai kekhususan-kekhususan dalam
kontradiksi-kontradiksinya, yang membedakan tingkat perkembangannya yang
satu dari yang lainnya. Kesadaran bahwa kontradiksi berlaku secara
umum dan universal, berarti bahwa kita harus mengenal
kekhususan-kekhususan kontradiksi yang ada pada sesuatu hal yang
konkret. Dan dalam mempelajari kekhususan kontradiksi itu yang
terpenting ialah untuk mengenal kontradiksi-pokok dan segi-pokok
daripada kontradiksi.
Di dalam proses perkembangan sesuatu hal yang rumit terdapat banyak
kontradiksi. Kontradiksi-kontradiksi yang dikandungnya mempunyai arti
atau peranan dan kedudukan yang berbeda-beda di sepanjang proses
perkembangannya. Seperti dikatakan oleh Kawan Mau Tje-Tung, pada setiap
tingkat perkembangannya, “hanya satu di antaranya yang merupakan kontradiksi pokok yang memegang peranan memimpin dan menentukan, sedangkan yang lain-lainnya menempati kedudukan yang
sekunder atau yang dibawahkan”.[19]
Dengan perkataan lain, kontradiksi pokok adalah kontradiksi “yang memegang peranan memimpin” pada suatu tingkat di dalam proses perkembangan sesuatu. Misalnya,
pada ketika imperialis Belanda melakukan agresi ke-I terhadap tanah
air kita pada akhir tahun 1945, berbagai kelas di dalam negeri, kecuali
sekelompok kecil kaum pengkhianat, dapat bersatu melakukan perang
nasional melawan imperialis Belanda dan sekutu-sekutunya. Pada waktu
itu, kontradiksi antara imperialisme dengan nasion atau Rakyat
Indonesia menjadi kontradiksi-pokok, sedangkan kontradiksi-kontradiksi
di kalangan berbagai kelas di dalam negeri ditempatkan pada kedudukan
yang sekunder. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, oleh karena
berhasilnya tipu-muslihat kaum imperialis lewat kaki tangannya dalam
negeri untuk memecah belah persatuan nasional kita, terjadilah peristiwa
tragedi nasional, yaitu Peristiwa Madiun di zaman kabinet Hatta, pada
bulan September 1948. Pada saat itu, kontradiksi antara kaum reaksi
dalam negeri dan borjuasi nasional dengan Rakyat pekerja Indonesia
menjadi kontradiksi-pokok, sedangkan kontradiksi antara kaum agresor
Belanda dengan nasion Indonesia dibawahkan. Kemudian, dengan terjadinya
agresi ke-II imperialis Belanda dengan sekutu-sekutunya, maka
terjadilah mutasi kembali, yaitu kontradiksi antara kaum imperialis
Belanda dengan nasion Indonesia menjadi kontradiksi-pokok. Tetapi,
dengan ditandatanganinya persetujuan KMB, kaum imperialis berhasil
dengan secara tidak langsung membantu kaum reaksioner di dalam negeri
dengan menaikkannya ke atas panggung kekuasaan politik untuk menindas
Rakyat Indonesia. Dengan demikian kontradiksi antara reaksi dalam
negeri dengan Rakyat Indonesia menjadi kian tajam dan menonjol,
sehingga terjadi rentetan peristiwa-peristiwa, seperti “Larangan mogok
natsir”, “Razzia Agustus Sukiman”, “Traktor Maut Rum”, dan sebagai
salah satu puncaknya ialah “pemberontakan ‘PRRI-Permesta’”. Semenjak
kaum pemberontak pada pokoknya dihancurkan, kaum imperialis kehilangan
tamengnya yang penting, kontradiksi antara imperialis dengan nasion
Indonesia kembali menjadi kontradiksi-pokok sampai saat ini.
Demikianlah kita melihat bahwa kontradiksi-pokok pada tiap tingkat
perkembangan proses revolusi kita ini serta mutasi-mutasi
kontradiksi-pokok itu memberikan ciri dan arah pada tiap tingkat
perkembangan itu. Sungguhpun demikian, jika ditinjau seluruh proses
perkembangan tingkat revolusi Indonesia dewasa ini, maka kontradiksi
pokoknya adalah antara kaum imperialis dengan nasion Indonesia dan
antara Feodalisme dengan massa Rakyat yang terbesar, terutama kaum
tani. Kontradiksi antara feodalisme dengan massa Rakyat adalah termasuk
kontradiksi-pokok, karena feodalisme adalah basis sosial daripada
imperialisme. Tetapi di dalam segala-galanya, yang terpokok ialah
kontradiksi antara imperialisme dengan nasion Indonesia.
Oleh karena kontradiksi-pokok memainkan peranan yang memimpin
kontradiksi-kontradiksi lainnya pada suatu tingkat perkembangan
tertentu, maka ia merupakan mata rantai persoalan yang harus dipecahkan
lebih dulu, dan hanya dengan demikian kontradiksi-kontradiksi lainnya
baru bisa dan lebih mudah diselesaikan. Tetapi ini tak berarti bahwa
kontradiksi-kontradiksi yang bukan pokok tidak ada peranannya atau
pengaruhnya sama sekali terhadap penyelesaian kontradiksi pokok.
Sebaliknya, perkembangan kontradiksi-kontradiksi itu mempunyai pengaruh
yang tidak kecil terhadap penyelesaian kontradiksi-pokok. Misalnya,
kontradiksi-pokok yang harus kita selesaikan lebih dahulu pada tingkat
revolusi Indonesia sekarang adalah kontradiksi antara imperialisme
dengan Rakyat atau nasion Indonesia, sedangkan kontradiksi-kontradiksi
lainnya yang merupakan kontradiksi-kontradiksi di kalangan Rakyat
adalah kontradiksi-kontradiksi yang bukan pokok. Dalam usaha untuk
menyelesaikan kontradiksi-pokok dalam revolusi kita tingkat sekarang
ini, perkembangan kontradiksi-kontradiksi di kalangan Rakyat mempunyai
pengaruh yang besar. Jika pengurusan kontradiksi-kontradiksi di
kalangan Rakyat tidak tepat, ia akan mempersulit atau menghambat
penyelesaian kontradiksi-pokok, lebih-lebih kalau sampai terjadi
mutasi, yaitu kontradiksi di kalangan Rakyat berubah menjadi
kontradiksi pokok, sedangkan kontradiksi antara imperialisme dengan
Rakyat menjadi kontradiksi yang bukan pokok, maka akan berarti revolusi
kita mengalami kemunduran. Justru oleh karena itu, dalam usaha untuk
menyelesaikan revolusi kita sekarang ini, di samping kita harus
mengarahkan ujung tombak kita kepada imperialisme – terutama imperialis
Belanda yang kini masih menjajah wilayah dan Rakyat kita di Irian
Barat, kita harus pula mengurus secara tepat kontradiksi-kontradiksi di
kalangan Rakyat, tidak hanya untuk mencegah terjadinya mutasi
kontradiksi-pokok, tetapi juga untuk membantu atau memudahkan
penyelesaian kontradiksi-pokok.
Untuk itulah maka, kaum Komunis
Indonesia mengemukakan pendiriannya: meletakkan kepentingan kelas dan
Partai di bawah kepentingan nasion; dan untuk itu pula kaum Komunis
mengibarkan Tripanji Bangsa; Demokrasi (untuk Rakyat), Persatuan (nasional revolusioner) dan Mobilisasi (segenap
potensi nasional). Sudah tentu, musuh-musuh kita senantiasa berusaha
dengan segala tipu daya, terutama dengan intrik-intrik “anti-Komunis”
supaya kontradiksi di kalangan Rakyat berpindah (mutasi) menjadi
kontradiksi-pokok. Oleh karena itu, kewaspadaan nasional menghendaki
pertama-tama diperkuatnya front persatuan yang berporoskan Nasakom dan
diberantasnya segala macam intrik dan kegiatan “anti-Komunis” dan
penyakit “komunisto-phobi”. Di sinilah arti penting kampanye Presiden
Sukarno melawan “komunisto-phobi” dilihat dari segi kepentingan seluruh
nasion. Inilah sebabnya mengapa kaum Komunis Indonesia menerima ide
“Gotongroyong” dan menerima UUD 1945 yang di dalamnya terkandung
Pancasila sebagai alat pemersatu segenap kekuatan nasional
revolusioner.
Setiap kontradiksi terdiri atas dua segi. Dua segi dalam kontradiksi
itu mempunyai arti, peranan dan kedudukan yang tidak sama. Di
antaranya ada satu segi yang mewakili kekuatan-kekuatan lama atau “the
old established forces”, dan segi lainnya yang mewakili
kekuatan-kekuatan yang baru atau “the new emerging forces”, atau dengan
perkataan lain segi negatif dan segi positif. Selain dari itu,
kedudukan dua segi itu dalam proses perkembangan kontradiksi memainkan
peranan yang tidak sama, ada yang menguasai dan ada yang dikuasai, ada
yang memimpin dan ada yang dipimpin. Dalam keadaan tertentu dua segi
itu bisa berada dalam kedudukan yang seimbang, tetapi ini bersifat
sementara dan relatif. Segi yang berperanan menguasai atau berdominasi
dalam seluruh proses perkembangan mempunyai arti yang menentukan
kualitasnya kontradiksi itu. Segi yang berperanan memimpin pada
tingkat-tingkat perkembangan tertentu mempunyai arti yang menentukan
terhadap arah yang dituju oleh perkembangan kontradiksi itu pada
tingkat tertentu.
Segi yang baru pada permulaan proses perkembangan kontradiksi masih
kecil dan lemah, dan karenanya merupakan segi yang dipimpin dan
dikuasai. Tetapi dalam proses perkembangan selanjutnya, ia tumbuh makin
besar dan kuat, sehingga kedudukannya pun berubah menjadi yang
memimpin, dan kemudian berdominasi. Apabila ini terjadi, berartilah
kualitas kontradiksi itu berubah.
Memahami keadaan dua segi dalam kontradiksi adalah penting sekali
artinya bagi usaha-usaha menyelesaikan kontradiksi itu. Hanya dengan
mengenal secara tepat keadaan musuh dan keadaan kita sendiri, kita
dapat menyelesaikan kontradiksi antara kita dengan musuh itu secara
lebih tepat. Dan dalam mengenal keadaan dua segi yang berkontradiksi
itu pertama-tama kita perlu mengetahui mana yang merupakan segi baru,
segi yang mempunyai hari depan, dengan maksud agar kita berorientasi
pada segi baru ini serta menyiapkan syarat-syarat yang diperlukan untuk
pertumbuhannya. Selanjutnya perlu diketahui syarat-syarat yang
diperlukan untuk menempati kedudukan yang memimpin dan lebih lanjut
dikembangkan untuk menjadi segi yang menguasai. Demikianlah juga
seharusnya kita menghadapi masalah pembebasan Irian Barat. Kita harus
teguh berorientasi dan percaya kepada kekuatan Rakyat Indonesia
sendiri, harus menyiapkan syarat-syarat yang menguntungkan bagi
pertumbuhan kekuatan Rakyat itu. Membesar-besarkan kekuatan musuh,
apalagi mengekang pertumbuhan kekuatan Rakyat, adalah tindakan yang
bertentangan dengan arah perkembangan, dan tindakan yang khianat.
b) Hukum tentang perubahan kuantitatif ke perubahan kualitatif
Hukum tentang perubahan kuantitatif ke perubahan
kualitatif menerangkan jalannya proses perkembangan segala sesuatu.
Hukum ini mengungkapkan bahwa perkembangan segala sesuatu itu terdiri
dari dua tingkatan yaitu tingkatan perubahan kuantitatif dan tingkatan
perubahan kualitatif. Perubahan kuantitatif berlangsung secara
berangsur-angsur, secara evolusioner; tetapi sampai pada batas
tertentu, apabila bingkai lama diterjang, ia menimbulkan perubahan
kualitatif yang berlangsung secara tiba-tiba, secara revolusioner, dan
merupakan suatu lompatan. Perubahan kuantitatif menyiapkan
perubahan kualitatif, dan perubahan kualitatif menyelesaikan perubahan
kuantitatif yang lama dan melahirkan serta mengembangkan perubahan
kuantitatif yang baru. Demikianlah proses perkembangan segala
sesuatu itu merupakan rentetan perubahan kuantitatif dan perubahan
kualitatif yang silih berganti secara terus-menerus tak kunjung
hentinya.
Berdasarkan hukum ini maka dalam memandang dan mengubah segala
sesuatu kita harus mengetahui dengan jelas kuantitas dan kualitasnya,
mengetahui dengan jelas perubahan-perubahan kuantitatif apa yang
diperlukan untuk memungkinkan lahirnya perubahan kualitatif yang
dituju. Hanya mengenal perubahan kualitatif saja, tetapi mengabaikan
perubahan kuantitatif yang diperlukan, berarti kita membuat kesalahan
avonturisme. Sebaliknya hanya puas dengan perubahan-perubahan
kuantitatif saja, tidak menghendaki perubahan kualitatif, berarti kita
membuat kesalahan reformisme.
Misalnya, untuk mengubah masyarakat Indonesia dari kualitas sekarang
ini – yang belum merdeka penuh dan setengah-feodal – menjadi kualitas
sosialis, kita harus mengetahui perubahan-perubahan kuantitatif dan
kualitatif apa yang harus dilaluinya. Dalam Manifesto Politik R.I.
secara tepat telah dikemukakan, bahwa untuk mencapai masyarakat
sosialis, harus dilalui satu masa peralihan, yaitu Indonesia yang
merdeka dan berdaulat penuh, bebas dari pengaruh imperialisme dan
feodalisme. Ini sangat jelas, karena masyarakat sosialis tidak bisa
dibangun dalam Indonesia yang belum merdeka penuh (politik, ekonomi,
kultural) serta masih setengah-feodal. Dan sebagaimana sering dikatakan
oleh Presiden Sukarno, kita bukan hanya tidak boleh evolusioner dan
reformis, tetapi juga tidak boleh melakukan “fasen-sprong” (melompati
tingkat yang objektif harus dilalui).
Untuk dapat mencapai Indonesia yang merdeka penuh, kini sedang
diperlukan perubahan-perubahan kuantitatif, yaitu perubahan perimbangan
kekuatan antara Rakyat Indonesia di satu pihak dan musuh-musuh Rakyat
di pihak lain. Perubahan kuantitatif itu harus diusahakan demikian rupa
sehingga kekuatan Rakyat kian hari kian bertambah besar dan
kekuatan-kekuatan imperialisme serta kaum reaksioner di dalam negeri
kian hari bertambah lemah, sehingga pada suatu saat terjadi perubahan
kualitatif dari Indonesia sekarang menjadi Indonesia baru yang merdeka
dan berdaulat penuh. Dengan itu selesailah perubahan kuantitatif yang
lama, yaitu perubahan perimbangan antara kekuatan Rakyat dan kekuatan
musuh-musuh Rakyat, dan sementara itu terjadi perubahan-perubahan
kuantitatif yang baru, yaitu, misalnya, perubahan-perubahan kuantitatif
dalam keluasan dan kecepatan pembangunan ekonomi, dalam susunan kelas
dalam masyarakat, dsb., dan perubahan-perubahan kuantitatif ini
ditujukan untuk melahirkan perubahan kualitatif yang baru, untuk
melahirkan masyarakat sosialis. Jika ada orang yang hendak mengubah
masyarakat kita sekarang ini sekaligus menjadi masyarakat sosialis
tanpa melalui suatu masa peralihan, maka ia melakukan suatu kesalahan
avonturis. Sebaliknya, kalau ada orang yang hanya menghendaki
perubahan-perubahan kuantitatif, perbaikan upah buruh, membatasi tanah
milik tuan tanah feodal, dsb., dan tidak menjuruskan perubahan-perubahan
ini kepada perubahan kualitatif, yaitu kepada masyarakat Indonesia
yang merdeka penuh dan masyarakat sosialis, maka ini adalah kesalahan
reformis.
Pendeknya, jika dengan secara sadar kita menggunakan hukum ini dalam
praktek perjuangan, maka kita dapat menentukan secara tepat garis
strategi dan garis taktik perjuangan.
c) Hukum tentang negasi daripada negasi
Hukum negasi daripada negasi mengungkapkan arah atau kecenderungan umum daripada gerak atau perkembangan segala
sesuatu. Ia mengungkapkan penggantian kualitas lama dengan kualitas
baru dalam proses perkembangan dan peningkatan dari bentuk-bentuk yang
rendah dan sederhana ke bentuk-bentuk yang lebih tinggi, yang lebih
kompleks. Oleh sebab itu hukum negasi daripada negasi ini menyatakan
watak progresif dari perkembangan, bahwa perkembangan mengikuti garis
maju. Hukum ini juga menunjukkan bahwa perkembangan segala sesuatu itu
tidak merupakan garis lingkaran yang tak mengenal ujung-pangkalnya,
juga bukan garis lurus yang menaik, melainkan garis spiral.
Dalam tulisannya yang berjudul Karl Max, Lenin antara lain
mengatakan: “Suatu perkembangan nampaknya mengulangi tingkat-tingkat
yang sudah pernah dilaluinya, tetapi mengulanginya secara lain,
mengulanginya di dalam dasar yang lebih tinggi (‘negasi daripada
negasi’), dengan demikian, suatu perkembangan, dapat dikatakan,
merupakan spiral, bukan garis lurus”.[20] Sebagai ilustrasi mengenai hukum ini, Engels pernah memberikan suatu contoh seperti berikut:
“Mari kita ambil sebagai contoh sebutir jelai ……… jika butir jelai
itu berada dalam keadaan yang baginya normal, jika jelai itu ditabur di
dalam tanah yang cocok, dan kemudian di bawah pengaruh hawa panas dan
lembab ia mengalami perubahan yang khas, ia berkecambah; butir jelai
seperti yang semula tidak ada lagi, ia dinegasi, dan dari jelai itu
muncul sebatang pohon, negasi terhadap jelai itu ……….. Ia tumbuh,
berbunga, menjadi subur dan akhirnya sekali lagi menghasilkan
butir-butir jelai, dan segera butir-butir jelai itu masak batangnya
mati, pada gilirannya ia dinegasi. Sebagai akibat daripada negasi ini
kita sekali lagi mempunyai butir jelai semula, tetapi bukan satu,
melainkan lipat sepuluh, dua puluh dan tiga puluh kali”. [21]
Sejarah perkembangan masyarakat juga menunjukkan proses perkembangan
negasi daripada negasi. Misalnya, masyarakat komune-primitif (tidak
berkelas) dinegasi oleh masyarakat-masyarakat berkelas (perbudakan,
feodal, dan kapitalis), dan kemudian dinegasi lagi oleh masyarakat
sosialis dan Komunis (tidak berkelas). Masyarakat sosialis dan Komunis
menunjukkan ciri-ciri yang ada semula di dalam masyarakat
komune-primitif, yaitu a.I, hak milik bersama atas alat-alat produksi,
meskipun dasarnya berlainan sama sekali. Hak milik bersama atas
alat-alat produksi dalam masyarakat sosialis dan Komunis adalah atas
dasar yang jauh lebih tinggi, karena tenaga produktif masyarakatnya
sudah jauh lebih maju. Saya pernah menghadapi pertanyaan: apakah
masyarakat Komunis tidak akan dinegasi legi oleh masyarakat berkelas?
Hukum negasi daripada negasi, sebagaimana hukum-hukum dialektika
lainnya, akan terus berlaku, hal ini sudah pasti. Tetapi, bagaimana
perwujudan konkretnya, tidak dapat kita ketahui sekarang, sebab pada
dewasa ini belum ada satu negeripun dimana sudah terdapat masyarakat
komunis. Dalam pada itu, bagaimanapun nantinya bentuk perwujudan
daripada hukum negasi daripada negasi itu, hukum ini pasti
mengakibatkan kemajuan dan bukan kemunduran perkembangan.
Hukum dialektika ini mengajarkan kepada kita bahwa dalam memandang
dan mengubah (menyelesaikan) sesuatu masalah, di samping kita harus
mengenal secara tepat tingkat-tingkat perkembangan yang dialaminya,
kita harus pula mengetahui dengan jelas faktor-faktor negasi yang
dikandungnya serta syarat-syarat yang diperlukan untuk terjadinya
negasi itu serta perkembangannya, dan dengan demikian baru kita bisa
mengubah keadaan ke tingkat perkembangan yang lebih tinggi. Misalnya,
perkembangan masyarakat kita sekarang ini, di dalamnya mengandung
beberapa faktor negasi; yang mungkin menegasi atau mengubah
masyarakat kita menjadi: 1) masyarakat jajahan dalam bentuk baru
(neo-kolonialisme): 2) masyarakat kapitalis: dan 3) masyarakat
peralihan yang menuju ke Sosialisme. Tetapi, penetapan Garis Besar
Haluan Negara atau Manipol dan pelaksanaannya secara konsekuen adalah
justru untuk mencegah terjadinya kemungkinan negasi yang 1) dan 2),
yang kemungkinannya dalam syarat-syarat sejarah dewasa ini memang
kecil, dan menjamin perkembangan menurut negasi yang ke 3). Inilah
keterangan secara filsafat mengapa kaum Komunis Indonesia menerima
Manipol dan memperuangkan pelaksanaannya secara konsekuen.
Demikianlah pokok-pokok pandangan materialisme dialektik
3. Materialisme Histori
Materialisme histori adalah penerapan materialisme dialektik di
dalam sejarah dan kehidupan masyarakat. Dengan lahirnya materialisme
histori ini terjadilah suatu revolusi di dalam pandangan sejarah. Ia
telah mendobrak pandangan sejarah idealis yang hampir 2000 tahun
lamanya menguasai alam pikiran manusia, dan menegakkan pandangan
sejarah yang ilmiah. Dan ini merupakan suatu ciri yang penting yang
membedakan materialisme Marx dengan materialisme- materialisme
sebelumnya, karena materialisme sebelum Marx tak dapat memegang teguh
dan konsekuen pandangan materialis dalam menghadapi masalah-masalah
sosial dan sejarah.
Lenin berkata: “Penemuan konsepsi materialis tentang sejarah, atau
lebih tepat lagi, penerangan dan peluasan materialisme secara konsekuen
ke dalam bidang gejala-gejala sosial, telah mengatasi dua kelemahan
pokok daripada teori-teori sejarah dahulu. Pertama, mereka
paling-paling hanya meneliti motif-motif ideologis daripada aktivitas
sejarah manusia, tanpa menyelidiki apa yang melahirkan motif-motif itu,
tanpa berpegang pada hukum-hukum objektif yang menguasai perkembangan
sistem hubungan sosial, dan tanpa melihat akar-akar daripada
hubungan-hubungan itu pada tingkat perkembangan produksi materiil:
kedua, teori-teori dahulu tidak meliputi aktivitas massa penduduk,
sedang materialisme histori untuk pertama kalinya mempelajari keadaan
sosial daripada kehidupan massa dan perubahan-perubahan di dalamnya
dengan ketepatan (keakuratan) ilmu-alam”.[22]
Dengan materialisme histori, Marx menunjukkan hukum-hukum objektif
perkembangan masyarakat, menjelaskan secara ilmiah sebab-sebabnya
kelahiran, perkembangan dan kehancurannya sesuatu sistem masyarakat. Ia
menyatakan bahwa pencipta sejarah adalah massa. Rakyat pekerja, bukan
individu-individu istimewa, misalnya raja, pahlawan, dsb.
Ajaran Marx tentang ekonomi politik dan tentang Sosialisme ilmiah,
yang akan diuraikan kemudian, adalah justru perwujudan konkret daripada
materialisme histori mengenai perkembangan masyarakat manusia pada
tingkat tertentu – Kapitalisme. Oleh karenanya, di sini saja tak perlu
menjelaskan semua isi pokoknya.
Yang hendak saya kemukakan di bagian ini hanya mengenai dua hal,
yaitu: (A) tentang perjuangan kelas, dan (B) tentang peranan Rakyat
pekerja dan individu di dalam sejarah.
(D) TENTANG PERJUANGAN KELAS
Kini masih ada saja sementara orang mengatakan bahwa mereka dapat
menerima ajaran Marxisme, kecuali ajarannya tentang perjuangan kelas.
Pernyataan demikian ini sebenarnya merupakan suatu bentuk penolakan
terhadap seluruh ajaran Marxisme. Sebab, ajaran Marx tentang perjuangan
kelas adalah “jiwa” daripada Marxisme.
Perjuangan kelas adalah suatu proses perkembangan objektif daripada
sejarah sejak masyarakat terbagi dalam kelas-kelas yang saling
bertentangan kepentingannya. Timbulnya kelas-kelas di dalam masyarakat
adalah akibat yang wajar daripada kemajuan tenaga produktif masyarakat
pada tingkat perkembangan sejarah tertentu – peralihan dari masyarakat
komune-primitif ke masyarakat pemilikan-budak, dimana manusia telah
dapat menghasilkan hasil-lebih dari kerjanya sendiri sehingga dengan
demikian terciptalah syarat-syarat bagi segolongan orang untuk merampas
dan memiliki hasil-lebih kerja orang lain dengan melalui perampasan
dan pemilikan atas alat-alat produksi. Oleh karena itu, timbulnya
perjuangan kelas dalam sejarah serta perkembangannya tak dapat
dipisahkan dari timbul dan perkembangannya sistem hak milik
perseorangan atas alat-alat produksi. Dengan perkataan lain, dapat
dikatakan juga, bahwa tujuan perjuangan kelas, atau tujuan revolusi
sebagai bentuk tertinggi daripada perjuangan kelas, adalah untuk
mengubah sistem hak milik atas alat-alat produksi, dan pada tingkat
perkembangannya terakhir – dalam zaman kapitalisme, adalah untuk
menghapuskan sistem hak milik perseorangan atas alat-alat produksi dan
menjadikan alat-alat produksi milik masyarakat. Dengan demikian
mengakhiri riwayat masyarakat berkelas.
Dengan ini jelaslah kiranya bahwa pandangan-pandangan yang menyangkal
ajaran Marx tentang perjuangan kelas, atau usaha-usaha revisionis yang
hendak mengebiri ajaran Marx dengan membuang teori perjuangan
kelasnya, adalah pandangan yang mewakili kepentingan kelas bermilik,
adalah cara untuk “melanggengkan” adanya kelas-kelas, untuk
“melanggengkan” penghisapan atas manusia oleh manusia (I’exploitation
de I’homme par I’homme).
Akan tetapi, perjuangan kelas pada tingkat perkembangan kelas pada
tingkat perkembangan sejarah tertentu, atau dalam masyarakat tertentu,
mempunyai bentuk dan isinya yang tertentu pula, sesuai dengan tingkat
perkembangan tenaga produktif masyarakat yang bersangkutan. Ini berarti
bahwa perjuangan kelas yang bertujuan untuk mengubah sistem hak milik
atas alat-alat produksi itu tak dapat dilakukan menurut keinginan atau
kemauan subjektif manusia sendiri. Suatu sistem hak milik tertentu
tumbuh di dalam dasar tingkat perkembangan produksi kemasyarakatan
tertentu. Oleh karenanya, garis strategi dan taktik perjuangan kelas
yang berlaku dalam masyarakat tertentu harus bersesuaian dengan
hukum-hukum perkembangan produksi yang berlaku di dalam masyarakat itu.
Revolusi Indonesia pada tingkat melawan imperialisme dan feodalisme
sekarang adalah suatu bentuk perjuangan kelas, perjuangan antara kaum
penindas dan penghisap, yaitu kaum imperialis dan kaum tuan tanah feodal
serta kaki tangannya, dengan kaum tertindas dan terhisap, yaitu Rakyat
Indonesia yang terdiri dari kelas buruh, kaum tani, kaum borjuis
kecil, kaum inteligensia, kaum pengusaha nasional, dsb, yang dirugikan
oleh imperialisme dan feodalisme. Tujuan perjuangan kelas ini , tujuan
revolusi tingkat sekarang ini, pertama-tama bukanlah untuk menghapuskan
hak milik perseorangan kaum pengusaha nasional, kaum tani dan borjuis
kecil kota, melainkan hak milik perseorangan kaum imperialis dan kaum
tuan tanah feodal serta kaki tangannya. Karena itulah kaum komunis
tidak dapat menyetujui pandangan-pandangan yang ingin pada waktu
sekarang juga menghapuskan hak milik perseorangan kaum pengusaha
nasional, kaum tani dan borjuis kecil, yang ingin sekaligus melenyapkan
segala bentuk hak milik perseorangan yang ada sekarang dan
menggantinya dengan hak milik sosialis dengan jalan menyita atau
menasionalisasi tanah dan alat-alat produksi lainnya milik kaum tani,
borjuis kecil dan pengusaha nasional. Kaum pengusaha nasional dan kaum
produsen kecil, termasuk kaum tani, pada tingkat perkembangan produksi
masyarakat kita sekarang dan satu masa tertentu di kemudian hari masih
dapat memainkan peranan yang progresif (atau positif). Fikiran-pikiran
yang ingin menghapuskan hak milik perseorangan kaum tani, borjuasi
kecil dan pengusaha nasional pada tingkat perjuangan sekarang adalah
pikiran avonturis yang melemahkan konsentrasi kekuatan nasional dan
oleh karena itu sangat membahayakan revolusi kita.
Di samping itu kaum Komunis juga tidak menyetujui pikiran-pikiran
yang menyatakan bahwa masyarakat sosialis Indonesia yang merupakan
perspektif revolusi kita di kemudian hari bukan atau tidak sesuai
dengan Sosialisme ilmiah Marx, karena, menurut interpretasinya,
masyarakat sosialis Indonesia itu tidak menghapuskan hak milik
perseorangan atas alat-alat produksi. Jika masyarakat sosialis
Indonesia yang kita cita-citakan itu adalah masyarakat adil dan makmur,
yang menghapuskan segala macam bentuk sistem penghisapan dan
penindasan, menghapuskan “I’exploitation de I’homme par I’homme”, maka
mau tidak mau harus menghapuskan segala macam bentuk hak milik
perseorangan atas alat-alat produksi.
(B) TENTANG PERANAN MASSA RAKYAT PEKERJA DAN INDIVIDU DIDALAM SEJARAH
Berlawanan dengan teori-teori sejarah yang terdahulu, yang umumnya
berpendapat bahwa pencipta sejarah adalah raja-raja, pahlawan-pahlawan,
pemimpin-pemimpin, dsb., pendeknya individu-individu yang istimewa,
maka materialisme histori Marx berpendapat bahwa pencipta sejarah yang
sesungguhnya adalah massa Rakyat pekerja.
Sebab, tanpa aktivitas manusia memproduksi kebutuhan-kebutuhan
materiil masyarakat, masyarakat tak akan dapat berlangsung hidupnya, tak
akan ada sejarahnya. Sedangkan yang melakukan produksi
kebutuhan-kebutuhan materiil itu adalah massa Rakyat pekerja. Oleh
karenanya, perkembangan sejarah masyarakat adalah perkembangan sejarah
produksi, adalah perkembangan sejarah massa Rakyat pekerja. Massa
Rakyat pekerja tidak hanya merupakan pencipta kekayaan materiil
masyarakat, tetapi juga merupakan pencipta kekayaan spiritual
masyarakat.
Sepanjang sejarah masyarakat berkelas, dimana massa Rakyat pekerja
merupakan golongan yang tertindas, penciptaan kekayaan spiritual memang
tak mungkin dilakukan langsung oleh massa Rakyat pekerja, melainkan
secara tidak langsung dengan nelalui sarjana-sarjana,
sastrawan-sastrawan dan seniman-seniman yang umumnya lahir dari
kalangan kelas penindas. Sebab, sarjana-sarjana, sastrawan-sastrawan
dan seniman-seniman itu mungkin melakukan akivitas-aktivitasnya serta
memperoleh hasil-hasil yang besar, karena segala kebutuhan materiil
untuk hidupnya maupun untuk segala keperluan bagi pekerjaannya telah
diciptakan oleh massa Rakyat pekerja. Tanpa basis produksi materiil
yang dilakukan oleh massa Rakyat Pekerja, penciptaan kekayaan spiritual
apapun tak mungkin terjadi. Selain itu, setiap penciptaan kekayaan
spiritual baik yang berupa penemuan-penemuan di bidang ilmu-alam ataupun
ilmu-sosial, maupun karya-karya sastra ataupun karya-karya kesenian,
tak dapat dipisahkan dari pengalaman praktek produksi massa Rakyat
pekerja. Penemuan dalam pertanian tak terlepas dari pengalaman praktek
produksi kaum tani, penemuan mesin-mesin baru juga berdasarkan
pengalaman praktek kaum buruh. Begitupun karya-karya dalam kesusastraan
dan kesenian, tak dapat dipisahkan dari kehidupan massa Rakyat, dari
pengakuan dan penghargaan massa Rakyat.
Dengan pengakuan bahwa massa Rakyat pekerja adalah pencipta sejarah,
tidaklah berarti bahwa kaum Marxis meremehkan peranan individu atau
pemimpin-pemimpin dalam sejarah. Kaum Marxis mengakui bahwa peranan
individu dalam sejarah adalah penting, tetapi bukan yang menentukan.
Sebab, pemimpin adalah sebagian dari Massa, tak terpisahkan dari massa,
dan ditentukan oleh massa. Pemimpin adalah bagian yang paling sadar,
paling berpengalaman di dalam gerakan massa, paling mendapatkan
kepercayaan dari massa. Dan justru oleh karena itu, maka pemimpin tidak
hanya mempunyai kemampuan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang
dihadapi oleh massanya, juga untuk mengorganisasi dan memobilisasi
segala kekuatan massa untuk merealisasi konsepsi jalan keluar dari
segala kesulitan itu, untuk mencapai cita-cita massa. Pendeknya,
pemimpin dilahirkan oleh gerakan masa, dan kepemimpinannya didasarkan
pada kepentingan dan kekuatan massa. Oleh karena itu, adalah tepat
kalau Bung Karno sebagai presiden RI sering mengatakan bahwa tanpa
rakyat Indonesia, beliau sebagai individu tak mempunyai arti apa-apa,
dan sebagai pemimpin Rakyat seseorang harus menjadi “penyambung lidah
Rakyat”. Tetapi, di pihak lain, individu pemimpin juga memainkan
peranan aktif terhadap massanya, terhadap perkembangan gerakan
massanya. Jika pemimpin itu salah bertindak, atau menyeleweng dari
kepentingan dan cita-cita massa, maka ia akan merugikan dan
mengakibatkan kemunduran gerakan massa. Tentunya ini bersifat
sementara, karena pemimpin semacam ini akan dikoreksi atau disingkirkan
oleh massanya sendiri. Sebaliknya, kalau pemimpin itu mempunyai
kecakapan yang besar dan mahir melakukan tugas kepemimpinannya, maka ia
akan mendorong perkembangan gerakan masa dengan cepat. Pendeknya,
antara massa dengan pemimpinnya terdapat saling hubungan, saling
mempengaruhi dan saling menentukan, “loro-loro ning atunggal”,
mempunyai hubungan dialektik. Kultus individu menandakan hubungan yang
tidak sehat, tidak dialektis, antara massa dengan pemimpinnya. Pemimpin
yang dipuja menjadi menjauhkan diri dari massa, sedang massa yang
memujanya tidak kritis terhadap pemimpinnya dan memastikan daya
kreasinya sendiri, dengan demikian tiada hubungan “persatuan” dan
“perjuangan” antara massa dengan pemimpinnya, tiada hubungan dialektik.
Lain halnya dengan martabat atau kewibawaan pemimpin dan kecintaan
massa terhadap pemimpinnya. Martabat atau kewibawaan pemimpin yang
besar tidak ditegakkan dengan paksaan atau sengaja dibuat-buat dengan
menggunakan segala aparat yang ada pada pemimpin itu. Walaupun jalan ini
juga bisa membuat seseorang menjadi pemimpin, tetapi sifatnya
sementara, tak tahan lama, karena kekuatan massa tak dapat ditaklukkan
oleh kekuatan kekerasan apapun, ketajaman mata massa tak dapat
disilaukan oleh segala macam tipu muslihat, mereka pasti akan
memberikan vonis kepadanya.
Martabat atau kewibawaan pemimpin tak dapat dipisahkan dengan
kepercayaan dan kecintaan massa yang wajar kepadanya. Dan kepercayaan
dan kecintaan massa itu tak dapat dibeli dengan uang atau emas, tak
dapat dengan gertakan kekuatan senjata, melainkan hanya dengan
kesetiaan dan kepercayaan pemimpin itu kepada massanya, di samping
kecakapan individunya dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin.
Dengan mengakui kebenaran, bahwa pencipta sejarah yang sesungguhnya
adalah massa Rakyat pekerja, tidaklah berarti bahwa massa Rakyat dapat
membuat sejarah sekehendaknya sendiri, melainkan hanya dengan menurut
hukum-hukum perkembangan sejarah yang objektif.
Mengenal peranan massa Rakyat pekerja dan individu atau pemimpin
dalam sejarah serta hubungan dialektik antara massa dengan pemimpinnya
adalah penting bagi kita semua, baik sebagai kader-kader organisasi
massa, kader-kader partai ataupun kader-kader pemerintahan. Karena
dengan demikian kita dapat menempatkan diri kita secara tepat dalam
hubungan dengan massa Rakyat, dan hanya dengan demikian kita dapat
meningkatkan kemampuan dan martabat kita sebagai kader atau sebagai
pemimpin.
Demikianlah beberapa pokok masalah dalam materialisme histori. Adapun
masalah-masalah lainnya seperti tentang hubungan antara keadaan sosial
dengan kesadaran sosial, hubungan antara tenaga produktif dengan
hubungan produksi, hubungan antara dasar dengan bangunan-atas
masyarakat, dsb. akan saya bicarakan dalam bagian-bagian tentang
ekonomi politik dan tentang Sosialisme ilmiah.
Dari uraian tentang filsafat Marxisme seperti di dalam, maka jelaslah
bahwa filsafat materialisme dialektik adalah hasil tertinggi dari
perkembangan sejarah filsafat, karena mendasarkan dirinya pada
hasil-hasil ilmu yang termaju di sepanjang sejarah umat manusia. Di
samping itu, ia juga mempunyai ciri yang menonjol, yang membedakannya
dari filsafat-filsafat lainnya, yaitu bahwa filsafat materialisme
dialektik tidak hanya menjelaskan gejala-gejala alam, masyarakat dan
pikiran, tetapi yang terpenting memberikan senjata kepada manusia untuk
mengubah keadaan dunia objektif, maupun subjektif. Marx sendiri pernah
mengatakan: “Filsuf-filsuf telah menafsirkan dunia dalam berbagai cara; tetapi soalnya ialah untuk mengubah dunia.[23]
Justru oleh karena itulah, oleh karena harus mengubah dunia, maka Marx
juga pernah mengetengahkan, bahwa filsafat materialisme dialektik dan
histori mendapatkan kekuatan materiil pada proletariat, dan proletariat
mendapatkan senjata moril pada filsafat materialisme dialektik dan
histori.
BAB II. EKONOMI POLITIK
Sebagaimana bagian-bagian lain dari ajaran
Marxisme, ajaran ekonomi politik Marxis adalah berdasarkan hasil-hasil
ilmiah yang sudah dicapai oleh ilmu ekonomi politik pada abad 18 dan
19, terutama ajaran Adam Smith dan David Ricardo. Tetapi ajaran ekonomi
politik kedua orang Inggris ini adalah terbatas karena tidak bisa
melanjutkan analisa mereka keluar dari batas-batas sistem ekonomi
kapitalisme.
Dalam kerja utamanya Das Kapital, Marx menyingkapkan
hukum-hukum ekonomi yang menguasai perkembangan masyarakat kapitalis dan
memperlihatkan keharusan masyarakat kapitalis itu diganti dengan
sistem masyarakat yang lebih maju, masyarakat sosialis. Ajaran ekonomi
politik Marxis telah terbukti sebagai senjata ilmiah yang ampuh untuk
merombak semua susunan ekonomi yang berdasarkan penghisapan atas
manusia oleh manusia, khususnya susunan ekonomi kapitalis. Dengan
dibimbing oleh ajaran-ajaran ini, maka sudah ada sejumlah negeri yang
dengan sukses membangun ekonomi sosialis, bebas dari “I’exploitation de
I’homme par I’homme”. Dan tidak ada satu negeripun yang sudah
membangun Sosialisme tanpa berpedoman pada ajaran ekonomi politik Marxis
ini.
Dalam rangkaian ceramah-ceramah ini akan kita bahas terlebih dulu
beberapa pengertian pokok dan umum dari ajaran ekonomi politik Marxis,
kemudian beberapa masalah khusus dari kapitalisme dan Sosialisme.
1. Produksi Kekayaan Materiil Adalah Dasar Kehidupan (Eksistensi) Masyarakat
Masalah yang sudah terjadi berabad-abad menyibukkan pikiran manusia ialah masalah tentang apa
yang menentukan sifat suatu sistem masyarakat, bagaimana masyarakat
manusia berkembang, apakah Rakyat yang sudah turun temurun hidup
melarat dan sengsara dapat memperbaiki nasibnya, apakah kebebasan dan
kemakmuran dapat dicapai untuk semua manusia, ataukah hanya untuk
golongan kecil saja, apakah miskin dan kaya itu takdir, ataukah dapat
kemiskinan dilenyapkan. Semua masalah ini menyangkut kepentingan
vital dari kehidupan manusia, sehingga tidak mengherankan bahwa banyak
ahli-pikir berusaha memberi jawaban atas masalah-masalah tersebut. Abad
demi abad telah berlangsung dan bersamaan dengan itu bermacam-macam
teori dan konsepsi telah terbantah sama sekali, bukan saja oleh kritik
ahli-ahli pikir lainnya tapi juga oleh kritik waktu, oleh seluruh
perkembangan sejarah itu sendiri.
Memang, jalan untuk mencapai pengetahuan mengenai sebab-sebab
perkembangan sejarah masyarakat sangat sulit dan berliku-liku. Ini
disebabkan karena, berbeda dengan peristiwa-peristiwa dalam alam,
peristiwa-peristiwa masyarakat lebih sukar diobservasi dan dianalisa.
Di samping itu, kekuatan-kekuatan dalam alam bersifat spontan dan tidak
berkenaan dengan seseorang, sedangkan dalam masyarakat kita menghadapi
manusia-manusia yang selalu mempunyai kemauan tertentu dan mengejar
tujuan tertentu. Oleh sebab itu, mungkin orang mengira bahwa guna
memahami perkembangan masyarakat manusia, cukuplah untuk menyelidiki
motif-motif manusia ketika bertindak dan berbuat sesuatu. Tetapi ini
tidak akan membawa manusia kepada pengertian yang sesungguhnya mengenai
perkembangan masyarakat. Masalahnya ialah: mengapa seseorang mempunyai
motif tertentu dan orang lain mempunyai motif lain. Lagipula,
macam-macam orang mempunyai macam-macam motif yang menggerakkan mereka.
Tindakan-tindakan yang berdasarkan macam-macam motifnya itu
berbentrokan satu sama lain dan timbul peristiwa sejarah. Tapi hasil
peristiwa sejarah itu bisa sangat berlainan daripada apa yang
dikehendaki atau dituju oleh orang-orang tersebut.
Misalnya, banyak orang yang turut serta melaksanakan Revolusi
Agustus 1945 berpikir bahwa dengan lenyapnya penjajahan dan tercapainya
kemerdekaan, akan terbentuklah masyarakat yang adil dan makmur. Tapi
hingga kini masyarakat itu belum tercapai dan bagi banyak orang
nasibnya masih sama kalau tidak bertambah buruk.
Uraian ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat terdapat suatu
kontradiksi, yaitu kontradiksi antara kegiatan subjektif yang sadar
dari masing-masing orang di satu pihak, dengan perkembangan objektif
yang “spontan” dari masyarakat sebagai keseluruhan di pihak lain.
Adanya kontradiksi ini sudah ditemukan dan diketahui sebelum Marx, tapi
belum ada yang dapat menjelaskannya secara ilmiah. Karena tidak mampu
menjelaskan kontradiksi ini secara tepat maka sebagian orang menganggap
sejarah hanya sebagai kumpulan peristiwa-peristiwa yang kebetulan,
sebagian yang lain yang percaya akan adanya keharusan (Notwendigkeit)
dalam peristiwa-peristiwa sejarah itu, tapi tak memahami apa yang
menentukan keharusan itu, menjadi penganut fatalisme, menyerah kepada
takdir yang tak dapat dielakkan manusia.
Timbulnya sistem masyarakat kapitalis menyingkapkan akar-akar
ekonomi yang materiil dari perjuangan kelas, dan munculnya kelas buruh
di dalam panggung sejarah berarti munculnya kelas yang pertama dalam
sejarah yang mempunyai kepentingan langsung akan penjelasan ilmiah
terhadap perkembangan masyarakat. Maka terbuka jalan untuk perubahan
revolusioner dalam studi tentang masalah-masalah masyarakat.
Marxisme menunjukkan bahwa masyarakat berkembang bukan karena
kekuatan-kekuatan yang berada di luar masyarakat, tapi oleh
kekuatan-kekuatan di dalam masyarakat itu sendiri. Di pihak lain
Marxisme membuktikan bahwa manusia tidak membuat sejarah mereka secara
sesukanya, tapi atas dasar syarat-syarat materiil objektif yang mereka
warisi dari abad-abad yang silam. Di antara syarat-syarat materiil
masyarakat, produksi kekayaan materiil yang diperlukan bagi kehidupan
manusia, merupakan syarat yang menentukan. Sudah tentu, faktor-faktor
materiil lain seperti geografi, iklim, kepadatan penduduk dll.,
mempunyai pengaruh terhadap kehidupan masyarakat, tapi faktor-faktor
ini tidak dapat merupakan dasar dari proses perkembangan masyarakat
itu. Berbagai sistem masyarakat bisa terdapat dalam keadaan geografi,
iklim ataupun kepadatan penduduk yang sama. Tapi faktor yang primer
bagi kelangsungan hidup setiap masyarakat ialah kegiatan bekerja
manusia untuk menghasilkan barang-barang keperluan hidupnya, artinya
manusia harus berproduksi sebagaimana dikatakan oleh Engels : “………….
manusia harus lebih dulu makan, minum, mempunyai perumahan dan pakaian
sebelum dapat mengusahakan politik, ilmu, kesenian, agama, dll.”[24]
Tanpa kegiatan berproduksi itu, setiap masyarakat akan binasa, betapa
tinggipun perkembangan intelektual yang sudah dicapai dalam masyarakat
itu.
2. Tenaga-tenaga Produktif Dan Hubungan-hubungan Produksi masyarakat
Proses produksi kekayaan materiil dalam masyarakat
berpangkal pada tiga faktor, yaitu: 1. Kerja manusia, 2. Sasaran kerja
dan 3. Alat-alat kerja.
Kerja adalah kegiatan bersengaja dari manusia yang
dimaksudkan untuk mengubah dan menyesuaikan benda-benda alam sehingga
dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia. Kerja adalah keharusan
alam, syarat mutlak bagi kehidupan manusia. Tanpa kerja tidak mungkin
ada kehidupan manusia. Aktivitas kerja inilah yang membedakan manusia
dari binatang. Binatang secara pasif harus menyesuaikan diri dengan
alam sekelilingnya, sedangkan manusia dengan perkakas-perkakas yang
dibuatnya dapat mempengaruhi serta mengubah alam sekelilingnya dan
memperoleh bahan-bahan yang diperlukannya.
Sasaran kerja (objek kerja, Arbeitsgegenstand) adalah apa
saja yang dikenakan kerja manusia. Sasaran kerja mungkin sesuatu yang
sudah terdapat dalam alam, misalnya, kayu yang ditebang di hutan atau
bijih yang digali dari dalam bumi. Sasaran kerja yang sudah pernah
dikenakan kerja, seperti bijih besi dalam pabrik pengolahan logam,
kapas dalam pabrik pemintalan dsb. dinamakan bahan mentah atau bahan baku.
Alat-alat kerja (Arbeitsmittel) ialah segala benda yang
dipergunakan manusia sebagai alat untuk mengenakan kerjanya pada
sasaran kerja dan mengubahnya. Dalam alat-alat kerja itu termasuk
pertama-tama perkakas-perkakas produksi, selanjutnya juga
tanah, bangunan perusahaan, jalan-jalan, terusan-terusan, gudang-gudang,
dsb. Perkakas-perkakas produksi (Produktionsinstrumente) memegang
peranan yang menentukan di antara alat-alat kerja itu. Ini meliputi
bermacam-macam perkakas, yang dipakai manusia dalam kerja, mulai dari
perkakas-perkakas batu yang kasar dari manusia primitif sampai kepada
mesin-mesin modern. Berbagai tingkat sejarah perkembangan masyarakat
bukan dibedakan menurut barang-barang apa yang diproduksi, melainkan
menurut bagaimana, dengan perkakas-perkakas produksi apa barang-barang
itu diproduksi.
Sasaran kerja dan alat-alat kerja merupakan alat-alat produksi (Produktionsmittel,
means of production). Alat-alat produksi itu sendiri, bila tidak
disatukan dengan tenaga kerja, hanya merupakan setumpukan barang-barang
mati. Untuk dapat memulai proses kerja, tenaga kerja mesti menjatuhkan
diri dengan perkakas-perkakas produksi. Tenaga kerja ialah
kecakapan manusia bekerja, yaitu keseluruhan kekuatan jasmani dan
rohani manusia, dengan mana manusia itu dapat memproduksi barang-barang
materiil. Alat-alat produksi, dengan pertolongan mana barang-barang
materiil dihasilkan, dan manusia yang dengan kecakapan tertentu
menggerakkan alat-alat ini, merupakan tenaga-tenaga produktif masyarakat. Rakyat pekerja adalah tenaga produktif pokok masyarakat manusia pada semua tingkat perkembangannya.
Tenaga-tenaga produktif mencerminkan hubungan manusia terhadap
benda-benda dan kekuatan-kekuatan alam yang digunakan untuk memproduksi
kekayaan materiil. Tetapi dalam produksi, manusia tidak hanya
mempengaruhi alam melainkan juga mempengaruhi sesama manusia. “Mereka
hanya berproduksi dengan bekerjasama menurut cara tertentu dan saling
menukarkan kegiatan mereka. Untuk berproduksi, mereka memasuki
perhubungan dan pertalian timbal-balik yang tertentu, dan hanya di
dalam perhubungan dan pertalian kemasyarakatan inilah dilakukan
pengaruh mereka atas alam, dilakukan produksi”.[25] Perhubungan dan pertalian tertentu yang terbentuk antara manusia-manusia dalam proses produksi kekayaan materiil merupakan hubungan-hubungan produksi.
Hubungan-hubungan produksi meliputi: bentuk-bentuk hak milik atas
alat-alat produksi; kedudukan kelas-kelas, golongan-golongan masyarakat
dalam produksi dan hubungan-hubungan timbal-balik antara mereka;
bentuk-bentuk distribusi dari hasil-hasil produksi.
Watak dari hubungan-hubungan produksi ditentukan pertama-tama oleh
soal milik siapakah alat-alat produksi (tanah, hutan, perairan, bahan
mentah, perkakas-perkakas produksi, alat-alat perhubungan dll.). milik
orang-seorang, golongan-golongan masyarakat atau kelas-kelas yang
mempergunakan alat-alat produksi itu untuk menghisap Rakyat pekerja
ataukah milik masyarakat yang bertujuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan
materiil dan kultural dari massa Rakyat. Misalnya, di negeri kita
terdapat jutaan kaum tani yang mampu bekerja, jadi merupakan tenaga
produktif yang besar. Tetapi banyak di antara mereka tidak dapat
mempergunakan tenaganya, dan hidup sebagai setengah-penganggur.
Sebabnya ialah karena alat produksi yang pokok, yaitu tanah, tidak
mereka miliki. Jadi untuk dapat berproduksi, mereka harus mengadakan
hubungan produksi tertentu dengan si pemilik tanah, yaitu hubungan
berdasarkan penyewaan tanah dari tuan tanah. Akibatnya ialah bahwa
sebagian besar dari hasil panennya harus dibayarkan kepada tuan tanah
dalam bentuk sewa tanah, sehingga sangat menekan daya produksi tani
penyewa. “Berkat” hak miliknya atas tanah, maka tuan tanah dapat
memiliki sebagian dari hasil kerja tani.
Contoh lain, ialah apa yang selalu kita jumpai di negeri-negeri
kapitalis. Ratusan ribu, bahkan jutaan buruh menganggur dalam keadaan
teknik sangat maju dan produktivitas kerja sudah mencapai tingkat yang
jauh lebih tinggi daripada dalam sistem-sistem masyarakat pra-kapitalis.
Tapi pabrik-pabrik yang dapat memberikan pekerjaan kepada kaum
buruh-penganggur itu malah ditutup atau bekerja jauh di bawah
kapasitas. Jadi, ada pekerja yang cukup, ada mesin-mesinnya, ada
bahan-bahannya, tapi produksi tidak jalan atau dikurangi. Sebabnya
hanya karena pekerjanya bukan pemilik alat-alat produksi. Alat-alat
produksi bahkan dimiliki oleh orang-orang yang sama-sekali tidak turut
serta dalam proses produksi. Dengan demikian proses produksi hanya dapat
berlangsung jika antara kaum buruh dengan kaum kapitalis (yaitu
pemilik alat-alat produksi) terjadi hubungan produksi tertentu
berdasarkan penjualan tenaga kerja oleh kaum buruh kepada kapitalis.
Tujuan proses produksi di sini adalah untuk menghidupi dan memperkaya
pemilik-pemilik alat-alat produksi.
Lain keadaannya bila alat-alat produksi menjadi milik masyarakat,
sehingga kaum pekerja tidak terpisah lagi dari alat-alat produksinya.
Di sini tidak mungkin lagi orang hidup dari kerja orang lain dan
kedudukan sosial semua anggota masyarakat menjadi sederajat.
Contoh-contoh tersebut menjelaskan bahwa peranan yang menentukan
dalam sistem hubungan-hubungan produksi dimainkan oleh satu atau lain
bentuk hak milik atas alat-alat produksi.
Tenaga-tenaga produktif dan hubungan-hubungan produksi masyarakat
menyatakan dua segi dari produksi, yaitu segi teknik dan segi
kemasyarakatan dari produksi. Ilmu ekonomi politik mempelajari segi kemasyarakatan daripada produksi, yaitu
mempelajari hubungan-hubungan produksi dalam pengaruhnya yang
timbal-balik dengan tenaga-tenaga produktif. Tenaga-tenaga produktif
dan hubungan-hubungan produksi sebagai suatu kesatuan merupakan cara produksi.
Tenaga-tenaga produktif adalah unsur yang paling mobil dan
revolusioner dalam produksi. Perkembangan produksi mulai dengan
perubahan-perubahan dalam tenaga-tenaga produktif – pertama-tama dengan
perubahan-perubahan dan perkembangan perkakas-perkakas produksi, dan
kemudian perubahan-perubahan yang bersesuaian terjadi juga di lapangan
hubungan-hubungan produksi. Sebaliknya pula, hubungan-hubungan produksi
antara manusia mempengaruhi tenaga-tenaga produktif secara aktif.
Tenaga produktif masyarakat hanya dapat berkembang dengan tiada
rintangan, apabila hubungan-hubungan produksi sesuai dengan tingkat
perkembangan tenaga-tenaga produktif, bingkai hubungan-hubungan
produksi yang ada itu menjadi terlalu sempit baginya sehingga
tenaga-tenaga produktif menjadi bertentangan dengan hubungan-hubungan
produksi yang lama. Pertentangan inilah yang menjadi dasar ekonomi bagi
revolusi sosial dalam masyarakat-masyarakat berkelas yang berdasarkan
penghisapan atas manusia oleh manusia. Di dalam masyarakat-masyarakat
semacam itu bentrokan-bentrokan antara tenaga-tenaga produktif dengan
hubungan-hubungan produksi dinyatakan dalam bentuk perjuangan kelas.
Penghapusan hubungan-hubungan produksi yang lama terjadi melalui
pergolakan-pergolakan besar, yaitu revolusi-revolusi. Tujuan revolusi
ialah melenyapkan pertentangan antara tenaga-tenaga produktif yang baru
dengan hubungan-hubungan produksi yang lama, dan membentuk hubungan
produksi baru yang sesuai dengan tingkat perkembangan tenaga-tenaga
produktif yang sudah dicapai. Dengan jalan revolusi-revolusi sosial ini
masyarakat maju ke-tingkat perkembangan yang lebih tinggi. Maka, Marx
menamakan revolusi-revolusi itu sebagai lokomotif-lokomotif sejarah
yang menggerakkan masyarakat manusia maju.
3. Hukum Ekonomi Utama Perkembangan Masyarakat. Keobjektifan Hukum-hukum Ekonomi
Pemahaman tentang saling hubungan dan saling pengaruh antara
tenaga-tenaga produktif dengan hubungan-hubungan produksi memungkinkan
kita mengerti secara tepat sebab-sebab yang melahirkan revolusi, tujuan
revolusi, jalannya untuk menyelesaikan revolusi dll., pendeknya
soal-soal pokok revolusi. Dengan demikian kita bisa menghindarkan diri
dari penafsiran-penafsiran yang subjektif tentang sebab-sebab revolusi,
tentang musuh-musuh dan sahabat-sahabat revolusi, tentang tujuan
revolusi dan jalan penyelesaiannya. Misalnya, “teori” yang banyak
disebarkan kaum reaksioner ialah bahwa revolusi itu ditimbulkan oleh
karena Rakyat dari negeri yang berevolusi hidup melarat dan sengsara
atau jumlah penduduknya terlalu padat. Kepalsuan “teori” ini dengan
mudah dapat dibuktikan oleh siapa saja yang mau mempelajari sejarah.
Revolusi-revolusi telah timbul di berbagai negeri yang sangat
berbeda-beda taraf hidup Rakyatnya dan kepadatan penduduknya. Pengertian
tentang dasar ekonomi dari revolusi-revolusi sosial juga memungkinkan
kita membedakan sebab-sebab objektif dengan peristiwa-peristiwa yang
langsung mencetuskan revolusi (“aanleiding”, “occasion”). Misalnya,
Revolusi Besar Prancis tahun 1789 dimulai dengan penyerangan terhadap
Bastille, tapi sebab objektif dari timbulnya Revolusi Prancis itu bukan
penyerangan terhadap Bastille, melainkan adanya pertentangan yang
meruncing antara hubungan-hubungan produksi feodal dengan tingkat
perkembangan tenaga-tenaga produktif yang menuntut dilenyapkannya
hubungan-hubungan produksi feodal dan digantikannya dengan hubungan
produksi yang baru – hubungan produksi kapitalis. Pertentangan ini
menyatakan diri dalam pertentangan dan perjuangan-perjuangan kelas,
yaitu kaum tani, borjuasi (kaum kapitalis) dan kaum buruh di satu pihak
dengan kaum feodal di pihak lain.
Begitu pula Revolusi Agustus 1945 kita dimulai dengan Proklamasi
Kemerdekaan, tapi sebab objektif dari revolusi kita bukanlah proklamasi
itu, melainkan penindasan kaum imperialis dan feodal terhadap Rakyat
kita. Perlawanan Rakyat kita terhadap imperialisme dan feodalisme adalah
perwujudan dari pertentangan antara hubungan-hubungan produksi yang
bersifat kolonial dan setengah-feodal dengan tingkat perkembangan
tenaga-tenaga produktif di negeri kita. Pertentangan ini hanya dapat
diselesaikan jika hubungan produksi kolonial dan setengah-feodal itu
dilenyapkan.
Syarat-syarat materiil bagi penggantian hubungan-hubungan produksi
yang lama oleh yang baru, lahir dan berkembang di dalam pangkuan
susunan lama. Karena itu hubungan-hubungan produksi yang lama cepat atau
lambat akan diganti oleh hubungan-hubungan produksi yang baru, yang
sesuai dengan tingkat perkembangan yang sudah tercapai dan dengan watak
tenaga-tenaga produktif masyarakat. Hubungan-hubungan produksi yang
baru ini memberikan keleluasaan lebih lanjut bagi perkembangan
tenaga-tenaga produktif. Tercapainya persesuaian antara
hubungan-hubungan produksi yang baru dengan tingkat perkembangan
tenaga-tenaga produktif berarti bahwa masyarakat manusia telah mencapai
tingkat yang lebih maju dalam perkembangannya.
Oleh karena itu, hukum ekonomi umum daripada perkembangan masyarakat adalah hukum penyesuaian hubungan-hubungan produksi dengan watak tenaga-tenaga produktif. Hukum
ini berlaku untuk semua bentuk masyarakat. Di samping itu
masing-masing bentuk masyarakat mempunyai hukum-hukum ekonominya yang
khusus.
Hukum ekonomi adalah hakikat dari gejala-gejala dan
proses-proses ekonomi, adalah hubungan yang bersifat keharusan dan
tetap, yaitu hubungan sebab-akibat yang terus berlangsung dan hubungan
ketergantungan satu sama lain yang terkandung pada gejala-gejala dan
proses-proses itu. Hukum-hukum ini adalah objektif, yaitu hukum-hukum
itu timbul atas dasar syarat-syarat ekonomi tertentu terlepas dari
kemauan manusia dan akan hilang kekuatannya dengan lenyapnya
syarat-syarat ekonomi yang tertentu itu. Manusia tidak dapat sesukanya
menghapuskan atau menciptakan hukum-hukum ekonomi. Manusia hanya bisa
mengenali hukum-hukum ini dan menggunakannya untuk mengubah
hubungan-hubungan ekonomi demi kepentingan-kepentingan masyarakat.
Tetapi dengan mempengaruhi ekonomi sesuai dengan hukum-hukum yang sudah
dikenal dan kebutuhan-kebutuhan perkembangan ekonomi yang sudah
mematang, maka manusia mengambil bagian dalam melahirkan
hubungan-hubungan ekonomi yang baru dengan hukum-hukum yang khas bagi
hubungan-hubungan ekonomi itu. Oleh sebab itu Marxisme bertentangan
dengan fatalisme, karena fatalisme menganggap manusia tidak berdaya
terhadap kekuatan-kekuatan dan hukum-hukum yang berlaku dalam
masyarakat.
4. Dasar (Basis) Dan Bangunan-Atas
Tingkat perkembangan tenaga-tenaga produktif menentukan watak dari
hubungan-hubungan produksi manusia, yaitu susunan-ekonomi masyarakat.
Susunan ekonomi ini merupakan basis atau dasar di
dalam mana timbul bermacam-macam hubungan-hubungan sosial,
pandangan-pandangan dan lembaga-lembaga. Pandangan-pandangan
kemasyarakatan (politik, yuridis, filsafat, agama, dll.),
lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi (Negara, gereja,
partai-partai politik dll.) yang timbul di dalam dasar yang tertentu
itu, merupakan bangunan-atas masyarakat.
Teori tentang dasar dan bangunan-atas menjelaskan bagaimana dalam
analisa terakhir cara produksi menentukan segala aspek dari kehidupan
sosial dan ekonomi dengan semua hubungan lainnya dari masyarakat yang
tertentu.
Dalam hal ini sering kali dituduhkan kepada Marxisme, bahwa Marxisme
semata-mata mempertimbangkan faktor ekonomi saja dan mengabaikan sama
sekali peranan ide. Mereka katakana bahwa kelemahan Marxisme terletak
pada paham determinisme ekonominya. Sesungguhnya tuduhan ini salah
alamat, sama sekali tidak tepat ditujukan ke alamat Marxisme. Apa yang
digambarkan sebagai “Marxisme” itu adalah Marxisme yang divulgarkan.
Jika itu yang dinamakan Marxisme, maka Marx pernah berkata: “apa yang
saya tahu, ialah bahwa saya bukan Marxis”.[26]
Kaum Marxis memang penganut determinisme, tapi bukan apa yang
dinamakan determinisme ekonomi. Prinsip determinisme adalah pengakuan
terhadap watak objektif dari hubungan universal, penentuan gejala
berdasarkan hubungan sebab-akibat, berlakunya keharusan dan keteraturan
dalam alam dan masyarakat. Determinisme itu adalah prinsip dasar
seluruh pemikiran ilmiah yang sejati, karena hanya dengan mengetahui
sebab-sebab gejala-gejala maka asal-usulnya dapat dijelaskan secara
ilmiah, dan hanya dengan mengetahui hukum yang menguasai gejala-gejala
itu maka perkembangannya lebih lanjut dapat diramalkan. Mengenai
masyarakat, sebagaimana sudah diterangkan di atas, Marxisme menganggap
susunan-ekonomi sebagai unsur yang pada akhirnya (ultimately)
menentukan. Tapi itu tidak berarti bahwa menurut Marxisme, setiap ide
atau lembaga dalam masyarakat secara langsung dihasilkan oleh sesuatu
keperluan ekonomi tertentu. Masyarakat, sebagaimana segala hal-ikhwal
lainnya harus dipelajari secara konkret, dalam perkembangannya yang
kompleks dan yang senyata-nyatanya. Maka pastilah bukan Marxisme, dan
juga bukan ilmu, jika kita dari perincian syarat-syarat ekonomi
tertentu mencoba menyimpulkan bagaimana persisnya bentuk bangunan-atas
yang timbul di dalam dasar itu, atau menetapkan setiap ciri-detail
bangunan-atas mempunyai ciri yang bersesuaian degannya di dalam dasar.
Sebaliknya, kita perlu mempelajari bagaimana perkembangan bangunan-atas
itu sesungguhnya dalam setiap masyarakat dan setiap zaman, dengan
menyelidiki fakta-fakta tentang masyarakat dan zaman itu.
Engels pernah menjelaskan tentang sebabnya timbul salah-tafsir
terhadap marxisme itu sebagai berikut: “Marx dan saya, kami sendiri,
sebagian memikul kesalahan akan kenyataan bahwa penulis-penulis muda
kadang-kadang member tekanan yang lebih besar pada segi ekonomi
daripada yang seharusnya. Kami dulu perlu menekankan prinsip pokok ini
dalam pertentangan dengan lawan-lawan kami, yang menyangkal prinsip itu,
dan kami tidak selalu mempunyai waktu, tempat atau kesempatan untuk
memperkenankan unsur-unsur lain yang terlibat dalam interaksi itu
menampakkan diri dengan semestinya (to come into their rights)”.
“Tetapi”, demikian Engels melanjutkan “bila mengenai hal menjadikan
suatu bagian dari sejarah, yaitu hal penerapan praktis, maka soalnya
lain, dan di situ tidak mungkin terjadi kesalahan”.[27]
Oleh sebab itu, walaupun bangunan-atas muncul di dalam dasar yang
tertentu, ia aktif mempengaruhi kembali dasar, mempercepat atau
menghambat perkembangannya. Dengan perubahan dalam dasar ekonomi
berubah pula bangunan-atasnya.
Dalam mengkritik pemutarbalikan Marxisme itu Engels menulis: “Menurut paham materialis tentang sejarah, unsur yang akhirnya (ultimately) menentukan
dalam sejarah adalah produksi dan reproduksi kehidupan yang nyata.
Lebih daripada itu Marx dan saya tidak pernah menyatakan. Oleh sebab
itu, jika ada orang yang memutarbalikkan ini dengan mengatakan bahwa
unsur ekonomi adalah satu-satunya unsure yang menentukan,
maka ia mengubah dalil itu menjadi kalimat tanpa-arti, abstrak dan
tanpa guna. Keadaan ekonomi adalah basis, tetapi berbagai unsur dari
bangunan-atas: bentuk-bentuk politik dari perjuangan kelas dan
hasil-hasilnya, yaitu: konstitusi-konstitusi yang dibentuk oleh kelas
yang menang setelah pertempuran yang sukses, dsb., bentuk-bentuk
yuridis, dan bahkan pencerminan semua perjuangan yang nyata ini di
dalam otak para pesertanya., teori-teori politik, yuridis, filsafat,
pandangan-pandangan keagamaan dan perkembangannya lebih lanjut menjadi
sistem-sistem dogma, juga melakukan pengaruhnya terhadap jalannya
perjuangan-perjuangan historis dan dalam banyak kejadian lebih besar
pengaruhnya (preponderate) dalam menentukan bentuknya”.[28]Dan
lagi Engels menekankan: “sekali suatu unsur historis dilahirkan oleh
unsur-unsur lain, pada akhirnya (ultimately) oleh fakta-fakta ekonomi,
maka unsur itu juga bertindak (react) dan dapat bertindak terhadap
keadaan sekelilingnya dan bahkan terhadap sebab-sebab yang melahirkan
unsur itu sendiri”.[29]
Demikianlah beberapa soal yang perlu diperhatikan untuk mencegah
pemahaman secara terlalu sederhana (simplistis). Sebagaimana
diperingatkan oleh Engels: “Sayang, ……….terlalu sering terjadi bahwa
orang mengira mereka sudah sepenuhnya memahami suatu teori baru dan
dapat menerapkannya tanpa banyak rebut sejak dari saat mereka menguasai
prinsip-prinsipnya yang pokok, dan bahkan itupun tidak selalu mereka
kuasai secara tepat”.[30]
5. Watak Kelas Dari Ajaran Ekonomi Marxis
Terhadap Marxisme kerap kali dinyatakan keberatan bahwa
ajaran-ajarannya selalu memihak, sehingga “bersifat berat sebelah dan
tidak mungkin objektif”, demikian kata lawan-lawan Marxisme.
Lenin pernah berkata: “Penyelidikan terhadap hubungan-hubungan
produksi di dalam suatu masyarakat yang tertentu menurut sejarah, dalam
kelahirannya, perkembangannya dan keruntuhannya – demikianlah isi dari
ajaran ekonomi Marx”.[31]
Jadi, ajaran ekonomi Marxis harus mempelajari hukum-hukum ekonomi yang
berlaku di dalam masyarakat yang diselidikinya. Di atas sudah
diterangkan bahwa hukum-hukum ekonomi ini merupakan hukum-hukum objektif dan
dalam hal ini sepenuhnya sama dengan hukum-hukum objektif yang berlaku
dalam alam. Tetapi, berbeda dengan hukum-hukum alam, hukum-hukum
ekonomi berlaku di dalam masyarakat dan langsung mengenai
kepentingan-kepentingan manusia, golongan-golongan manusia atau
kelas-kelas. Ada kelas-kelas yang diuntungkan oleh berlakunya suatu
hukum ekonomi tertentu, ada yang dirugikan oleh hukum itu. Oleh sebab
itu timbul sikap yang berbeda-beda dari berbagai kelas itu terhadap
hukum tersebut. Mereka yang diuntungkan berkepentingan akan segera
terlaksananya hukum tiu, berusaha mengenalnya dan menggunakannya.
Sedangkan kelas yang dirugikan berusaha sekuat-kuatnya melawan hukum
itu, berusaha menutupinya atau memutarbalikannya. Misalnya, hukum bahwa
feodalisme pada tingkat perkembangannya yang tertentu harus diganti
oleh kapitalisme, dipergunakan oleh kelas borjuis dengan melaksanakan
revolusi borjuis anti-feodal, sebagaimana antara lain terjadi di
Prancis (1789). Di pihak lain, kaum bangsawan feodal melakukan segala
daya upaya untuk menggagalkan revolusi itu dan merebut kembali
kekuasaan Negara.
Begitu juga di Indonesia, kita sendiri berpengalaman bagaimana kaum
penjajah dengan sarjana-sarjananya, betapa “ilmiah” pun dasar
pendidikannya, tidak dapat atau tidak mau mengenal hukum yang objektif
bahwa penjajahan melahirkan perlawanan Rakyat yang menentang penjajahan
dan berjuang untuk kemerdekaan nasional, dan bahwa kemerdekaan
nasional adalah sesuatu yang tak-terelakkan. Oleh sebab itu timbul
bermacam-macam “teori” yang dalam bentuk kasarnya terang-terangan
menyatakan keunggulan (superioritet) bangsa penjajah atas bangsa yang
dijajah, dan dalam bentuk “halus”nya menggambarkan penjajahan sebagai
pelaksanaan “kewajiban suci” bangsa-bangsa maju untuk membantu
bangsa-bangsa “terbelakang”. Betapa jauhnya “teori” semacam itu dapat
menyangkal kenyataan-kenyataan dan meninggalkan sifat ilmiahnya, dapat
kita lihat dari “teori” prof. Reesing (yang belum lama berselang di
bantah oleh prof. Dr. Sucipto) yang dengan tak kenal-malu menyatakan
bahwa Indonesia tidak pernah dijajah Belanda. Sebaliknya, bagi Rakyat
Indonesia adalah mudah untuk mengenal hukum objektif mengenai perjuangan
kemerdekaan nasional, dan Rakyat berkepentingan untuk mengenal hukum
itu sedalam-dalamnya untuk dapat mengetahui perwujudan-perwujudan
konkret dari pelaksanaannya. Teori-teori revolusioner telah membantu menjelaskan hukum itu.
Demikianlah, kita melihat bahwa kepentingan yang bertentangan dengan
suatu hukum objektif membuat kelas itu “buta” terhadap hukum itu,
sedangkan kepentingan yang sesuai membuat kelas itu “melek” terhadap
hukum itu. Oleh sebab itu, suatu ilmu sosial, termasuk ilmu ekonomi
politik, dapat bersifat sungguh-sungguh ilmiah dan objektif bukannya
dengan “berdiri di dalam kelas-kelas”, “tidak memihak kesini, tidak
memihak ke sana”, tapi justru dengan secara teguh memihak pendirian
kelas yang maju, kelas yang kepentingannya sepenuhnya sesuai dengan
hukum-hukum perkembangan sejarah. Kelas semacam itu, ialah kelas buruh,
karena kelas buruh timbul dalam sistem masyarakat kapitalis, sistem
masyarakat terakhir yang berdasarkan penghisapan atas manusia oleh
manusia. Kelas buruh hanya mungkin sampai kepada tujuan perjuangannya,
yaitu pembebasan dirinya dari penghisapan, jika sistem kapitalisme
hapus sama sekali.
Pada zaman kita sekarang ini sudah jelas, bahwa perkembangan
masyarakat manusia di seluruh dunia yang menuju terbentuknya masyarakat
tanpa penghisapan atas manusia oleh manusia merupakan hukum
perkembangan yang objektif. Dengan membebaskan diri dari kapitalisme,
kelas buruh akan menamatkan riwayat segala bentuk penghisapan, maka
dengan sendirinya ia merupakan satu-satunya kelas yang kepentingannya
sepenuhnya sesuai dengan hukum perkembangan tersebut. Oleh sebab itu,
Marxisme dengan ajaran ekonominya yang mendasarkan diri pada pendirian
kelas buruh, justru merupakan ajaran ilmiah dan objektif karena ia
berpihak pada sesuatu yang berjuang untuk suatu perspektif yang
objektif, yaitu masyarakat tanpa penghisapan atas manusia oleh manusia.
Sejarah gerakan buruh sedunia dan juga gerakan kemerdekaan nasional
kita sendiri membuktikan bahwa setiap orang yang dengan jujur
menginginkan serta memperjuangkan pembebasan manusia dari segala macam
penindasan, dapat memahami Marxisme dan mempergunakannya bagi kemajuan
masyarakat manusia.
Sekianlah beberapa pengertian pokok dan umum mengenai ajaran ekonomi politik Marxis.
6. Tingkat-tingkat Perkembangan masyarakat
Menurut kenyataan sejarah masyarakat manusia, maka dapat kita
simpulkan bahwa masyarakat manusia telah mengalami berbagai tingkat
perkembangan. Kita dapat membedakannya dalam lima macam cara produksi
yang mewakili lima tipe pokok susunan atau sistem masyarakat. Lima
sistem masyarakat itu ialah: sistem komune-primitif, pemilikan-budak,
feodalisme, kapitalisme, dan Sosialisme.
Sistem-sistem masyarakat tersebut dalam perwujudannya di berbagai
negeri sudah barang tentu mempunyai kekhususan-kekhususannya
tersendiri, tetapi masing-masing sistem masyarakat mempunyai
sifat-sifat dasar yang khas. Yang sama di semua negeri dan yang
pertama-tama ditentukan oleh watak dari hubungan-hubungan produksi dalam
masyarakat itu.
System komune-primitif (Urkomunismus, Urgemeinschaft) adalah sistem
masyarakat sebelum masyarakat terbagi dalam kelas-kelas. Sistem
pemilikan-budak, feodalisme dan kapitalisme merupakan berbagai bentuk
masyarakat yang sudah terpecah dalam kelas-kelas, yang berdasarkan hak
milik perseorangan atas alat-alat produksi, berdasarkan pembudakan dan
penghisapan Rakyat pekerja. Sosialisme adalah sistem masyarakat yang
berdasarkan hak milik kemasyarakatan atas alat-alat produksi, masyarakat
yang bebas dari penghisapan atas manusia oleh manusia.
Lebih lanjut dapat kita jelaskan sifat-sifat terpenting dari masing-masing sistem masyarakat tersebut sebagai berikut.
(A) SISTEM KOMUNE-PRIMITIF
Pada zaman purba, ratusan ribu tahun yang lalu, perkakas-perkakas
produksi masih sangat sederhana dan kasar, masih primitif. Pada waktu
itu belum dikenal perunggu dan besi, perkakas-perkakas masih dibuat
dari batu. Dengan perkakas-perkakas batu yang kasar ini manusia memburu,
menangkap ikan dan hidup sangat sederhana. Untuk melindungi diri
terhadap binatang-binatang buas dan untuk tidak mati kelaparan, mereka
harus hidup bersama-sama, dalam kelompok-kelompok, yaitu komune-komune.
Memburu, menangkap ikan dan usaha-usaha lainnya untuk memelihara hidup
mereka, semuanya dilakukan bersama, maka hasilnya juga mereka bagi
bersama. Perkakas-perkakas produksi yang penting untuk kehidupan
komune-komune itu bukan milik perseorangan, melainkan milik bersama,
milik komune. Oleh sebab itu dalam masyarakat komune-primitif ini tidak
ada orang kaya, tidak ada orang miskin, tidak ada orang yang menghisap
orang lain, pendeknya masyarakat belum terbagi dalam kelas-kelas yang
bermusuhan.
Pengalaman manusia dalam produksi makin bertambah dan bersamaan
dengan itu perkakas-perkakas produksi dan cara-cara bekerja makin
disempurnakan. Orang mulai mengenal logam dan belajar membuat
perkakas-perkakas dari logam, tembaga, perunggu dan kemudian besi.
Zaman beralih dari zaman perkakas batu ke zaman perkakas besi. Manusia
maju dari kehidupan yang berdasarkan pemburuan pemeliharaan ternak dan
bercocok-tanam. Dengan begitu mulai timbul pembagian kerja
kemasyarakatan yang pertama, yaitu ada komune-komune yang terutama
mengusahakan peternakan dan komune-komune lain yang mengusahakan
pertanian. Mereka mulai menukarkan baranghasil-baranghasil mereka di
antara mereka sendiri. Perbaikan dan kemajuan perkakas-perkakas produksi
itu menyebabkan produktivitas kerja naik: manusia dapat menghasilkan
barang-barang lebih banyak daripada yang diperlukan langsung untuk
hidup. Manusia merasa tidak ada kebutuhan lagi untuk bekerja
bersama-sama, karena dapat hidup dari kerjanya sendiri-sendiri.
Ketua-ketua komune, yang dalam pertukaran barang-barang bertindak
sebagai wakil komune, mulai menganggap milik bersama komune sebagai
miliknya sendiri. Dengan demikian timbullah hak milik perseorangan atas
alat-alat produksi. Ada anggota-anggota komune yang dengan berdasarkan
hak milik perseorangan tersebut mulai memiliki hasil-hasil dari kerja
anggota-anggota lain, artinya timbul penghisapan.
Jadi, penghisapan atas manusia oleh manusia timbul atas dasar
peningkatan tenaga-tenaga produktif, pembagian kerja kemasyarakatan dan
hak milik perseorangan atas alat-alat produksi. Hal ini tak dapat
dielakkan pada waktu itu karena “corak primitif dari produksi kolektif
atau koperatif ini ………. merupakan akibat dari kelemahan individu dan
bukan akibat dari permasyarakatan alat-alat produksi”.[32]
Masyarakat terbagi dalam kelas kaum penindas atau penghisap dan
kelas kaum tertindas atau terhisap. Kepentingan kelas-kelas ini tidak
dapat didamaikan. Kaum tertindas tidak mau terus-menerus membanting
tulang untuk memperkaya kaum penindas, sedangkan mereka sendiri terus
hidup dalam kemelaratan dan kesengsaraan. Pada pihak lain, kaum penindas
dan penghisap berusaha keras untuk memperkuat dan mengabadikan
kekuasaan mereka dan memperkeras penghisapan mereka atas Rakyat yang
tertindas. Timbulnya masyarakat yang berkelas-kelas menandakan
hancurnya masyarakat komune-primitif dan terjadilah perjuangan kelas
yang sengit antara kelas penindas dengan kelas tertindas. Sejak saat
itu “sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga sekarang ini adalah
sejarah perjuangan kelas”.[33] perjuangan kelas menjadi kekuatan pokok yang mendorong perkembangan masyarakat.
Terbaginya masyarakat dalam kelas-kelas itu mengakibatkan timbulnya Negara. “Dalam
masyarakat primitif ………. masih belum tampak tanda-tanda adanya Negara.
Kita menemukan betapa besarnya kekuasaan adat-istiadat, otoritas,
penghargaan, kekuasaan yang berada dalam tangan pengetua-pengetua clan;
kita menemukan kekuasaan ini kadang-kadang diberikan kepada wanita –
kedudukan wanita pada waktu itu tidak serupa dengan keadaan wanita
dewasa ini, yaitu terendah dan tertindas – tetapi dimanapun juga kita
tidak dapat menemukan suatu golongan orang-orang yang khusus,
yang dipisahkan untuk memerintah orang-orang lain dan, untuk
kepentingan dan tujuan memerintah, secara sistematis dan terus-menerus
menggunakan suatu aparat pemaksa tertentu ……….”[34].
Tetapi susunan politik dari masyarakat primitif semacam itu tidak
mungkin bertahan dalam masyarakat yang terbagi oleh perjuangan
kelas-kelas yang kepentingan-kepentingannya tidak dapat didamaikan.
Timbulnya Negara merupakan keperluan objektif. Negara “bukanlah suatu
kekuasaan yang dipaksakan kepada masyarakat dari luar: ………. ia adalah
hasil dari masyarakat pada suatu tingkat perkembangan yang tertentu, ia
adalah pengakuan bahwa masyarakat ini telah terlibat dalam suatu
kontradiksi yang tak terpecahkan dengan dirinya sendiri, bahwa ia
terbelah menjadi antagonisme- antagonisme tak terdamaikan yang tak
mampu dienyahkan olehnya”.[36]
Alat-alat Negara yang terpenting ialah tentara, polisi, pengadilan,
penjara dan alat-alat pemaksa lainnya. Kelas-kelas yang berkuasa
menggunakan Negara ini dengan alat-alatnya untuk mempertahankan susunan
masyarakat yang memperkokoh kedudukan mereka
(B) SISTEM PEMILIKAN-BUDAK
Masyarakat berkelas yang pertama, yang berdasarkan penghisapan atas
manusia oleh manusia adalah masyarakat pemilikan-budak. Dalam
masyarakat pemilikan-budak terdapat dua kelas pokok yang saling
bermusuhan, yaitu tuan budak dan budak. Budak dimiliki sepenuhnya oleh
tuan budak. Ia tidak lebih dari sebuah barang yang dapat
diperjual-belikan dan bahkan dibunuh menurut kehendak tuannya. Produksi
di dalam masyarakat pemilikan-budak didasarkan atas kerja kaum budak.
Tuan budak dapat hidup mewah dan mempunyai waktu yang cukup untuk
urusan-urusan Negara, kebudayaan dan kesenian. Dengan demikian terjadi perpisahan dan pertentangan antara kerja badan dengan kerja otak yang
terus terdapat dalam semua masyarakat berkelas. Kerja badan dipandang
hina dan hanya patut untuk Rakyat pekerja, sedangkan kerja otak menjadi
hak eksklusif dari kelas-kelas yang berpunya.
Sistem pemilikan-budak ini adalah bentuk penghisapan terang-terangan
yang paling kasar. Kaum budak tidak pernah rela menerima kedudukan
mereka. Sepanjang sejarah masyarakat pemilikan-budak timbul
pemberontakan-pemberontakan budak yang besar.
Pemberontakan-pemberontakan inilah yang mengguncangkan kekuasaan
tuan-budak dan akhirnya menyebabkan sistem pemilikan-budak diganti oleh
sistem masyarakat yang lain. Tetapi kaum budak sendiri belum dapat
menghapuskan sistem penghisapan atas manusia oleh manusia.
(C) SISTEM FEODAL
Masyarakat baru yang menggantikan masyarakat pemilikan-budak ialah
masyarakat feodal. Masyarakat feodal terbagi dalam dua kelas pokok:
kelas tuan tanah dan kaum tani. Tuantanah-tuantanah memiliki alat
produksi terpokok pada waktu itu, yaitu tanah, maka untuk dapat hidup
kaum tani harus menyewa tanah dari tuan tanah. Tani tidak merupakan
milik sepenuhnya dari tuan tanah, ia mempunyai usaha tanahnya sendiri,
maka ia bisa lebih mempunyai kemauan untuk bekerja daripada budak.
Tetapi tani harus membayar sewa tanah yang berat kepada tuan tanah,
karena itu bagian terbesar dari waktunya tidak digunakan buat bekerja
untuk dirinya sendiri melainkan untuk tuan tanah. Jadi masih tetap
berlaku penindasan kelas, dan kedudukan tani sering tidak banyak
berbeda dari kedudukan budak. Sepanjang zaman feodal kaum tani berjuang
melawan tuan tanah, kian lama perjuangan ini kian bertambah meruncing.
Dalam sejarah tiap-tiap negeri terjadi pemberontakan-pemberontakan tani
dan ada yang berlangsung hingga puluhan tahun.
Pemberontakan-pemberontakan tani inilah yang melemahkan dasar-dasar
feodalisme dan akhirnya mengakibatkan keruntuhan feodalisme itu. Tetapi
kaum tani belum bisa mencapai kebebasan dari penghisapan. Hasil
perjuangan revolusioner kaum tani dimiliki oleh kelas borjuis yang
tumbuh pada akhir masyarakat feodal. Revolusi borjuis menyingkirkan
sistem feodal dan menegakkan kekuasaan kapitalisme.
(D) SISTEM KAPITALIS
Di bawah kapitalisme masyarakat terbagi dalam kelas kapitalis atau
borjuasi dan kelas buruh atau proletariat. Buruh bukan milik si
kapitalis; buruh tidak dapat dibeli atau dijual. Ia nampaknya bebas,
tetapi ia tidak mempunyai alat-alat produksi sama sekali sehingga
terpaksa menjual tenaga kerjanya kepada pemilik alat-alat produksi,
yaitu si kapitalis – pemilik pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan
lain, dan ia harus bekerja membanting tulang supaya tidak mati
kelaparan. Suatu grup kecil kaum penghisap mendapat laba besar,
sedangkan massa pekerja makin lama makin banyak menderita kesengsaraan
dan kemelaratan. Jadi, penghisapan atas Rakyat pekerja masih tetap
berlangsung, walaupun bentuknya sudah berubah.
Di bawah sistem kapitalis produktivitas kerja sangat dipertinggi dan
produksi mencapai perluasan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Pabrik dan perusahaan-perusahaan besar diperlengkapi dengan mesin-mesin
dan memperkerjakan ribuan buruh. Pekerjaan tiap-tiap perusahaan,
tiap-tiap cabang industri dan pertanian tidak dapat dipisahkan dari
pekerjaan perusahaan-perusahaan dan cabang-cabang lain. Jika penggalian
minyak bumi atau batu bara terhenti, maka ratusan perusahaan lain
tidak bisa bekerja lagi; jika bahan-bahan mentah tidak datang pada
waktunya, maka pabrik-pabrik tekstil, sepatu, dll. terpaksa berhenti
bekerja.
Di dalam kapitalisme barang-barang hasil industri adalah hasil kerja
masyarakat dan bukan hasil kerja orang seorang. Umpamanya, sepatu
buatan pabrik bukanlah hanya hasil kerja dari buruh-buruh yang
bermacam-macam keahliannya di dalam pabrik sepatu itu, tetapi juga
hasil kerja dari buruh yang membuat mesin-mesin dan bahan-bahan mentah
yang diperlukan untuk pembuatan sepatu itu. Maka dalam keadaan-keadaan
yang demikian ini, alat-alat produksi dan juga barang-barang yang
dihasilkan semestinya menjadi milik masyarakat. Tetapi dalam masyarakat
kapitalis, alat-alat produksi seperti perusahaan-perusahaan,
pabrik-pabrik, tanah, dan juga barang-barang yang dihasilkannya bukan
menjadi milik masyarakat melainkan milik perseorangan, milik kaum
kapitalis.
Kaum kapitalis tidak memperdulikan kepentingan-kepentingan
masyarakat. Mereka memproduksi dan menjual barang-barangnya hanya untuk
mendapat laba. Untuk memperbesar labanya mereka memperluas produksi
dan juga memperkeras penghisapan atas kaum buruh dengan menjalankan
prinsip: jam kerja yang lebih lama dengan upah yang lebih rendah.
Akibatnya, barang-barang yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik kapitalis
itu jauh lebih banyak daripada yang mampu dibeli oleh pemakai pokok,
yaitu massa Rakyat, sehingga menimbulkan krisis-krisis ekonomi
kelebihan-produksi (over produksi). Untuk mempertahankan harga-harga
yang tinggi, kaum kapitalis menghancurkan barang-barang mereka dan
untuk sementara menghentikan produksi serta memecat buruh-buruhnya
secara besar-besaran. Maka keadaan menjadi makin tak tertahankan:
ribuan Rakyat menderita kelaparan, sedangkan kaum kapitalis membakar
atau membuang ke laut barang-barang secara besar-besaran.
Jadi, hak milik perseorangan secara kapitalis atas alat-alat produksi
ini mengakibatkan penghancuran kekayaan materiil yang sudah dihasilkan
dan menyebabkan Rakyat pekerja menderita karena pengangguran dan upah
yang rendah. Pertentangan antara watak kemasyarakatan daripada proses produksi dengan pemilikan perseorangan secara kapitalis atas alat-alat produksi dan hasil-hasil produksi itu
merupakan pertentangan dasar dari cara produksi kapitalis.
Pertentangan ini tidak bisa didamaikan dan satu-satunya jalan keluar
dari keadaan ini ialah digantinya hak milik perseorangan secara kapitalis atas alat-alat produksi dengan hak milik kemasyarakatan, artinya: beralih dari sistem kapitalis ke sistem sosialis. Inilah yang dilaksanakan dengan revolusi sosialis.
(E) SISTEM SOSIALIS
Di dalam masyarakat sosialis alat-alat produksi dimiliki bersama
oleh masyarakat. Karena itu di dalam masyarakat sosialis tidak mungkin
lagi ada orang-orang atau golongan-golongan yang dapat menggunakan
alat-alat produksi itu untuk menghisap kerja orang lain. Hanya orang
yang bekerja berhak makan. Oleh sebab itu sistem sosialis telah
melenyapkan segala sistem dan bentuk penindasan dan penghisapan atas
manusia oleh manusia.
Tujuan produksi dalam masyarakat sosialis ialah untuk menjamin
dipenuhinya secara maksimum kebutuhan materiil dan kultural yang
semakin meningkat dari Rakyat pekerja. Tujuan ini dapat dicapai dengan
jalan terus-menerus meningkatkan dan menyempurnakan produksi sosialis
di dalam dasar teknik yang setinggi-tingginya.
Pembagian hasil-hasil produksi dalam masyarakat sosialis dilaksanakan menurut prinsip: Setiap orang bekerja menurut kesanggupannya, setiap orang menerima menurut hasil kerjanya. Masyarakat
sosialis adalah tingkat pertama, tingkat rendah dari masyarakat
Komunis. Dengan semakin majunya tenaga-tenaga produktif dan teknik
produksi, masyarakat berangsur-angsur beralih ke tingkat yang lebih
tinggi, yaitu masyarakat Komunis. Pada tingkat itu hasil-hasil produksi
sudah melimpah ruah dan pembagiannya dapat dilaksanakan menurut
prinsip: Setiap orang bekerja menurut kesanggupannya, setiap orang menerima menurut kebutuhannya.
***
Uraian yang singkat ini tentang berbagai tingkat perkembangan
masyarakat memperlihatkan bahwa perpindahan dari tingkat satu ke
tingkat yang lain berarti kemajuan lebih lanjut dari masyarakat manusia.
Dalam arti ini dapat kita katakan bahwa masyarakat pemilikan-budak
adalah lebih maju daripada masyarakat komune-primitif , masyarakat
feodal lebih maju daripada masyarakat pemilikan-budak, masyarakat
kapitalis lebih maju daripada masyarakat feodal, dan bahwa masyarakat
sosialis adalah susunan masyarakat yang paling maju pada dewasa ini.
Jika kita memeriksa keadaan masyarakat berbagai negeri di dunia ini,
kita dapat mengkonstatasi ketidaksamaan tingkat perkembangan masyarakat
di berbagai negeri itu. Walaupun dalam garis besarnya pada waktu
sekarang hanya terdapat dua macam sistem ekonomi-dunia, yaitu
kapitalisme dan sosialisme, tapi di berbagai negeri masih terdapat
sisa-sisa yang kuat dari susunan-susunan masyarakat pra-kapitalis. Dari
segi ini negeri-negeri tersebut merupakan negeri-negeri yang
terbelakang. Sering kali kita jumpai orang-orang yang tidak suka
mengakui hal ini, karena pengakuan itu dianggapnya sama dengan
pengakuan bahwa Rakyat yang tinggal di negeri-negeri itu adalah lebih
terbelakang secara antropologi-biologis daripada Rakyat di negeri-negeri
yang susunan masyarakatnya lebih maju. Jadi, seakan-akan Rakyat di
negeri-negeri maju merupakan manusia-unggul. Sesungguhnya pikiran
semacam ini sama sekali tidak beralasan. Secara biologis, antropologis,
semua manusia di dunia termasuk dalam satu jenis Homo Sapiens,
sedangkan ketinggalan dalam perkembangan susunan kemasyarakatan selalu
mempunyai sebab-sebab yang riil di dalam masyarakat manusia itu
sendiri. Umpamanya, keterbelakangan masyarakat kita dengan jelas
mempunyai akarnya di dalam penjajahan Belanda yang dijalankannya secara
kejam, sehingga penghapusan segala sisa-sisa penjajahan itu membuka
jalan yang nyata untuk memajukan masyarakat kita dan mengejar
ketinggalan itu. Oleh sebab itu sikap kita seharusnya menutup-nutupi
keterbelakangan kita dalam sistem masyarakat kita, tapi justru mencari
akar dari keterbelakangan itu dan mengubahnya supaya masyarakat kita
dapat lebih cepat maju menurut arah perkembangan masyarakat manusia.
7. Barang Dagangan dan Uang
Karena sistem ekonomi adalah dasar di dalam mana
berdiri bangunan-atas politik, maka Marx mencurahkan perhatiannya yang
terbesar pada studi tentang sistem ekonomi. Sebagaimana dikatakan oleh
Marx dalam kata-pendahuluannya pada karyanya yang terbesar, Kapital, “tujuan
terakhir dari karya ini ialah untuk menyingkapkan hukum ekonomi dari
gerak masyarakat modern”, yaitu masyarakat kapitalis.
Cara produksi kapitalis yang timbul sebagai pengganti dari cara
produksi feodal, didasarkan pada penghisapan atas kelas buruh-upahan
oleh kelas kapitalis. Untuk memahami hakikat dari cara produksi
kapitalis orang harus mengingat, pertama-tama dan terutama, bahwa dasar
daripada sistem kapitalis ialah produksi barangdagangan (commodity);
di bawah kapitalisme segala sesuatu mengambil bentuk barangdagangan dan
prinsip membeli dan menjual berlaku dimana-mana. Marx menulis:
“Kekayaan dari masyarakat-masyarakat dimana berlaku cara produksi
kapitalis menyatakan dirinya sebagai ‘setumpukan besar barangdagangan’.
Yang aturannya adalah suatu barangdagangan tunggal”.[36]
Barangdagangan dan produksi barangdagangan sudah ada jauh sebelum
timbul kapitalisme, yaitu sudah ada ribuan tahun yang lalu. Tapi dalam
kapitalisme produksi barangdagangan menjadi berkuasa dan universal.
Pertukaran barangdagangan merupakan “hubungan yang paling
biasa, fundamental, paling umum dan bersifat sehari-hari dari
masyarakat borjuis (barangdagangan), hubungan yang ditemukan biliunan
kali ……….”[37]
Walaupun barangdagangan itu merupakan sesuatu yang sangat biasa dan
setiap orang pernah membeli atau menjual barang-dagangan, tapi jarang
yang dapat menyelami lebih dalam hakikat yang tersembunyi di belakang
pertukaran barangdagangan itu. Marx lah yang secara mendalam
menganalisa gejala yang sangat sederhana ini dan “menyingkapkan semua kontradiksi (atau benih-benih semua kontradiksi) masyarakat modern”.[38]
Oleh karena itu, untuk memahami masyarakat kapitalis, memahami
gejala-gejala ekonomi dalam masyarakat kapitalis, “’penyelidikan kita
harus dimulai dengan menganalisa barangdagangan”.[39]
Dalam analisa itu Marx menyempurnakan dan mengembangkan secara
konsekuen teori nilai kerja yang dasar-dasarnya sudah diletakkan oleh
Adam Smith dan David Ricardo.
Sebagaimana sudah diterangkan di muka, kerja manusia yang
menghasilkan kekayaan materiil merupakan dasar bagi kelangsungan
kehidupan masyarakat, baik pada masa masyarakat primitif maupun pada
masyarakat modern sekarang. Tanpa kerja kekayaan materiil masyarakat
tidak mungkin bertambah. Tapi tidak sejak semula barang-barang hasil
kerja manusia itu merupakan barangdagangan. Dalam susunan ekonomi
alamiah (natural economy) orang berproduksi bukan untuk pertukaran,
tapi untuk konsumsi sendiri. Umpamanya, dalam ekonomi feodal, sebagian
dari hasil kerja kaum tani dimiliki langsung oleh tuan tanah tanpa
pertukaran, sedangkan sebagian lagi adalah untuk konsumsi tani sendiri.
Lain halnya dalam ekonomi barangdagangan. Produksi dan ekonomi
barangdagangan terjadi dengan adanya pembagian kerja kemasyarakatan dan
hak milik perseorangan atas alat-alat produksi. Barang dagangan adalah
barang, yang pertama, memenuhi suatu kebutuhan manusia, dan kedua, dihasilkan bukan untuk konsumsi sendiri akan tetapi untuk dijual.
Kegunaan sesuatu barang, sifat-sifatnya yang dapat memenuhi suatu kebutuhan manusia, membikin barang itu mempunyai suatu nilai-pakai (Gebrauchswert,
use-value). Nilai-pakai itu dapat langsung memenuhi sesuatu kebutuhan
orang seseorang, ataupun dapat merupakan alat produksi untuk membuat
barang-barang materiil. Dalam perkembangan masyarakat, manusia
terus-menerus menemukan sifat-sifat kegunaan yang baru pada
barang-barang dan kemungkinan-kemungkinan baru para penggunanya. Dengan
demikian jumlah nilai-pakai terus bertambah. Nilai-pakai merupakan isi materiil dari kekayaan, apapun bentuk sosialnya. Jadi,
baik dalam ekonomi alamiah maupun dalam ekonomi barangdagangan,
kekayaan materiil masyarakat selalu terdiri dari nilaipakai-nilaipakai.
Di samping mempunyai sifat untuk memenuhi suatu kebutuhan, yaitu nilai-pakai, barangdagangan
juga mempunyai suatu sifat lain, yaitu ia dapat dipertukarkan dengan
barang (nilai-pakai) lain. Sifat ini dinamakan nilai-tukar.
Nilai-tukar dinyatakan dalam perbandingan kuantitatif dari nilai-pakai
jenis yang satu dengan nilai –pakai jenis yang lain. Jadi,
barangdagangan di satu pihak mempunyai nilai-pakai, di pihak lain
mempunyai nilai-tukar. Nilai-pakai dan nilai-tukar merupakan dua unsur
dari barang-dagangan, yang tak dapat dipisahkan satu sama lain.
Nilai-pakai adalah pembawa (Trager, depository) nilai-tukar, dan
nilai-tukar menyandarkan dirinya pada nilai-pakai, dan menampakkan diri
dalam jumlah nilai-pakai barangdagangan lainnya, pada tindak
pertukaran. Pengalaman sehari-hari menunjukkan kepada kita bahwa
berjuta-juta macam pertukaran yang berlangsung itu senantiasa
mempersamakan satu macam nilai-pakai dengan macam-macam nilai-pakai
lainnya. Apa yang menjadi dasar persamaan bagi pertukaran-pertukaran
ini? Dasar ini tidak mungkin salah satu sifat alamiah dari
barangdagangan, seperti beratnya, ukurannya, bentuknya dls. Sebab
setiap pertukaran mesti terjadi antara dua macam barangdagangan yang
berbeda nilai-pakainya, sebab kalau sama nilai-pakainya tidak ada
gunanya pertukaran. Perbedaan nilai-pakai merupakan syarat mutlak dalam
pertukaran.
Oleh sebab itu nilai-pakai bukan dasar persamaan melainkan dasar
perbedaan dalam pertukaran. Praktek penghidupan sehari-hari juga
membuktikan bahwa nilai-pakai tidak dapat menentukan besar-kecilnya
nilai tukar. Misalnya, besi mempunyai lapangan penggunaan yang jauh
lebih banyak daripada emas, sehingga dari sudut ini besi dapat
dikatakan lebih berguna bagi manusia. Tapi nilai-tukar besi adalah jauh
lebih rendah daripada emas. Lagipula, sesungguhnya nilai-pakai besi
dan nilai-pakai emas tidak dapat diperbandingkan karena kegunaannya memang lain-lain.
Jadi, apa yang merupakan persamaan dalam
barangdagangan-barangdagangan yang dipertukarkan? Semua barangdagangan
mempunyai satu sifat sama yang memungkinkan
barangdagangan-barangdagangan itu dibandingkan dan dipersamakan satu
sama lain dalam pertukaran, yaitu semuanya adalah hasil kerja.
Dasar persamaan dua barangdagangan yang ditukarkan satu sama lain
adalah kerja kemasyarakatan yang diperlukan untuk memproduksinya.
Dengan perkataan lain, jumlah kerja manusia yang terkandung di
dalam barangdagangan merupakan faktor yang menentukan besar atau
kecilnya nilai-tukar barangdagangan. Kalau emas lebih mahal
daripada besi, maka ini bukanlah karena sifat alamiahnya, bukan karena
kilauan keemasannya, melainkan karena jumlah kerja manusia yang
terkandung dalam emas itu lebih banyak daripada yang terkandung dalam
besi.
Dengan demikian jelaslah, bahwa nilai-tukar tak lain daripada bentuk
pernyataan dari nilai barangdagangan yang dibentuk oleh kerja manusia
yang terwujud dalam barangdagangan. Kerja ini adalah kerja abstrak. Dengan
pengertian kerja abstrak Marx mengintrodusikan suatu kategori baru
dalam ilmu ekonomi politik. Semua ahli-ekonomi sebelum Marx, a.l. Adam
Smith dan David Ricardo, hanya bicara tentang “kerja” ketika menjawab
masalah tentang apa yang menentukan nilai. Tapi penyederhanaan ini
menyebabkan tidak dipahaminya produksi barangdagangan dan nilai sebagai
fenomena-fenomena (gejala-gejala) historis, yaitu bahwa produksi
barangdagangan dan nilai baru itu timbul pada tingkat perkembangan
sejarah yang tertentu. Dengan demikian timbul kesan sekan-akan setiap
barang dalam keadaan apapun mempunyai nilai, karena dibuat dengan kerja,
Marx membuka kekeliruan jalan pikiran ini. Ia menunjukkan bahwa bukan
saja barangdagangan mempunyai watak-rangkap, yaitu di satu pihak
nilai-pakai dan di pihak lain nilai-tukar arau nilai, tapi juga kerja
yang membuat barangdagangan itu adalah berwatak-rangkap. Jenis-jenis
kerja adalah sama aneka-ragamnya seperti nilai-nilai pakai yang
dihasilkannya. Kerja tukang-kayu secara kualitatif berbeda dengan kerja
tukang-jahit, tukang sepatu, dsb. Kerja itu berbeda dalam tujuan,
cara, alat-alat dan sudah tentu, hasil-hasilnya. Maka dalam setiap
nilai-pakai terkandung jenis kerja tertentu: dalam sebuah meja (kerja
tukang-kayu), dalam sepasang pakaian (kerja tukang-jahit), dalam
sepasang sepatu (kerja tukang-sepatu) dsb. Kerja yang dicurahkan dalam
bentuk tertentu adalah kerja konkret. Kerja konkret menghasilkan nilai-pakai barangdagangan.
Bersamaan dengan itu, produsen-produsen barangdagangan tersebut
melakukan kerja yang merupakan pemakaian produktif dari otak manusia,
urat-syaraf, dsb., dan dalam artian ini telah melakukan kerja manusia
yang seragam, kerja pada umumnya. Kerja daripada
produsen-produsen barangdagangan, dipandang sebagai pemakaian tenaga
kerja manusia pada umumnya, tanpa memperhatikan bentuk konkretnya
adalah kerja abstrak. Kerja abstrak membentuk nilai dari barangdagangan.
Kerja abstrak dan kerja konkret adalah dua segi dari kerja yang
terwujud dalam barangdagangan. “Disatu pihak, segala kerja, bicara
secara fisiologis, adalah pemakaian tenaga kerja manusia, dan dalam
wataknya sebagai kerja manusia abstrak yang identik, ia menciptakan dan
membentuk nilai guna barangdagangan-barangdagangan. Di pihak lain,
segala kerja adalah pemakaian tenaga kerja manusia dalam bentuk khusus
dan dengan tujuan tertentu, dan dalam hal ini, dalam wataknya sebagai
kerja berguna yang konkret, ia menghasilkan nilai-nilai pakai”.[40]
Kerja abstrak bukan hanya suatu kategori fisiologis, melainkan juga
kategori kemasyarakatan. Produsen barangdagangan, sebagai pemilik
perseorangan atas alat-alat produksinya, mula-mula melakukan kerja
konkret untuk membuat barang hasilnya, misalnya meja. Kerja ini adalah
kerja perseorangannya, sebab kerja ini dilakukan lepas dari masyarakat.
Tapi berdasarkan pembagian kerja kemasyarakatan, barang hasil si
produsen itu adalah untuk dipertukarkan, maka kerja dia adalah
sekaligus kerja kemasyarakatan, yaitu sebagian dari seluruh jumlah
kerja masyarakat. Ini menentukan bahwa dia harus menukarkan barang
hasil-hasilnya dengan barang hasil-hasil lain. Dan supaya dapat terus
berdiri sebagai produsen barangdagangan, ia harus mendapatkan kembali
dari pertukaran sejumlah kerja sebanyak yang ia curahkan dalam membuat
barang hasilnya. Untuk dapat mempersamakan jumlah kerja yang terkandung
dalam macam-macam barang yang dihasilkan oleh kerja konkret yang
bermacam-macam, maka bentuk konkret dari kerja harus ditinggalkan dan
kerja hanya dipandang sebagai pemakaian tenaga kerja manusia pada
umumnya. Oleh sebab itu, dalam syarat-syarat produksi perseorangan,
kerja kemasyarakatan bersifat kerja abstrak, jadi kerja abstrak adalah kerja kemasyarakatan yang dilakukan oleh produsen-produsen barangdagangan perseorangan. Dalam
kerja abstrak itu terwujud hubungan-hubungan kemasyarakatan di antara
produsen-produsen barangdagangan perseorangan. Maka Marx menanamkan
nilai sebagai hubungan kemasyarakatan, hubungan antara
produsen-produsen (orang-orang) tapi yang tersembunyi di belakang
hubungan antara barang-barang.
Watak kemasyarakatan dari nilai juga nampak dalam penentuan besarnya nilai. Besarnya nilai
sesuatu barangdagangan ditentukan oleh waktu-kerja. Semakin banyak
waktu-kerja yang diperlukan untuk memproduksi sesuatu barangdagangan,
semakin tinggi nilainya. Apakah ini berarti bahwa semakin malas
pekerja, maka semakin tinggi nilai barangdagangan yang diproduksinya?
Tidak, bukan demikian artinya. Besarnya nilai sesuatu barangdagangan
ditentukan bukan oleh waktu-kerja individual yang dicurahkan untuk
memproduksi sesuatu barangdagangan, akan tetapi oleh waktu kerja-perlu-sosial (gesellschaftlich notwendige Arbeitszeit, socially necessary labour time). Waktu
kerja-perlu-sosial adalah wwaktu yang diperlukan untuk pembuatan
sesuatu barangdagangan dalam syarat-syarat produksi kemasyarakatan yang
rata-rata, yaitu dengan tingkat teknik rata-rata, kecakapan rata-rata
dan intensitas kerja rata-rata.
Oleh sebab itu nilai bukan sifat materiil melainkan sifat kemasyarakatan dari barangdagangan. Tetapi
nilai barangdagangan tidak dapat dilihat pada barangdagangan itu
sendiri. Nilai itu hanya dapat menampakkan diri melalui perbandingan
barangdagangan itu dengan barangdagangan-barangdagangan lainnya, dalam
proses pertukaran, yaitu nilai-tukar atau bentuk-nilai (form of value).
Marx menunjukkan bahwa bersamaan dengan produksi barangdagangan
bentuk-nilai atau nilai-tukar itu juga berkembang dan sebagai hasil
dari perkembangan itu timbullah bentuk uang sebagai pernyataan nilai.
Dengan menganalisa perkembangan bentuk-nilai, Marx dapat menjelaskan
hakikat dan fungsi-fungsi daripada uang.
Bentuk-nilai yang paling sederhana ialah dinyatakannya nilai sesuatu
barangdagangan dengan barangdagangan lain, umpamanya : 1 kapak = 20 kg
padi
Di sini nilai kapak dinyatakan dengan padi. Padi berlaku sebagai
cermin-nilai, sebagai alat untuk menyatakan nilai dari kapak. Atas
pertanyaan: berapa nilai satu kapak? Maka jawabnya ialah: 20 kg. padi.
Barang dagangan yang menyatakan nilainya dalam barangdagangan yang lain
(dalam contoh di dalam: kapak) berada dalam bentuk-nilai nisbi (relatif
form of value) dan barangdagangan yang nilai-pakainya dipakai untuk
menyatakan nilai barangdagangan yang lain (dalam contoh di dalam: padi)
berada dalam bentuk tara daripada nilai (equipvalent form of value).
Padi adalah tara (equivalent) dari barangdagangan lain, yaitu kapak.
“Setiap barangdagangan terpaksa untuk memilih beberapa barangdagangan
lain sebagai taranya, dan untuk menerima nilai-pakai, artinya berntuk
badaniah dari barangdagangan lain itu sebagai bentuk dari nilainya
sendiri”.[41]
Persamaan tersebut di dalam bukan saja secara teoritis tapi juga
secara historis adalah yang paling sederhana dan paling primitif.
Benruk nilai sederhana itu terjadi pada waktu pertukaran belum teratur
dan bersifat kebetulan. Dalam setiap tindak pertukaran pada tingkat
perkembangan waktu itu harus ditemukan pernyataan nilai yang baru.
Ketika pembagian kerja kemasyarakatan dan bersamaan dengan itu,
produksi barangdagangan berkembang, ketika sudah menjadi biasa untuk
mempertukarkan barang hasil yang satu dengan barang hasil yang lain,
maka manusia sudah mengenal lebih banyak jenis barangdagangan yang
dapat menyatakan nilai baranghasil-baranghasil mereka. Umpamanya:
1 ekor domba = 40 kilogram padi, atau 20 meter kain, atau
2 kapak, atau
3 gram emas,
dsb.
Marx menamakan persamaan ini bentuk-nilai keseluruhan atau diperluas
(totale oder entfaltete Wertform, total or expanded form of value).
Dalam hal ini nilai barangdagangan dinyatakan dalam nilai-pakai bukan
dari atu barangdagangan akan tetapi dari jumlah barangdagangan, yang
semuanya dapat menjadi tara (equivalent).
Pada tingkat perkembangan produksi barangdagangan yang lebih tinggi,
maka akhirnya setiap barangdagangan dapat dinyatakan nilainya dalam
jumlah tertenu dari satu macam barangdagangan yang umum diterima.
Pertukaran langsung suatu barangdagangan dengan barangdagangan lain
menimbulkan kesulitan, karena penjual kapak misalnya tidak memerlukan
padi tapi kain. Di sini nampak pertenatngan dari produksi
barangdagangan, pertentangan mana terwujud dalam hal bahwa para
produsen ketika membuat baranghasil-baranghasilnya melakukan kerj aperseorangan yang sekaligus adalah kerja kemasyarakatan, yaitu kerja untuk masyarakat. Maka terjadi tara umum.
40 kilogram padi, atau 20 meter kain, atau 2 kapak,
atau 3 gram emas, dsb. = 1 ekor domba
Dalam bentuk-nilai umum ini (allgemeine Wertform, general form of value) domba berfungsi sebagai tara umum (allgemeines
Aquivalent, universal equivalent). Tetapi barangdagangan yang
berfungsi sebagai tara umum belum tetap, masih berbeda-beda di berbagai
tempat dan pada waktu yang berlainan.
Akhirnya terbentuk tara umum yang tidak lagi berubah menurut waktu
dn tempat. Tejadilah bentuk-uang sebagai hasil tertinggi dari
perkembangan bentuk-bantuk nilai. Karena sifat-sifatnya yang paling
sesuai, maka logam-logam mulia (emas dan perak) dapat manjalankan tugas
kemasyarakatan sebagai tara umum. Emas dapat menjadi uang, karena emas
itu sendiri barangdagangan mempunyai nilai sebagaimana setiap
barangdagangan lainnya.
Marx menunjukkan bahwa fungsi terpenting dari uang ialah sebagai
pertukaran ukuran nilai (Masz der Werte, measure of value). Tetapi
bersamaan dengan itu, karen sekarang ini nilai setiap barangdagangan
dapat dinyatakan dengan uang, uang itu menjadi ukuran harga. Maka harga
adalah tidak alin daripada nilai barangdagangan yang dinyatakan dengan
uang.
Melalui perkembangan bentuk-bentuk nilai Marx telah menunjukkan
bahwa uang terjadi secara historis sebagai hasil proses perluasan
ekonomi barangdagangan “Uang adalah kristal yang terbentuk akibat
keharusan dari proses pertukaran-pertukaran, dimana berbagai-berbagai
barang hasil kerja secara praktis dipersamakan satu sama lain dan
dengan demikian oleh praktek diubah menjadi barangdagangan. Kemajuan
sejarah dan perluasan pertukaran mengembangkan kontrast, yang latent di
dalam barangdagangan, antara nila-pakai dengan nilai. Keharusan untuk
memberikan pernyataan extern kepada kontrast ini untuk tujuan pergaulan
komersial, mendorong kepada terbentuknya bentuk-nilai yang
berdiri-sendiri, dan tidak berhenti dampai akhirnya ia mendapat
kepuasan dengan diferensiasi barangdagangan-barangdagangan menjadi
barangdagangan dan uang”.[42]
Marx juga membantah pendapat yang salah dari ahli-ahli ekonomi borjuis
yang menyatakan, seakan-akan uang itu suatu penemuan genial yang
mempermudah pertukaran. Pendapat yang hanya melihat uang sebagai alat
penukar dan tidak memahaminya sebagai barangdagangan lainnya sebagai
tara umum, masih seing kita jumpai. Misalnya, kerapkali disebut contoh
Robinson Crusoe yang terdampar disuatu pulau. Dipulau itu Robinson
lebih menghargai sebilah pisau daripada setumpuk emas. Ini dipakai
sebagai bukti bahwa uang hanya berguna sebagai alat penukar. Baik kita
periksa pokok pikiran ini.
Pertama, uang adalah hasil dari suatu proses sosial. Untuk
menjelaskan pengertian uang dengan suatu contoh peristiwa yang
hipotetis dan lepas dari masyarakat, merupakan usaha yang sangat
dangkal.
Kedua, bagi Robinson dipulau yang terpencil itu pisau dan emas merupakan dua macam niali-pakai dan tidak ada masalah nilai, karena nilai adalah hanya suatu kategori dalam ekonomi barangdagangan.
Ketiga, jika Robinson tidak berada dipulau yang terpencil tiu, tapi
ditengah-tengah masyarakat Inggris yang kapitalis, ia akan melihat pada
sebilah pisau dansetumpuk emas itu bukan sebagai dua macam niali-pakai,
tapi sebagai dua jumlah (magnitudes) nilai dan mendapatkan
bahwa nilai setumpuk emas jauh lebih besar daripada nilai sebilah
pisau. Dan nilai emas ditengah-tengah pasar Inggris yang ramai itu
sembarang waktu dapat berubah bentuk-materiilnya menjadi
makanan, pakaian, barang hiasan dls. Jadi soalnya bukan bahwa emas
disuatu pulau terpencil menjadi kurang berharga daripada dimasyarakat
Inggris; nilai-pakainya tetap sama tidak berubah. Tapi soalnya ialah
bahwa dipulau terpencil itu emas bukan barangdagangan, hanya
nilai-pakai saja, sedangkan dalam masyarakat Inggris emas adalah
barangdagangan dan lagi barangdagangan yang berfungsi sebagai tara umum.
Fungsinya sebagai alat penukar atau alat peredaran diakibatkan oleh
fungsinya sebagai ukuran nilai, diakibatkan oleh kenyataan bahwa
barangdagangan hanya dapat menyatakan nilainya dengan barangdagangan
lain,. Jadi bukan sebaliknya, bahwa “nilai” emas diakibatkan oleh
fungsinya sebagai alat penukar.
Walaupun pada waktu sekarang tidak ada satu negeripun yang masih
menggunakan uang emas, dan hanya uang kertas yang beredar, tapi ajaran
Marx tentang asal-usul dan hakikat uasng masih tetap berlaku.
Uang kertas sendiri tidak mempunyai nilai, ia hanya mewakili
sejumlah nilai. Tapi di negeri-negeri kapitalis uang itu seakan-akan
telah lepas sama sekali dari barangdagangan, ia mengalami existensinya
sendiri, bahkan mendapatkan kekuaaan yang luar biasa atas manusia.
Padahal uang adalah hasil dari hubungan-hubungan kemasyarakatan
tertentu antara produsen-produsen barangdagangan.
8. Kapital dan Nilai-lebih
Ekonomi politik Marxis tidak hanya mengatasi
keterbatasan ekonomi klasik borjuis dalam teori nilainya dan teori
uangnya. Baik Adam Smith maupun David Ricardo terbentur pada jalan
buntu ketika hendak menjelaskan hubungan antara kapital dengan kerja
dan tentang asal-usul nilai-lebih. Dalam suratnya kepada seorang
ahli-ekonomi Inggris J. R. Mc. Culloch (1789-1864), Ricardo menulis:
“Saya tidak puas dengan menjelaskan saja mengenai asas-asas yang
menguasai nilai. Saya harap akan ada seorang manusia yang lebih cakap
daripada saya, yang dapat menyelesaikannya”. Dan ternyata Karl-Marxlah,
bersama dengan Friedrich Engels, yang beberapa puluh tahun sesudah
wafatnya Ricardo dapat memberikan penyelesaiannya. Sebabnya ialah
karena Marx dan Engels dapat menembus keterbatasan pendirian kelas
Burjuis yang menganggap kapitalisme sebagai susunan ekonomi yang
tertinggi, terakhir dan abadi. Dengan menempatkan diri pada pendirian
kelas yang sedang tumbuh dan maju, yaitu kelas proletar, Marx dan
Engels dapat mengupas sifat historis dari kategori-kategori ekonomi dari
kapitalisme dan melahirkan ekonomi politik yang bukan saja mengatasi
keterbatasan ekonomi klasik borjuis tapi juga menjadi senjata untuk
mengatasi kapitalisme itu sendiri. Dan yang telah menyingkapkan
“rahasia” penghisapan kapitalis ialah teori nilai-lebih dari Marx dan Engels. Oleh karena itu, Lenin menamakan ajaran tentang nilai-lebih sebagai batu-alas dari teori ekonomi Marx.
Untuk menjelaskan pokok-pokok dari teori nilai-lebih ini kita mulai dengan sedikit penjelasan tentang kapital.
Pada tingkat tertentu dari perkembangan produksi barangdagangan,
uang berubah menjadi kapital. Uang itu sendiri (ansich) bukan kapital.
Misalnya, bagi produsen-produsen kecil barangdagangan yang hidup dari
penjualan baranghasil-baranghasil mereka, uang berperanan sebagai alat
peredaran dan bukan sebagai kapital. Rumus peredaran barangdagangan
ialah B ~ U ~ B (Barang dagangan ~ Uang ~ Barang Dagangan), yaitu
menjual barangdagangan guna membeli barangdagangan yang lain. Ini
berarti nilai-pakai yang satu ditukar dengan nilai-pakai yang lain.
Jadi tujuan dari proses peredaran adalah nilai-pakai.
Tapi uang menjadi kapital bila dipergunakan untuk menghisap kerja orang lain. Rumus
umum kapital ialah U ~ B ~ U, yaitu membeli guna menjual (dengan
untung). Di sini awal dan akhir proses adalah sama: uang (nilai). Oleh
sebab itu gerak kapital ini tak akan nada artinya jika jumlah uang pada
akhir proses masih tetap sama dengan jumlah uang pada awalnya. Seluruh
arti dari aktivitas kapitalis terletak dalam hal bahwa sebagai akibat
operasi itu ia mempunyai lebih banyak uang daripada yang dimilikinya
pada permulaan. Jadi, tujuan proses peredaran di sini ialah
bertambahnya nilai. Maka rumus umum kapital dalam bentuk lengkapnya U ~
B ~ U’ (U’ = U + u).
Apakah sumber pertambahan kapital ini? Pertambahan ini tidak dapat
timbul dari peredaran barangdagangan, sebab itu hanya pertukaran
barang-barang yang senilai. Pertambahan itu juga tidak dapat terjadi
dari kenaikan harga, sebab untung yang diperdapat sebagai penjual akan
hilang sebagai kerugian yang diderita sebagai pembeli. Sedangkan yang
kita persoalkan bukan gejala individual, tapi gejala sosial, rata-rata
dan massal. Dalam kenyataan yang sesungguhnya, pertambahan kapital
diperoleh oleh seluruh kelas kapitalis.
Teranglah, pemilik uang, untuk menjadi seorang kapitalis, harus
mendapatkan di pasar suatu barangdagangan yang bila dipergunakan
(dikonsumsikan) dapat menciptakan nilai yang lebih besar daripada nilai
barang itu sendiri. Dengan perkataan lain, pemilik uang harus
“mendapatkan di pasar suatu barangdagangan yang nilai-pakainya memiliki
sifat khas sebagai sumber nilai”.[43]
Dan memang ada barangdagangan semacam itu, yaitu tenaga-kerja manusia. Dengan
menunjukkan bahwa buruh menjual kepada kaum kapitalis bukan kerja
melainkan tenaga kerja, Marx telah memecahkan masalah yang menyebabkan
ekonomi politik klasik masuk dalam jalan buntu. Ini “bukanlah soal main
sulap dengan kata-kata belaka melainkan salah satu dari hal yang
terpenting dalam seluruh ekonomi politik”.[44]
Marx juga menunjukkan bahwa baru dalam hubungan-hubungan
kemasyarakatan yang tertentu, hubungan-hubungan kapitalis, tenaga kerja
menjadi barangdagangan, yaitu, setelah terdapat pekerja-pekerja yang
“bebas” dalam dua arti. Arti yang pertama, bebas dari segala
keterikatan feodal, sehingga ia bebas pribadinya dan bebas untuk
menjual tenaga kerjanya. Arti yang kedua, bebas dari tanah dan segala
alat produksi, sehingga sebagai “proletar” (orang tak bermilik) ia tadk
dapat hidup kecuali dengan menjual tenaga kerjanya.
Penggunaan atau pengkonsumsian daripada tenaga kerja berarti kerja,
dan kerja menciptakan nilai. Pemilik uang membeli tenaga kerja menurut
nilainya. Nilai tenaga kerja, sebagaimana nilai setiap barangdagangan
lainnya, ditentukan oleh waktu-kerja-perlu-sosial yang dibutuhkan bagi
produksinya, yaitu ongkos untuk memelihara buruh dan keluarganya. Jadi
nilai tenaga kerja yang dibayarkan sebagai upah kepada kaum buruh
(dalam kenyataannya upah pada umumnya lebih rendah daripada nilai
tenaga-kerja) ditentukan oleh faktor-faktor yang sama sekali tidak ada
hubungan langsung dengan kerja yang akan dihasilkan oleh tenaga kerja
itu. Maka nilai yang diciptakan dalam proses penggunaan tenaga kerja
dan nilai tenaga kerja adalah dua jumlah (magnitudes) yang sama sekali
berbeda. Selisih di antara dua jumlah itu merupakan syarat mutlak bagi
penghisapan kapitalis, sebab selisih itulah menghasilkan nilai-lebih
(surplus-value. Mehrwert – m)
Misalnya, pemilik-uang, setelah membeli tenaga kerja, berhak
menggunakannya. Yaitu, ia memperkerjakan buruh dalam pabrik selama satu
hari kerja yang lamanya, katakanlah, 8 jam. Tapi kalau buruh sudah
bekerja tiga jam (waktu-kerja-perlu), ia sudah menghasilkan produk yang
cukup untuk menutupi ongkos penghidupannya. Artinya, dalam tiga jam
itu ia sudah menghasilkan nilai baru sebesar nilai tenaga kerjanya. Maka
dalam lima jam berikutnya (waktu-kerja-lebih) ia menciptakan
hasil-lebih atau nilai-lebih yang tidak dibayar oleh si kapitalis.
Dengan demikian si kapitalis telah mencapai tujuan yang dikehendakinya
dengan membeli tenaga kerja.
Teori tentang nilai-lebih ini memberi kemungkinan untuk secara exact
menentukan isi ekonomi dari kategori “upah-kerja”. Ahli-ahli ekonomi
borjuis menganggap upah sebagai nilai-kerja. Pengertian ini adalah
keliru “Kerja adalah zat (substance) dan ukuran yang immanen dari
nilai, tapi kerja itu sendiri tidak punya nilai”.[45]Kalau
kerja menjadi ukuran bagi semua nilai, maka “nilai kerja” hanya dapat
dinyatakan dengan kerja saja. Tapi kita tidak akan mengetahui apa-apa
tentang nilai dari kerja sejam, kalau kita hanya tahu bahwa nilai itu
sama dengan kerja sejam. Ini berarti kita bergerak dalam lingkaran yang
tidak ada ujung-pangkalnya. Tetapi kesukaran ini hilang-lenyap kalau
kita ketahui bahwa buruh tidak menjual kerjanya melainkan tenaga
kerjanya. Maka upah adalah tak lain daripada bentuk-terubah dari nilai
atau harga tenaga kerja sebagai barangdagangan. Dengan kata-kata lain,
upah-kerja adalah nilai tenaga kerja yang dinyatakan dengan uang.
Ajaran ekonomi Marxis telah menganalisa lebih dalam pengertian
“kapital”. Menurut ahli-ahli ekonomi borjuis, kapital itu adalah
alat-alat produksi atau sejumlah uang tertentu. Pengertian semacam ini
sama sekali menyembunyikan hakikat penghisapan kapitalis atas kaum
buruh. Karena dalam sistem masyarakat apa saja akan tetap diperlukan
alat-alat produksi, maka pengertian “kapital” seperti yang tersebut di
atas mengandung arti bahwa kapital adalah syarat abadi bagi kehidupan
setiap masyarakat manusia.
Sesungguhnya, alat-alat produksi hanya menjadi kapital pada tingkat
tertentu dari perkembangan sejarah, bilamana alat-alat produksi itu
merupakan ilik perseorangan kapitalis dan menjadi alat untuk menghisap
kerja-upahan.
Dalam masyarakat sosialis, alat-alat produksi menjadi milik
masyarakat dan tidak mungkin lagi digunakan untuk menghisap kerja orang
lain. Jadi, kapital bukanlah suatu barang, tapi suatu hubungan
kemasyarakatan di antara manusia-manusia di dalam proses produksi dan
yang secara historis bersifat sementara.
Kapital adalah nilai yang , melalui penghisapan atas kerja-upahan,
menghasilkan nilai-lebih, adalah “kerja mati yang bagaikan vampir hanya
hidup dengan menghisap kerja-hidup, dan menjadi semakin hidup, semakin
banyak ia menghisap kerja”.[46]
Di dalam kapital terwujud hubungan produksi antara kelas kapitalis
dengan kelas buruh: kelas kapitalis sebagai pemilik alat-alat dan
syarat-syarat produksi menghisap buruh-upahan yang menciptakan
nilai-lebih untuk mereka. Hubungan produksi ini, seperti halnya dengan
semua hubungan produksi lainnya dari masyarakat kapitalis, mengambil
bentuk sebagai hubungan di antara barang-barang, dan tampak seolah-olah
adalah sifat barang-barang – alat-alat produksi – itu sendiri untuk
menghasilkan pendapatan bagi si kapitalis. Di sini terletak watak
fetisisme dari kapital: alat-alat produksi (atau sejumlah uang yang
dapat dipakai untuk membeli alat-alat produksi) seakan-akan mempunyai
sifat ajaib dapat memberi pendapatan yang teratur tanpa-kerja bagi
pemiliknya. Misalnya, ada yang mengatakan bahwa kapital mempunyai dua
arti, yaitu pertama, kapital mempunyai jabatan dalam produksi, kapital
adalah faktor produksi, dan dalam arti ini dinyatakan bahwa kapital
akan selalu terdapat dalam setiap bentuk masyarakat. Kedua, kapital
merupakan pokok pendapatan yang memberi penghasilan kepada orang yang
memilikinya. Dalam arti ini, demikian anggapan orang itu, kapital hanya
terdapat dalam masyarakat kapitalis, tidak dalam masyarakat sosialis.
Dalam masyarakat sosialis kapital itu menjadi pokok pendapatan bagi
seluruh masyarakat, demikian pendapatnya. Pandangan ini sama sekali
bertentangan dengan pengertian Marxis tentang kapital dan hakikatnya
menutup hubungan penghisapan yang dinyatakan oleh kapital. Sebab,
faktor produksi dalam setiap bentuk masyarakat adalah alat-alat produksi, dan
hanya pada bentuk masyarakat yang tertentu, yaitu masyarakat
kapitalis, alat-alat produksi itu “berbaju” kapital. Kedua, dengan
menganggap kapital sebagai sesuatu yang “memberi penghasilan”, maka
diingkari sepenuhnya peranan kerja sebagai satu-satunya sumber nilai, jadi tidak disinggung-singgungnya penghisapan kapitalis terhadap tenaga-upahan.
Berhubung dengan analisa tentang sumber nilai-lebih itu, Marx
menunjukkan bahwa dilihat dari peranannya dalam proses produksi,
kapital terbagi dalam dua bagian. Bagian kapital yang terdapat dalam
bentuk alat-alat produksi (mesin-mesin, perlengkapan-perlengkapan,
bahan-bahan mentah dls.) tidak berubah besar nilainya di dalam
proses produksi, nilainya hanya dipindahkan sekaligus atau
sebagian-sebagian ke dalam barang hasil jadi. Oleh sebab itu Marx
menamakan bagian kapital ini kapital konstan (constant capital – c) atau kapital tak berubah. Bagian lain dari kapital dikeluarkan untuk membeli tenaga kerja. Bagian ini berubah menjadi
tambah besar nilainya di dalam proses produksi, karena buruh
menciptakan nilai-lebih. Maka bagian ini disebut oleh Marx kapital variable (variable capital – v) atau kapital berubah.
Dalam ajaran ekonomi borjuis hanya dikenal satu macam pembagian dari kapital, yaitu kapital-tetap (fixed capital) dan kapital-beredar (circulating capital). Pembagian ini didasarkan pada cara perputaran kapital.
Kapital-tetap adalah bagian dari kapital produktif yang,
meskipun mengambil bagian sepenuhnya dalam produksi, nilainya tidak
sekaligus berpindah kepada barang hasil tapi sebagian demi sebagian,
selama masa serentetan periode-periode produksi. Ini adalah bagian
kapital yang dipergunakan untuk mendirikan gedung-gedung dan untuk
pembelian mesin-mesin dan perlengkapan. Sedangkan kapital-beredar adalah
bagian dari kapital produktif yang selama satu masa produksi nilainya
dikembalikan sepenuhnya kepada kaum kapitalis dalam bentuk uang ketika
barangdagangan-barangdagangan sudah direalisasi. Ini adalah bagian
kapital yang dipergunakan untuk membeli tenaga-kerja dan semua alat
produksi yang tidak masuk dalam kapital-tetap (bahan mentah, bahan
bakar dll.).
Cara pembagian kapital ini (fixed and circulating) tidak
memperlihatkan peranan tenaga kerja dalam menciptakan nilai-lebih, tapi
sebaliknya menutup sama sekali perbedaan fondamental antara pengeluaran
kapitalis untuk menyewa tenaga kerja dan pengeluarannya untuk bahan
mentah, bahan bakar, dls.
Karena, sebagaimana dijelaskan di dalam, hanay tenaga kerja yang dapat menciptakan nilai baru, maka
sesungguhnya untuk menyatakan derajat pebghisapan ikeh kapital atas
tenaga kerja, nilai-lebih tidak seharusnya diperbandingkan dengan
seluruh kapital melainkan hanya dengan kapital variabel. Marx menyebut
perbandingan perbandingan ini tingkat nilai-lebih (rate of surplus
value) dan secara rumus adalah m’ = m/v. jadi, dalam hal kaum buruh
bekerja dipabrik selama 8 jam sehari, tetapi dalam waktu 3 jam sudah
menghasilkan produk yang cukup untuk menutupi ongkos penghidupannya,
maka m’ = 5/3 x 100% = 1662/3% (derajat penghisapan). Bagi kapitalis,
nampaknya, seluruh kapital menghasilkan labanya, maka tingkat laba
(rate of profit) dihitungkan sebagai perbandingan laba dengan seluruh
kapitalnya. Umpamanya, kapital adalah 100, yang terbagi dalam c = 80
dan v = 20 dan nilai-lebihnya m = 20, maka tingkat laba hanya 20/100 x
100% = 20%, padahal tingkat nilai-lebih adalah 20/20 x 100% = 100%.
Dalam hubungan dengan pengertian derajat penghisapan kapitalis ini,
kita sering menjumpai pandangan keliru dalam masyarakat yang menganggap
bahwa buruh di dalam perusahaan nasional mengalami penghisapan yang
lebih berat daripada di dalam perusahaan modal besar asing. Karena kata
mereka, upah buruh dalam perusahaan nasional jauh lebih rendah
daripada dalam perusahaan asing. Orang-orang itu melupakan bahwa
nilai-lebih yang dihisap oleh modal monopoli asing itu jauh lebih
tinggi daripada nilai-lebih yang dapat diperoleh oleh
perusahaan-perusahaan nasional. Sehingga jika kita perhitungkan tingkat
nilai-lebihnya, maka derajat penghisapan atas kaum buruh dalam
perusahaan asing jauh lebih besar daripada dalam perusahaan nasional.
Di samping itu, modal monopoli asing itu justru merupakan rintangan
yang berat bagi perkembangan perusahaan-perusahaan nasional itupun
dengan jalan ini atau itu karena penghisapan oleh modal monopoli asing.
Tujuan langsung produksi kapitalis adalah produksi nilai-lebih. Bagi
kapitalis kerja produktif berarti kerja yang menciptakan nilai-lebih.
Jika kerja buruh tidak menciptakan nilai-lebih kerjanya merupakan kerja
tidak-produktif dan tidak berguna bagi kapital. Nilai-lebih menjadi
sumber bersama dari pendapatan tanpa-kerja dari berbagai golongan kelas
borjuis: kaum industrialsi, pedagang dan bankir dan juga kelas
pemilik-tanah.
Produksi nilai-lebih merupakan hukum ekonomi pokok bagi kapitalisme.
Ini berarti bahwa segala pengembangan tenaga-tenaga produktif dalam
kapitalisme didorong oleh nafsu kapitalis mencapai laba sebanyak
mungkin. “Tujuan tetap dari produksi kapitalis”, kata Marx, “ialah
dengan minimum kapital yang dibayar terlebih dulu mencapai maksimum
nilai-lebih dan hasil-lebih”.[47]
Pengejaran nilai-lebih menimbulkan persaingan sengit di antara kaum
kapitalis dan mengakibatkan perluasan produksi yang semakin besar,
mengakibatkan perkembangan teknik dan pertumbuhan tenaga-tenaga
produktif masyarakat borjuis. Tapi, dalam pada itu, pertentangan
antagonis makin mendalam antara buruh dengan kapital, memperbesar
anarki produksi dan mengakibatkan pemborosan-pemborosan luar biasa atas
tenaga-tenaga produktif.
Perkembangan industri mesin besar, pertanian modern dan
cabang-cabang ekonomi lainnya, mengakibatkan pengurangan jumlah buruh
yang diperlukan untuk menghasilkan jumlah barang hasil yang tertentu.
Artinya, kapital konstan bertambah lebih cepat dari pada kapital
variabel, sehingga secara relatif keperluan produksi kapitalis akan
tenaga buruh berkurang, walaupun jumlah absolut kaum buruh bertambah.
Kemajuan teknologi di bawah kapitalisme melemparkan jutaan buruh dari
pekerjaannya, dan setiap orang buruh setiap waktu terancam oleh
pengangguran. Akumulasi kapitalis mempercepat proses digantikannya
orang dengan mesin dan menimbulkan barisan-cadangan industri yang
tepat, yaitu kaum penganggur.
“Semakin besar kekayaan masyarakat, kapital yang berfungsi, keluasan
dan energi daripada pertumbuhannya, dan oleh karenanya, semakin besar
juga jumlah absolute proletariat dan daya-produksi dari kerjanya, maka
semakin besarlah barisan cadangan industri ……….. Jumlah relatif dari
barisan cadangan industri karenanya bertambah bersamaan dengan energi
potensial kekayaan. Tetapi semakin besar cadangan itu dalam
perbandingan dengan barisan buruh yang aktif, maka semakin besarlah
massa kelebihan penduduk yang terkonsolidasi, yang kemelaratannya
adalah dalam perbandingan yang sebaliknya dengan siksaan kerjanya …………. Ini adalah hukum umum absolut dari akumulasi kapitalis”.[48]
Kata-kata Marx tetap benar. Tidak ada satu negeri kapitalispun yang
mampu melenyapkan pengangguran.. bahkan di negeri kapitalis yang
paling kayapun – Amerika Serikat, terdapat berjuta-juta kaum
penganggur. Sebaliknya, negeri-negeri sosialis dalam beberapa tahun
pembangunan ekonomi saja telah melenyapkan masalah ini untuk
selama-lamanya dan pada umumnya malah mengalami kekurangan
tenaga-kerja.
Cara produksi kapitalis telah membawa kemajuan yang sangat besar
dalam produktivitas kerja dan tingkat perkembangan tenaga-tenaga
produktif. Tapi sebagai sistem yang berdasarkan penghisapan atas
manusia oleh manusia, kapitalisme mempunyai keterbatasan sejarah. Dalam
mengembangkan produksi besar-besaran, kapitalisme melahirkan penggali
liang kuburnya sendiri, yaitu kelas buruh. “Sentralisasi alat-alat
produksi dan sosialisasi kerja pada akhirnya mencapai tingkat sehingga
tidak sesuai lagi dengan bingkai kapitalisme. Maka bingkai ini pecah
berantakan. Lonceng kematian untuk pemilikan kapitalis berbunyi. Kaum
perampas dirampas”.[49]
Demikianlah kecenderungan sejarah dari perkembangan cara produksi kapitalis.
9. Imperialisme, Tingkat Tertinggi Kapitalisme
Sebagaimana dinyatakan dalam Manifesto Politik Republik Indonesia,
musuh terpokok nasion Indonesia adalah imperialisme. Oleh sebab itu
penting bagi kita untuk mengetahui secara ilmu apa sesungguhnya
imperialisme itu. Hanya dengan mengetahui hakikat (essence) dari
imperialisme, kita bisa mengenalnya dalam segala bentuk manifestasinya,
mengenal hubungannya dengan kolonialisme dan neo-kolonialisme.
Pengetahuan ini akan membantu kita untuk menjaga agar pukulan dari
perjuangan revolusioner kita selalu diarahkan kepada musuh yang pokok
ini.
Di bawah ini akan saya uraikan secara singkat pengertian kaum Marxis tentang imperialisme.
Seperti diterangkan Lenin, “Imperialisme adalah suatu tingkat
historis yang khusus dari kapitalisme. Cirinya yang khas adalah tiga:
imperialisme adalah 1) kapitalisme monopoli; 2) kapitalisme yang
bersifat benalu (parasitic), atau yang sudah mau runtuh; 3) kapitalisme
sekarat (moribund)”.[50]
Tingkatan ini muncul pada akhir abad ke-19 sebagai perkembangan dan
lanjutan yang langsung daripada sifat-sifat yang pokok dari
kapitalisme. Dengan timbulnya imperialisme, semua pertentangan intern
kapitalisme, perjuangan kelas, anarki dalam produksi, serta
krisis-krisis ekonomi telah menjadi lebih tajam.
Menurut definisi klasik Lenin, ciri-ciri ekonomi yang terpenting dari imperialisme ialah:
“1) Konsentrasi produksi dan kapital telah berkembang sampai pada
tingkat yang demikian tingginya sehingga ia menciptakan
monopoli-monopoli yang memainkan peranan menentukan dalam kehidupan
ekonomi;
“2) Perpaduan kapital bank dengan kapital industri dan penciptaan, di dalam dasar ‘kapital finans’ ini, oligarki finans;
“3) Ekspor kapital, berbeda dengan ekspor barang dagangan, memperoleh arti penting yang luar biasa;
“4) Pembentukan serikat-serikat kapitalis monopolis internasional yang membagi dunia di kalangan mereka sendiri, dan
“5) Pembagian territorial atas seluruh dunia di antara Negara-negara kapitalis terbesar telah selesai”.[51]
Dalam periode kapitalis pra-monopli, persaingan bebas berkuasa.
Sebagai akibatnya, terjadi konsentrasi dan sentralisasi produksi dan
kapital. Konsentrasi produksi dan kapital ini pada tingkat
perkembangannya yang tertentu pasti menuju ke monopoli. Sebab
perusahaan raksasa memerlukan laba besar untuk mempertahankan diri
dalam persaingan melawan perusahaan-perusahaan raksasa lainnya. Laba
yang sebesar-besarnya hanya dapat dijamin dengan kekuasaan monopoli di
pasar. Pada pihak lain, antara beberapa puluh perusahaan-perusahaan
raksasa akan lebih mudah tercapai persetujuan daripada antara ratusan
atau ribuan perusahaan-perusahaan kecil. Dengan demikian, persaingan
bebas diganti oleh monopoli.
Disinilah hakikat ekonomi daripada
imperialisme.
Walaupun monopoli telah menggantikan persaingan bebas, tetapi
monopoli tidak menghapuskan persaingan, bahkan membuat persaingan itu
lebih sengit dan kejam di dalam dunia kapitalis. “Sesungguhnya,
imperialisme tidak dan tidak dapat merombak kapitalisme dari
atas sampai ke bawah. Imperialisme memperumit dan mempertegas
kontradiksi-kontradiksi dari kapitalisme, imperialisme ‘melibatkan’
monopoli dengan persaingan bebas, tetapi imperialisme tidak dapat melenyapkan pertukaran, pasar, persaingan, krisis-krisis dls”.[52]
Persaingan terjadi di antara para anggota badan monopoli, di antara
badan-badan monopoli yang satu dengan lainnya, dan di antara monopoli
dengan perusahaan-perusahaan yang bukan monopoli.
Sebagaimana di dalam industri, dalam lapangan perbankan terjadi juga
konsentrasi. Konsentrasi industri dan pembentukan monopoli-monopoli
bank mengakibatkan perubahan yang hakiki di dalam hubungan timbal-balik
antara bank dengan industri. Bank turut memiliki perusahaan-perusahaan
industri perdagangan dan pengangkutan, karena ia memperoleh
saham-saham perusahaan-perusahaan itu.
Pada pihak lain, monopoli-monopoli industri memiliki juga
saham-saham bank yang bersangkutan dengan mereka. Dengan begitu kapital
monopoli bank dan kapital monopoli industri berjalin dan menjadi
kapital jenis baru: kapital finans. “Kapital finans adalah kapital bank
kepunyaan sejumlah kecil bank monopolis yang sangat besar, berpadu
dengan kapital serikat-serikat monopolis kaum industrialis”.[53] Zaman imperialisme adalah zaman kapital finans.
Di setiap negeri kapitalis, cabang-cabang vital dalam ekonomi
dikendalikan oleh grup-grup kecil bankir besar dan monopolis-monopolis
industri yang menguasai sebagian terbesar dari kekayaan masyarakat.
Dengan demikian mesti timbul kekuasaan oligarki finans, kekuasaan
beberapa gelintir raja-raja uang.
Ciri pada kapitalisme pra-monopoli ketika persaingan bebas berkuasa,
adalah ekspor barangdagangan. Pada tingkat imperialisme dimana
monopoli berkuasa, ekspor kapital yang menjadi ciri.
Ekspor kapital dalam zaman imperialisme telah menjadi suatu
keharusan. Keharusan ini disebabkan karena terjadinya “kelebihan
kapital” di negeri-negeri kapitalis yang sudah maju dan paling kaya
sebagai akibat yang langsung dari berkuasanya monopoli dan kapital
finans. Pada pihak lain karena adanya sejumlah negeri terbelakang yang
sudah terseret ke dalam pergaulan kapitalis sedunia dimana terdapat
hanya sedikit kapital, upah rendah, bahkan mentah murah dan harga tanah
rendah. Dengan demikian, kapital monopoli memang dapat memperoleh laba
luar biasa besarnya apabila mengadakan eksploitasi di negeri-negeri
itu.
Salah satu akibat yang terpenting dari ekspor kapital ialah
bertambahnya persaingan antara antara Negara-negara besar untuk merebut
daerah-daerah penanaman modal kapital yang paling menguntungkan.
Dengan bertambahnya ekspor kapital dan peluasan hubungan-hubungan
luar negeri serta “lingkungan-lingkungan pengaruh” monopoli-monopoli
raksasa, terjadilah syarat-syarat untuk pembagian pasar dunia di antara
monopoli-monopoli tersebut, terbentuklah monopoli-monopoli
internasional.
Pembagian dunia di lapangan ekonomi oleh badan-badan monopoli pasti
disertai dan diperkuat dengan pembagian wilayah dunia oleh
Negara-negara besar imperialis. Mereka rebut-merebut tanahjajahan-
tanahjajahan dan negeri-negeri asing.
Pada awal abad 20 pembagian wilayah dunia sudah selesai. Sebagai
akibat perkembangan ekonomi dan politik yang tidak sama di antara
negeri-negeri kapitalis itu, pembagian daerah jajahan itu tidak merata.
Negeri-negeri kapitalis tua telah merebut wilayah-wilayah jajahan yang
luas, sedangkan negeri-negeri kapitalis muda hanya kebagian sedikit.
Tetapi dalam zaman imperialisme, teknik sudah mencapai tingkat
perkembangan yang sangat tinggi, sehingga memungkinkan negeri-negeri
kapitalis yang muda mengejar serta melampaui negeri-negeri kapitalis
yang tua secara cepat dan melompat. Mereka dapat mendesak negeri-negeri
itu dari pasarnya dan memaksakan pembagian kembali wilayah dunia
dengan kekerasan senjata, maka timbullah perang-perang imperialis dan
perang-perang kolonial. Oleh sebab itu imperialisme selalu menjadi sumber akan ketegangan-ketegangan internasional dan peperangan.
Pada zaman imperialisme ini sistem ekonomi kapitalis meliputi seluruh
dunia berdasarkan penghisapan dan perbudakan. Sejumlah kecil
Negara-negara imperialis menindas dan menghisap jumlah terbesar
Negara-negara jajahan. Segala tanahjajahan dan negeri-negeri tergantung
yang ditindas oleh Negara-negara imperialis merupakan sistem kolonial daripada imperialisme.
Tanahjajahan-tanahjajahan merupakan tempat penanaman kapital, sumber
bahan mentah, sumber tenaga murah, pasar hasil industri Negara-negara
imperialis, dan juga sebagai pangkalan perang dan sumber umpan meriam
bagi kepentingan Negara-negara imperialis. Tapi penindasan imperialisme
ini membangkitkan perlawanan dari rakyat-rakyat yang dijajah, sehingga
di semua negeri jajahan dan negeri tergantung lahir gerakan dan
perjuangan melawan kolonialisme untuk kemerdekaan nasional. Perjuangan
in sering memuncak dalam pemberontakan-pemberontakan dan
revolusi-revolusi yang akhirnya melahirkan Negara-negara yang merdeka
dan mengakibatkan kehancuran sistem kolonial daripada imperialisme.
Dalam kapitalisme modern masih tetap berlaku hukum nilai-lebih
sebagai hukum ekonomi pokok. Tapi perjuangan untuk mengejar nilai-lebih
ini semakin meruncing dan kejam. Kekuasaan monopoli memungkinkan kaum
kapitalis monopoli untuk menetapkan harga-harga monopoli sehingga
mencapai laba tinggi monopoli. Untuk menjamin laba tinggi monopoli,
kaum monopolis tidak enggan menggunakan cara apapun sampai kepada
mencetuskan perang baru.
Peruncingan pertentangan setajam-tajamnya dalam kubu imperialisme ,
bentrokan-bentrokan di antara Negara-negara imperialis yang berakibat
perang-perang imperialis, berkembangnya perjuangan kelas proletar di
negeri-negeri kapitalis, bangkitnya Rakyat jajahan melawan penjajahnya,
ini semua sangat melemahkan sistem dunia kapitalis. Dengan demikian
tertimbun syarat-syarat bagi krisis umum kapitalisme.
Krisis umum kapitalisme ini dimulai sejak masa perang dunia pertama
dan terutama sejak kemenangan Revolusi Sosialis Oktober 1917 di Rusia
yang melahirkan negeri sosialis yang pertama di dunia. Sejak saat itu
ramalan ilmiah Marx telah berubah menjadi kenyataan dan kapitalisme
bukan lagi satu-satunya sistem ekonomi dunia yang meliputi
segala-galanya. Setelah perang dunia kedua krisis umum kapitalisme
bertambah lebih dalam lagi. Sosialisme muncul keluar batas-batas satu
negeri dan menjadi sistem dunia, krisis sistem kolonial daripada
imperialisme menjadi lebih parah dan kehancurannya menjadi
tak-terelakkan.
Krisis umum kapitalisme ialah krisis yang bukan saja menyangkut
sistem ekonomi, melainkan juga meliputi segala lapangan dari sistem
dunia kapitalis seluruhnya yang dicirikan oleh peperangan dan revolusi,
oleh perjuangan antara kapitalisme yang sedang mati dengan Sosialisme
yang sedang tumbuh.
Ciri-ciri pokok dari krisis umum kapitalisme ialah: terpeliharanya
dunia menjadi dua sistem – yang kapitalis dan yang sosialis – serta
perjuangan antara kedua sistem itu; kehancuran sistem kolonial daripada
imperialisme yang terwujud dalam tercapainya kemerdekaan nasional di
banyak negeri bekas jajahan dan tergantung; bertambah gentingnya
masalah pasar bagi negeri-negeri kapitalis, perusahaan-perusahaan
kapitalis secara kronis bekerja di bawah kapasitas dan terjadi
pengangguran massal yang kronis. Dalam kehidupan politik, kita melihat
dengan jelas kecenderungan pemfasisan pemerintahan dan penghapusan
kebebasan-kebebasan demokratis bagi Rakyat. Guna mempertahankan
penguasaannya atas tanah-jajahan, kaum imperialis banyak menyelubungi
politik-politik kolonialnya yang lama dengan taktik-taktik dan
bentuk-bentuk baru yang sudah biasa kita namakan neo-kolonialisme. Kita
sendiri di Indonesia mengalaminya dari dekat, tadinya dalam bentuk KMB
dan sekarang pun masih menghadapinya, terutama dalam bentuk kekuasaan
ekonomi imperialis atas negeri kita. Pihak Belanda berusaha menipu kita
dengan memberikan status neo-kolonial dengan baju “selfdetermination”
kepada Irian Barat. Oleh sebab itu kita perlu tetap waspada,
imperialisme memang sudah sangat dilemahkan, tapi sebagaimana sering
dinyatakan oleh Bung Karno, imperialisme belum mati dan imperialisme
adalah tetap imperialis.
Dalam pada itu, pengalaman kitapun menunjukkan bahwa asal kita
berani melawan, imperialisme bisa didesak mundur dan dikalahkan. Segala
tipu dayanya tidak bisa menyelamatkannya dari nasib sejarah yang
pasti. “Zaman sekarang adalah zaman menghancurkan sistem
kolonialis-imperialis, zaman sekarang adalah zaman peralihan ke
Sosialisme”. (Jarek)
10. Beberapa Aspek Mengenai Hak milik Dalam Sosialisme
Manifesto Politik Republik Indonesia menetapkan bahwa watak
revolusi kita adalah nasional dan demokratis, sedangkan hari depan
revolusi adalah Sosialisme. Sebagaimana dipertegas oleh Jarek: “ada dua
tujuan dan dua tahap Revolusi Indonesia: Pertama, tahap
mencapai Indonesia yang merdeka penuh, bersih dari imperialisme – dan
yang demokratis – bersih dari sisa-sisa feodalisme. Tahap ini masih
harus diselesaikan dan disempurnakan ………. Kedua, tahap mencapai
Indonesia ber-Sosialisme, bersih dari kapitalisme dan dari
‘I’ekploitation de I’homme par I’homme’. Tahap ini hanya bisa
dilaksanakan dengan sempurna setelah tahap pertama sudah diselesaikan
seluruhnya”. Karena kita masih berada pada tahap pertama, maka dengan
sendirinya kita belum menghadapi tugas langsung menghapuskan
kapitalisme dan membangun Sosialisme. Dalam tahap pertama ini masih
terdapat hak milik perseorangan atas alat-alat produksi, baik hak milik
perseorangan dari produsen kecil maupun hak milik perseorangan
kapitalis nasional. Berdasarkan pengertian-pengertian ekonomi Marxis
saja sepenuhnya menyokong garis Jarek ini dan tidak menyetujui
tindakan-tindakan yang sadar atau tidak sadar malah merugikan
produsen-produsen kecil dan pengusaha-pengusaha nasional, lebih-lebih
lagi jika dengan tidak menyinggung samasekali hak milik imperialis
(kapitalis besar asing) dan hak milik feodal (tuan tanah). Kami
berpendapat bahwa berdasarkan tingkat perkembangan Indonesia sekarang,
kapitalisme nasional masih mempunyai peranan positif untuk
mengembangkan tenaga-tenaga produktif di negeri kita. Sudah barang
tentu, jika kapitalisme nasional dibiarkan berkembang secara “liberal”,
maka ia bisa menimbulkan banyak kerepotan-kerepotan sekarang dan di
kemudian hari. Tapi saya yakin, asalkan ekonomi sektor Negara memegang
posisi komando dan ada pemerintah yang sungguh-sungguh bercita-cita
Sosialisme, maka segi positif kapitalisme nasional dapat dikembangkan
semaksimum-maksimumnya, sedangkan segi negatifnya dapat dipersempit
sampai sekecil-kecilnya. Dengan demikian kapitalisme nasional dapat
membantu mempercepat proses untuk beralih ke tahap kedua tahap
“Indonesia ber-Sosialisme, bersih dari kapitalisme dan dari
exploitation de I’homme” (Jarek). Dalam masyarakat sosialis, jika
sungguh-sungguh masyarakat tanpa penghisapan atas manusia oleh manusia,
memang tidak ada tempat bagi kapitalisme. Ini berarti tidak akan nada
lagi hak milik perseorangan yang kapitalis atas alat-alat produksi.
Borjuasi akan lenyap sebagai kelas. Bagi setiap orang yang jujur dan mau bekerja, pasti ada tempat dalam masyarakat sosialis.
Kadang-kadang dituduhkan kepada kami kaum Komunis, bahwa kami ingin
membentuk masyarakat sosialis yang berlainan dengan Sosialisme
Indonesia, sebab dalam masyarakat sosialis Indonesia masih akan nada
hak milik perseorangan. Perlu kami tegaskan, kami sama sekali tidak
bermaksud melenyapkan hak milik perseorangan atas barang-barang
konsumsi, yang berarti kekuasaan seseorang untuk memiliki hasil-hasil
masyarakat. Hal ini sudah lama dijelaskan oleh Marx dan Engels dalam Manifes Partai Komunis.
Adapun mengenai hak milik perseorangan yang kapitalis atas alat-alat produksi, memang
ini harus dilenyapkan, jika kita betul-betul bermaksud membuat
Indonesia “bersih dari kapitalisme” sebagaimana dinyatakan dalam Jarek.
Mungkin timbul pertanyaan, apakah semua hak milik perseorangan atas
alat-alat produksi menjadi dasar bagi penghisapan atas manusia oleh
manusia? Hak milik perseorangan tuan-budak, tuan-feodal dan kapitalis
atas alat-alat produksi, telah menjadi dasar bagi penghisapan itu. Tapi
ada hak milik perseorangan atas alat-alat produksi yang tidak
mengandung penghisapan, yaitu hak milik perseorangan produsen kecil yang
berproduksi dengan alat-alatnya sendiri dan dengan kerjanya sendiri
tanpa mempergunakan tenaga orang lain. Apakah sosialisme dapat dibangun
atas dasar produksi para produsen kecil ini?
Sosialisme adalah sistem masyarakat dimana berlaku keadilan sosial
dan yang harus memberi kemakmuran kepada setiap anggota masyarakatnya.
Untuk mencapai kemakmuran itu daya-produksi masyarakat harus semakin
meningkat dan mencapai taraf yang tinggi. Apakah ini dapat dicapai oleh
produsen kecil? Pengalaman di semua negeri memperlihatkan bahwa ini
tidak mungkin. Produksi kecil-kecilan tidak mampu mempergunakan
hasil-hasil teknik dan ilmu yang terbaru.
Di samping itu, produksi kecil barangdagangan yang didasarkan pada
hak milik perseorangan atas alat-alat produksi tidak bisa tidak
dikuasai oleh anarki dan persaingan. Setiap produsen berusaha
memproduksi lebih banyak untuk menjual lebih banyak, dan kepentingannya
dalam hal ini bertentangan dengan produsen lain yang menghasilkan
barang yang sama. Ada di antara produsen-produsen itu yang sukses dalam
persaingan, usahanya semakin besar dan mulailah ia mengambil
tenaga-tenaga upahan untuk membantu usaha produksinya.
Dengan demikian, dan sangat mungkin tidak disadarinya sendiri, ia
sudah mulai menjadi seorang kapitalis dan mendapat penghasilannya dari
penghisapan kerja orang lain. Pada pihak lain, ada produsen-produsen
yang gagal dalam persaingan, sehingga terpaksa melepaskan usahanya, ia
menjadi penganggur atau terus menyediakan tenaganya kepada produsen
lain yang mau mengupahnya. Dari produsen merdeka ia menjadi buruh.
Proses diferensiasi ini didorong pula oleh peranan kapital-dagang. Pada
mulanya, kapital-dagang tidak mencampuri urusan produksi barang-hasil,
kapital itu hanya berfungsi dalam mengedarkan baranghasil-baranghasil
itu. Tapi lambat-laun kapital-dagang itu juga mulai menguasai produsen
kecil. Bentuk-bentuknya yang pokok adalah sebagai berikut:
1. bentuk yang paling sederhana: pedagang (tengkulak) membeli
barangjadi-barangjadi dari produsen kecil. Pada waktu ini hubungan
antara produsen kecil dengan pasar penjualannya terputus. Pedagang bisa
menggunakan monopoli pembelian itu untuk menekan harga ke bawah
sehingga merugikan produsen kecil.
2. kapital-dagang bergandengan dengan kapital-riba (lintah-darat,
mindring). Produsen kecil yang memang selalu berada dalam kesukaran
keuangan, meminjam dari pedagang dan membayar hutang dengan
barang-barangnya. Dalam kejadian ini barang-barang selalu dijual dengan
harga yang rendah sekali dan sering kali si produsen tidak bisa
memperoleh pendapatan sebanyak yang bisa didapat buruh-upahan. Apalagi,
hubungan hutang in membikin produsen tergantung secara pribadi kepada
pedagang, hubungan mana dapat disalahgunakan oleh pedagang itu.
3. pedagang (tengkulak) membayar barang-barang yang dibelinya dari
produsen kecil dengan barang-barang juga, tapi yang harga-harganya
umumnya tinggi dan mutunya rendah.
4. pedagang (tengkulak) membayar barangjadi produsen dengan
bahan-mentah, bahan penolong, yang diperlukan oleh produsen untuk
berproduksi. Dengan demikian tengkulak telah memutuskan hubungan antara
produsen kecil dengan pasar bahan-mentah, sehingga membikin produsen
itu lebih tergantung lagi pada tengkulak dalam ekonomi.
5. tengkulak langsung membagi bahan-mentah kepada produsen dan
menyuruh dia mengerjakannya dengan bayaran tertentu. Dengan demikian
produsen kecil praktis sudah menjadi buruh-upahan yang bekerja di
rumahnya sendiri untuk kapitalis.
6. tengkulak bukan saja membagikan bahan-mentah tapi juga
perkakas-perkakas kerja kepada produsen. Pada waktu ini produsen kecil
sudah kehilangan seluruh kemerdekaannya sebagai produsen. Ia menjadi
buruh-upahan, tengkulak menjadi kapitalis industri, kapital-dagang
menjadi kapital-industri. xxx
Sebabnya kapital-dagang dapat menguasai produsen kecil ialah karena
dengan berkembangnya produksi barang dagangan dan bertambah luasnya
pasar, produsen kecil tidak dapat lagi mengurus dirinya sendiri secara
langsung penjualan barang-barangnya di pasar yang jauh atau pembelian
bahan-bahan produksinya. Maka peranan pedagang makin diperlukan.
Dalam pada itu, dari kalangan produsen-produsen kecil sendiri timbul
orang-orang yang mula-mula dititipkan barang untuk dijual ke pasar,
tapi kemudian juga menjadi pedagang. Mengenai proses ini Lenin
menunjukkan bahwa “dalam ekonomi barangdagangan, produsen-produsen
kecil tidak bisa tidak pasti melahirkan dari tengah-tengah kalangannya
sendiri tidak hanya pengusaha-pengusaha industri yang lebih makmur pada
umumnya, tetapi juga, khususnya, wakil-wakil dari kapital-dagang”.[54]
Proses lahirnya hubungan-hubungan produksi kapitalis dari
produsen-produsen kecil barangdagangan adalah proses spontan yang tak
dapat dihindarkan selama produksi mereka didasarkan atas hak milik perseorangan atas alat-alat produksi. Proses
ini sesungguhnya hanya membawa keuntungan bagi sejumlah kecil
produsen, sedangkan jumlahnya yang terbesar terus menerus hidup melarat
dan terancam kebangkrutan.
Oleh sebab itu, jika kita ingin membangun masyarakat sosialis yang
sungguh-sungguh bebas dari penghisapan atas manusia oleh manusia dan
dapat memberi kemakmuran kepada setiap anggotanya, maka kita harus secara serius memecahkan masalah produsen kecil.
Kaum Marxis berpendapat bahwa dalam keadaan alat-alat produksi yang
terpokok dimiliki oleh seluruh masyarakat, maka ada jalan untuk
membantu produsen-produsen kecil menghindari proses yang menyakitkan
seperti diuraikan di dalam. Jalan itu ialah jalan pengkoperasian yang
dengan berangsur-angsur akan mengubah hak milik perseorangan kecil
menjadi hak milik kolektif-koperatif. Perubahan ini akan membuat
produsen-produsen itu tidak lagi saling-berhadapan sebagai
penyaing-penyaing dan memungkinkan koordinasi dari tenaga-tenaga
produktif mereka. Perusahaan-perusahaan kolektif atau koperatif dapat
mengambil manfaat sepenuhnya dari hasil teknik dan ilmu yang maju,
sehingga menjamin produktivitas kerja, yang semakin tinggi. Agar jalan
pengkoperasian ini dapat berlangsung dengan lancar dan sukses, syarat
terpenting ialah kesukarelaan para produsen kecil itu sendiri,
keyakinan mereka bahwa memang jalan ini adalah satu-satunya jalan yang
bisa membawa kebahagiaan dan kemakmuran bagi semua.
Demikianlah tentang beberapa aspek mengenai hak milik dalam sosialisme.
BAB III. SOSIALISME
Bab III daripada uraian saya ini boleh dikatakan tidak ada yang saya
susun baru, hampir seluruhnya saya ambil dari pidato saya di hadapan
mahasiswa-mahasiswa Akademi Ilmu Sosial “Aliarcham” di kota ini dalam bulan Agustus tahun yang lalu.[55]
Sebelumnya saya menguraikan tentang sejarah lahirnya cita-cita
sosialisme, terlebih dulu hendak saya mulai dengan menjelaskan istilah Sosialisme.
Friedrich Engels mengenai Manifes Partai Komunis yang ditulisnya
bersama Karl Marx dalam tahun 1848 mengemukakan mengapa Manifes itu
menggunakan kata “Komunis” dan bukan “Sosialis” dengan keterangan antara
lain sebagai berikut:
“Sekalipun demikian, ketika ia (yang dimaksud ialah Manifes Partai
Komunis – DNA) terbit kita tidak dapat menamakannya Manifes Sosialis. Pada
tahun 1847 ada dua macam golongan yang dianggap sebagai orang-orang
Sosialis. Pada satu pihak adalah pengikut-pengikut berbagai sistem
utopi, teristimewa kaum Owenis di Inggris, dan kaum Fourieris di
Prancis, yang kedua-duanya pada saat itu telah merosot menjadi hanya
satu sekte saja dan berangsur-angsur menu kematiannya. Di pihak lain
tukang-tukang jual koyok kemasyarakatan yang sangat banyak
corak-ragamnya itu yang dengan berbagai macam obat ajaib serta segala
cara kerja tambal sulam hendak melenyapkan keburukan-keburukan sosial
tanpa sedikitpun merugikan kapital dan laba. Dalam kedua hal itu,
orang-orang yang berdiri di luar gerakan buruh dan yang lebih suka
minta bantuan pada kelas-kelas ‘terpelajar’. Tetapi bagian dari kelas
buruh yang menuntut penyusunan-kembali masyarakat secara radikal, yakin
bahwa revolusi-revolusi politik saja tidak cukup, pada waktu itu
manamakan dirinya Komunis. Ini adalah Komunis yang masih mentah, hanya
naluriah, dan sering kali agak kasar. Namun ia cukup kuat untuk
menimbulkan dua sistem Komunisme utopi – di Prancis Komunisme ‘Icaria’
dari Cabet, dan di Jerman dari Weitling. Dalam tahun 1847 Sosialisme
berarti gerakan borjuis, Komunisme berarti gerakan kelas buruh.
Sosialisme, di Daratan Eropa, setidak-tidaknya adalah cukup terhormat,
sedangkan Komunisme justru sebaliknya. Dan karena kami telah mempunyai
pendirian yang pasti sejak masa itu bahwa ‘pembebasan kelas buruh
haruslah tindakan kelas buruh sendiri’, maka kami tidak sangsi lagi
tentang nama mana di antara nama itu yang harus kami pilih. Sejak
itupun tak pernah juga ada pikiran pada kami untuk menolak nama itu”.[56]
Persoalan yang kita hadapi sekarang tidak sama persis sama dengan
apa yang dijelaskan oleh Engels ini. Tapi pelajaran yang dapat kita
tarik ialah, bahwa jika sekarang berbicara tentang Sosialisme, kita
tidak berbicara tentang “sosialisme” borjuis, borjuis kecil atau
feodal, tapi tentang Sosialisme yang tidak dihormati oleh kaum
kapitalis, tentang Sosialisme yang anti-kapitalisme.
1. Sejarah Timbulnya Cita-cita Sosialisme
Dari sejarah timbulnya cita-cita Sosialisme dapatlah diketahui,
bahwa penggunaan istilah “Sosialisme” sebagai suatu aliran paham
politik dan gerakan sosial mulai terjadi dalam gerakan sosial yang
dipelopori oleh Robert Owen di Inggris dalam tahun-tahun 30-an
abad ke-19. Akan tetapi, jiwanya istilah ini, yakni sebagai suatu
cita-cita atau angan-angan akan suatu masyarakat yang adil dan makmur,
dimana tidak ada orang miskin dan tidak ada orang kaya, tiada
penindasan dan penghisapan atas manusia oleh manusia, jauh sebelum itu,
dan boleh dikatakan sejarah terpecahnya masyarakat dalam kelas-kelas
yang saling berlawanan, sudah terdapat hampir dimana-mana.
Di Eropa, misalnya, pada zaman Yunani Kuno, kita mengenal adanya “masyarakat ideal” yang di idam-idamkan oleh Plato (427-347
Sebelum Masehi). Menurut cita-cita Plato, masyarakat yang sempurna itu
berbentuk Negara Republik dengan kaum ksatria sebagai tulang
punggungnya. Kehidupan kaum ksatria itu merupakan teladan bagi seluruh
masyarakat. Mereka hidup secara kolektif di dalam asrama-asrama yang
disediakan oleh Negara. Mereka tidak mempunyai hak milik perseorangan
atas apapun juga. Segala kebutuhan hidupnya dijamin oleh Negara, bahkan
Negara menyediakan wanita-wanita pilihan untuk dijadikan istri mereka.
Anak-anak mereka sejak lahir sudah dipisahkan dari orang tuanya dan
dipelihara serta di didik oleh Negara dalam tempat-tempat yang
disediakan khusus untuk itu. Kaum ibunya hanya diperkenankan datang ke
tempat-tempat itu pada waktu-waktu yang sudah ditentukan untuk menyusui
anak-anak yang ada di situ tanpa mengenali anaknya sendiri atau bukan.
Apabila anak-anak itu sudah cukup besar, maka diajarkannya berbagai
macam ilmu, diberikannya pendidikan jasmaniah dan rohaniah sampai
dewasa sehingga menjadi manusia-manusia ksatria yang sempurna. Setelah
itu mereka diberi tugas-tugas Negara. Kepala Negara dipilih di antara
kaum ksatria itu. Demikianlah garis besar “masyarakat ideal” yang
diimpikan Plato pada ketika itu.
Sudah tentu, “masyarakat ideal” Plato yang demikian itu dibangunkan
berdasarkan filsafatnya yang berpendapat bahwa masyarakat itu baru bisa
sempurna kalau orang-orangnya sempurna, dan orang-orangnya itu baru
bisa menjadi sempurna kalau berpengetahuan dan berpendidikan baik. Akan
tetapi, lahirnya angan-angan itu, bagaimanapun juga isinya, merupakan
suatu “pencerminan” atau “refleksi” daripada keadaan sosial pada ketika
itu. Sebagaimana kita mengetahui, pada ketika itu masyarakat
perbudakan di Athena sedang mulai mengalami dekadensinya,
konflik-konflik sosial sudah Nampak makin menajam, ketidakadilan dan
keburukan sosial sudah menonjol, sementara itu juga sedang menghadapi
ancaman-ancaman serangan dari negeri-negeri tetangganya, terutama
Sparta yang sedang tumbuh kuat. Dalam menghadapi keadaan sosial yang
suram itulah timbul kerinduan pada Plato akan suatu “masyarakat
bangsawan” atau Negara “Republik Ksatrya” sebagai konsep jalan keluar.
Akan tetapi, ide Plato itu agaknya terlampau ekstrem sehingga tak
mendapat sambutan baik dari masyarakat, maupun dari murid-muridnya atau
pengikut-pengikutnya yang tidak sedikit jumlahnya.
Pada masa sejarah yang lain, kita mengenal juga, misalnya “masyarakat utopi” dari Sir Thomas More (1478-1535), seorang politikus dan sastrawan besar Inggris pada awal abad ke-16. Dalam karyanya Utopi, More
di satu pihak melukiskan keadaan masyarakat yang sangat menyedihkan di
bawah rezim Henry VIII dimana Rakyat jelata menderita kesengsaraan
yang sangat besar sebagai akibat dari kesewenangan dan kekejaman yang
melampaui batas-batas perikemanusiaan daripada kaum ningrat dan kaum
gereja; di pihak lain ia melukiskan keadaan masyarakat di pulau Utopi
sebagai kontrasnya atau tandingannya. Di dalam masyarakat Utopi itu
tiada sistem hak milik perseorangan atas alat-alat produksi; produksi
masyarakat diatur dan dilakukan secara gotongroyong, dan hasil-hasilnya
dibagi secara merata pula di antara anggota-anggota masyarakat
sehingga dengan demikian lenyaplah perbedaan antara miskin dan kaya.
Semua orang harus bekerja di lapangan produksi, baik pertanian maupun
kerajinan tangan sehingga tiada lagi perbedaan antara kota dan desa.
Waktu kerja dikurangi menjadi 6 jam sehari, sedang sisa waktu luangnya
digunakan sepenuhnya untuk aktivitas di lapangan kesenian, kesusastraan
dan ilmu. Lembaga-lembaga masyarakat dibentuk secara demokratis
melalui pemilihan umum sehingga tiada lagi kediktatoran raja-raja,
tiada lagi undang-undang dan peraturan-peraturan yang bengis dan
mengekang kebebasan individu, semua anggota masyarakat mempunyai
kedudukan yang sama dan sederajat. Kejujuran dan kesederhanaan,
persaudaraan dan ke gotong-royongan menjadi ciri moral masyarakat.
Sistem dan perlengkapan kemiliterannya ditujukan untuk membela diri,
tidak untuk melakukan agresi terhadap negeri lainnya.
“Masyarakat Utopi” yang digambarkan oleh More itu justru adalah suatu
“refleksi” dari keadaan sosial di Inggris pada zaman itu, dimana
sedang berlangsung proses akumulasi primitif kapital. Beribu-ribu kaum
tani diusir dari tanah garapannya dengan segala kekerasan dan
kekejaman. Tanah-tanah sawah diubah menjadi ladang-ladang penggembalaan
domba-domba untuk memenuhi kebutuhan manufaktur-manufaktur tekstil
akan bahan wol, sehingga More melukiskan keadaan pada ketika itu
sebagai zaman “domba makan orang”. Pertumbuhan cara produksi kapitalis
yang menimbulkan ketidak-adilan, kesengsaraan dan keburukan-keburukan
sosial yang sangat mencolok mata dan menyakiti perasaan kemanusiaan itu
telah membikin More takut melihat ke depan sehingga “masyarakat adil
dan makmur” yang dicita-citakannya itu nampak jelas tidak menghendaki
perkembangan industri lebih lanjut, melainkan mempertahankan pertanian
dan kerajinan-tangan sebagai dasar produksi masyarakat, dan
menganjurkan kesederhanaan atau pembatasan dalam kenikmatan kekayaan
materiil, tapi mengejar kenikmatan kekayaan spiritual, terutama di
lapangan kesenian, yang dianggapnya sebagai kesenangan dan kebahagiaan
hidup yang paling tinggi.
Hampir seabad kemudian, kita mengenal pula, misalnya suatu cita-cita
masyarakat “adil dan makmur” yang di idam-idamkan oleh seorang filsuf
Italia, Tomaso Campanella (1568-1639) dibentangkan dalam karyanya yang termashur Kota Surya. Campanella
semula adalah seorang paderi, tetapi kenyataan sosial yang pahit
membikin ia kemudian menentang kekuasaan agama di negerinya. Pada
ketika itu Italia dijajah oleh Spanyol, dengan menggunakan agama sebagai
alat penindasannya yang efektif. Di samping mengemukakan filsafatnya
dalam karyanya Philosophia Sensibus Demonstrata yang menentang
filsafat skolastik yang berkuasa pada ketika itu. Campanella juga
memimpin gerakan bawah tanah untuk membebaskan tanah airnya dari
penjajahan kerajaan Spanyol. Hal ini menyebabkan ia kemudian ditangkap
dan ditahan di dalam penjara selama 27 tahun. Kota Surya adalah
sebuah ciptaannya selama dalam tahanan itu. Dalam karyanya itu,
Campanella di samping mencela hak milik perseorangan sebagai sumber
dari segala kejahatan dan keburukan sosial, juga berpendapat bahwa
kerja adalah kewajiban yang terhormat dan mutlak bagi setiap orang.
Campanella menggambarkan Rakyat Kota Surya itu hidup dalam keadaan
serba “samarata-samarasa” dalam makna bahwa tiada perbedaan dalam soal
tempat tinggal, makan, pakaian, dsb, di antara anggota-anggota
masyarakat. Dalam fantasi Campanella terdapat pikiran-pikiran yang maju,
misalnya ia mengemukakan bahwa di dalam masyarakat dimana tiada sistem
hak milik perseorangan, tiada penindasan dan penghisapan serta
ketidakadilan, kesenian, teknik dan ilmu pengetahuan akan dapat
berkembang maju, dan ini merupakan syarat mutlak bagi kemakmuran dan
kebahagiaan masyarakat. Maka ia menggambarkan bahwa Rakyat Kota Surya
itu hanya bekerja 4 jam dalam sehari dengan menggunakan teknik yang
tinggi untuk meringankan kerjanya dan menciptakan kehidupan yang
makmur.
2. Sosialisme Utopi
Pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, kapitalisme berkembang
sangat pesat di Eropa, terutama di Inggris, berkat penggunaan
mesin-mesin uap dan teknik modern di lapangan produksi. Tetapi seiring
dengan itu juga proses diferensiasi atau polarisasi, yaitu pemusatan
kekayaan masyarakat ke dalam tangan segolongan kecil kaum bermodal di
satu pihak dan pemiskinan serta pemelaratan sebagian besar penduduk di
pihak lain, berlangsung makin cepat pula yang berarti mempercepat
datangnya krisis ekonomi kapitalis. Pertentangan-pertentangan antagonis
di dalam masyarakat makin menajam dan menonjol, walaupun antagonisme
antara borjuasi dengan proletariat pada waktu itu masih belum
berkembang penuh. Ketidakadilan dan kejahatan-kejahatan sosial
merajalela. Dalam keadaan demikian inilah maka cita-cita akan suatu
masyarakat yang adil dan makmur tumbuh dengan kuatnya, sehingga ia
tidak lagi merupakan angan-angan yang hanya hidup dalam khayalan
belaka, tetapi sudah mulai berusaha mendapatkan kekuatan materiil untuk
merealisasinya. Maka timbullah suatu gerakan sosial yang terkenal
dengan sebutan gerakan sosialis utopi. Tokoh-tokoh kaum sosialis utopi
itu antara lain adalah Robert Owen (1771-1858) di Inggris, Saint Simon (1760-1825) dan Fourier (1772-1837)
di Prancis. Walaupun teori-teori mereka tentang Sosialisme masih
mentah sesuai dengan keadaan produksi kapitalis dan hubungan
kelas-kelas pada masa itu yang masih belum cukup matang, dan juga telah
dibuktikan oleh kegagalan percobaan-percobaan (experimen-experimen)
yang telah mereka selenggarakan, namun “pikiran-pikiran dan benih-benih
pikiran yang cemerlang, yang dimana-mana menonjol keluar dari kulitnya
yang khayal, yang justru tak terlihat oleh kaum filistin”[57],
sangatlah besar artinya, bahkan merupakan suatu sumber yang penting
bagi Sosialisme ilmu yang diciptakan oleh Marx dan Engels.
Robert Owen tidak hanya seorang pengusaha yang cermat, tetapi juga
seorang pemimpin yang berbakat. Pandangan sosialnya mendekati kaum
materialis Prancis pada abad ke-18. Ia berpendapat bahwa watak dan
moral seseorang di satu pihak ditentukan oleh pembawaan dari lahirnya,
di pihak lain ditentukan juga oleh keadaan sosial dimana ia hidup.
Hanya dengan jalan memperbaiki keadaan sosial atau syarat-syarat
kehidupan sosial, barulah bisa dicapai perbaikan watak dan moral
manusia. Akan tetapi, berbeda dengan kaum materialis Prancis abad ke-18
yang menganggap masyarakat kapitalis sebagai masyarakat yang rasional
dan ideal. Owen berpendapat masyarakat kapitalis belum rasional, dan
tidak rasionalnya itu karena manusia belum menyadari akan hakikat
dirinya sendiri”, Ia pernah berkata: “adalah suatu kegilaan bahwa di
bawah sistem masyarakat yang ada sekarang ini, kekuatan yang besar ini
(yang dimaksud adalah tenaga produktif masyarakat pada masa itu – DNA)
digunakan demikian buruknya sehingga ia tidak menghasilkan kemakmuran,
memupuk moral yang baik, tetapi malah membuat kemiskinan dan dosa”.[58]
Kalau filsuf-filsuf materialis Prancis abad ke-18 menghendaki
penghapusan hak-hak istimewa kaum bangsawan saja. Owen menghendaki
penghapusan pertentangan kelas-kelas dan menegakkan persamaan dan
keadilan antara manusia yang satu dengan lainnya. Tetapi, suatu
masyarakat sosialis yang rasional, yang tiada perbedaan kelas-kelas,
menurut Owen tidak dapat dicapai dengan perjuangan kelas, dengan
kekerasan revolusi, melainkan dengan jalan penyebaran pengetahuan dan
pendidikan tentang kebenaran, karena masyarakat sosialis itu adalah
hasil daripada pengetahuan manusia tentang kebenaran. Untuk membuktikan
kebenaran teorinya, dan sekaligus untuk menyebarkan pengetahuan
tentang “kebenaran”, maka sewaktu ia memimpin sebuah perusahaan di
Manchester yang meliputi lebih dari 500 orang buruh, ia telah mencoba
merealisasi cita-citanya itu dengan memperoleh hasil-hasil tertentu.
Kemudian selama memimpin sebuah pabrik katun yang besar di New Lanark,
Scotland (tahun 1800-1829), ia telah mendapatkan kesempatan yang lebih
leluasa melakukan percobaannya itu dengan memperoleh hasil-hasil yang
lebih besar lagi sehingga namanya tersohor di seluruh Eropa. Berkat
perbaikan syarat-syarat kehidupan sosial yang dilaksanakannya, maka di
New Lanark yang terkenal sebagai koloni percontohan dengan penduduknya
2.500 orang yang bagian terbesar berasal dari anasir-anasir yang sudah
rusak moralnya, tidak terdapat lagi keburukan dan kejahatan sosial
seperti pemabokan, pencurian dsb., sehingga tak diperlukan lagi adanya
polisi, kejaksaan dan pengadilan. Kaum buruh New Lanark hanya bekerja
10 1/2 jam sehari, sedangkan kaum buruh di pabrik-pabrik lainnya harus
bekerja 13-14 jam sehari. Di samping itu, kesempatan untuk mendapatkan
pendidikan dan mengembangkan intelek mereka dan anak-anaknya terjamin.
Owen adalah orang pertama yang menyelenggarakan Taman Pendidikan dan
Penitipan Kanak-kanak. Dalam masa krisis, kaum buruh New Lanark masih
bisa menerima upah penuh selama beberapa bulan. Sungguhpun demikian
bagi Owen keadaan itu masih jauh dari memuaskan, ia pernah berkata: “orang-orang itu adalah budak yang bergantung kepada kemurahan hati saja”. Dan
hasil percobaannya di New Lanark itu akhirnya kandas sama sekali
sebagai akibat dari krisis ekonomi kapitalis dan persaingan yang makin
hebat. Begitupun juga usaha-usaha percobaannya di New Harmony, Indiana
(Amerika Serikat) dan di Mexico yang diselenggarakannya dengan biaya
sendiri, telah mengalami kegagalan sehingga membikin ludes harta
kekayaannya. Sesudah itu ia kembali lagi ke tanah airnya dan aktif
dalam gerakan Serikat Buruh dan gerakan koperasi. Dalam penilaiannya
terhadap kehidupan Owen, Engels berkata: “Setiap gerakan sosial,
setiap kemajuan nyata yang terjadi di Inggris untuk kepentingan kelas
buruh tak dapat dipisahkan dengan nama Owen”.[59]
Saint Simon adalah “putra Revolusi Prancis”, walaupun ia
berasal dari keluarga bangsawan. Akan tetapi, berbeda dengan
filsuf-filsuf dan ahli-ahli sejarah Prancis yang memuja dan membela
sistem masyarakat kapitalis pada ketika itu, ia malah mengecamnya dan
menyatakan bahwa masyarakat kapitalis itu pasti akan diganti oleh suatu
sistem masyarakat yang lebih sempurna, yaitu masyarakat yang lebih
sempurna, yaitu masyarakat sosialis yang ia cita-citakan. Ia
berpendirian demikian karena ia melihat kenyataan-kenyataan bahwa
kemenangan Revolusi Besar Prancis yang ia ikut serta memberikan amalnya
itu tidak mendatangkan sedikitpun perbaikan nasib kepada “kelas yang
paling besar jumlahnya dan yang paling miskin” (“la classe la plus
nombreuse et la plus pauvre”), yang ia bela, melainkan telah memberikan
hak-hak istimewa dan keuntungan-keuntungan kepada segolongan kecil
dari kaum borjuis yang kaya; di samping itu karena ia mempunyai
pandangan-sejarah yang lebih maju daripada mereka. Ia tidak sependapat
dengan mereka yang beranggapan bahwa sejarah itu merupakan rentetan
atau tumpukan peristiwa-peristiwa yang terjadi secara kebetulan, dan ia
telah berusaha untuk menemukan dan menerangkan bahwa perkembangan
sejarah itu ada hukum-hukumnya, sekalipun ia tak berhasil dalam
usahanya. Ia juga tidak sependapat dengan Rousseau yang
menyatakan bahwa sistem masyarakat komune primitif itu adalah masyarakat
yang ideal. Ia berpendapat bahwa setiap tingkat proses perkembangan
sejarah masyarakat, bagaimanapun juga adalah lebih baik dan lebih maju
daripada tingkat yang mendahuluinya, karena masyarakat yang baru itu
mendorong maju produksi, ilmu dan seni. Oleh karena itu, maka ia
menyatakan bahwa zaman keemasan masyarakat manusia masih akan datang.
Fourier tidak hanya seorang kritikus, tetapi juga seorang
satiris yang besar. Ia mengkritik dan mengecam masyarakat kapitalis
secara tajam sekali. Menurut Fourier, dalam masyarakat kapitalis
penumpukan kekayaan di satu pihak telah menimbulkan kemiskinan, di
pihak lain kebahagiaan segolongan orang dibangun di dalam penderitaan
segolongan orang lainnya. Dari sebab itu, sistem masyarakat yang
demikian itu telah merusak kepribadian manusia, menekan perasaan,
pikiran dan keinginan manusia. Ia mengkritik secara pedas hubungan sex
dan kedudukan kaum wanita di dalam masyarakat borjuis. Ia adalah orang
yang pertama kali menyatakan bahwa tingkat kebebasan kaum wanita di
dalam suatu masyarakat merupakan ukuran tingkat kebebasan masyarakat
keseluruhannya. Ia berpendapat bahwa manusia pada hakikatnya adalah
baik, yang menyebabkan manusia berbuat dosa adalah karena sistem
masyarakat yang tak dapat memenuhi segala keinginan manusia. Tetapi
suatu sistem masyarakat tidaklah abadi, melainkan ada masa-masa
lahirnya, perkembangannya dan kehancurannya. Berdasarkan pikiran ini,
maka ia menggambarkan sistem masyarakat yang akan datang. Menurut
pendapatnya, masyarakat yang akan datang berbasiskan “phalange”
(persekutuan-hidup) yang terdiri dari berbagai cabang produksi. Setiap
anggota “phalange” itu mempunyai hak bekerja menurut keinginannya
.kerja merupakan suatu kebutuhan, suatu kenikmatan, karena dalam
“phalange” itu telah tiada kesempitan ruang kerja, setiap anggota dalam
satu hari kerja dapat berpindah beberapa kali dari satu lapangan
pekerjaan ke lapangan pekerjaan lainnya, dengan demikian dapat memenuhi
watak “segi-banyak” manusia.
Dalam masyarakat yang akan datang itu,
kepentingan perseorangan bersesuaian dengan kepentingan kolektif.
Harga-diri manusia dalam sistem masyarakat itu demikian tingginya
sehingga tak dikenal lagi rintangan yang “tak mungkin” diatasi.
Kemakmuran kekayaan materiil masyarakat meningkat terus menerus berkat
perkembangan daya cipta kerja dan peningkatan produktivitas kerja. Dan
untuk itu, maka sistem distribusinya berdasarkan pada prestasi dan
keahlian kerja. Sistem masyarakat yang demikian itu, menurut Fourier,
dapat dicapai dengan jalan damai tanpa kekerasan revolusi. Bahkan
sistem “phalange” itu dapat juga dilaksanakan di dalam masyarakat
borjuis. Oleh karenanya ia pernah meminta bantuan kaum borjuis untuk
melakukan percobaan-percobaannya dengan pembagian hasil sbb.: 4/12
untuk peserta modal, 5/12 untuk pekerja menurut jumlah kerjanya dan
3/12 untuk pekerja menurut keahliannya. Tetapi usaha-usahanya ini
dengan sendirinya mengalami kegagalan.
3. Sosialisme Marx
Pada tahun-tahun 40-an abad ke-19, seiring dengan perkembangan
kapitalisme maka, maka antagonisme antara kelas borjuis dengan kelas
proletar makin menajam dan menonjol. Gerakan kelas proletar sudah
berkembang demikian hebatnya sehingga merupakan suatu kekuatan politik
yang mau tak mau harus diakui oleh semua kekuasaan di Eropa pada ketika
itu. Justru dalam keadaan demikian inilah lahir Sosialisme ilmu, yang
merupakan salah satu bagian daripada Marxisme, sebagai pernyataan kelas
proletar akan cita-cita dan tujuan perjuangannya: membebaskan
dirinya dan seluruh umat manusia dari kemiskinan dan kemelaratan, dari
segala bentuk penghisapan dan penindasan atas manusia oleh manusia, dan
untuk membangun dunia baru – dunia sosialis.
Berbeda dengan ajaran-ajaran Sosialisme Utopi yang sangat banyak
corak agamanya pada ketika itu. Sosialisme ilmu Marx tidak berdasarkan
semata-mata pada “kemauan baik” dan “akal” subjektif, melainkan
berdasarkan pada hukum objektif perkembangan sejarah masyarakat
manusia. Ketika Marx meninggal, dalam pidatonya di depan makan Marx,
Engels berkata: “Sebagaimana Darwin menemukan hukum perkembangan alam
organic, demikian pula Marx menemukan hukum perkembangan sejarah manusia”.[60]
(kurs’f dari saya – DNA). Penemuan Marx yang besar ini telah
mendatangkan revolusi dalam pandangan sejarah manusia. “Kekacauan dan
kesewenang-wenangan yang sampai saat itu menguasai pandangan-pandangan
tentang sejarah dan politik, digantikan oleh teori yang sangat padat
dan harmonis”.[61]
Menurut ajaran Marx perkembangan sejarah masyarakat tidak ditentukan
oleh kekuatan-kekuatan apapun yang berada di luarnya, melainkan oleh
kekuatan-kekuatan apapun yang berada di dalam masyarakat itu sendiri;
juga tidak ditentukan oleh “ide” atau “akal” seseorang raja atau
pemimpin besar dari masyarakat, melainkan oleh cara manusia
menghasilkan kebutuhan hidup materiilnya, yaitu cara produksi.
Diproklamasikannya Manifes Partai Komunis dalam tahun 1848
adalah justru merupakan jawaban atas tugas sejarah manusia yang
ditimbulkan dalam situasi dimana manusia menyadari akan
bentrokan-bentrokan yang terjadi antara tenaga-tenaga produktif dengan
hubungan-hubungan produksi dalam cara produksi kapitalis yang diwujudkan
terutama dalam bentuk perjuangan kelas yang antagonis antara borjuasi
dengan proletariat. Dalam tulisan itulah Marx dan Engels secara lengkap
dan sistematis menjelaskan perwujudan konkret berlakunya hukum umum
perkembangan masyarakat tersebut di dalam dalam masyarakat kapitalis,
sehingga mereka mencapai kesimpulan bahwa “apa yang dihasilkan oleh
borjuasi ialah, terutama sekali, penggali-penggali liangkuburnya
sendiri (proletariat)” dan “keruntuhan borjuasi dan kemenangan
proletariat adalah sama-sama tidak dapat dielakkan lagi”.[62]
Dalam tahun 1913, dengan sebuah tulisan yang berjudul Nasib Sejarah Ajaran Karl Marx, Lenin
secara tajam telah memberi penilaian akan kebenaran ajaran Marx
tersebut berdasarkan pengalaman sejarah semenjak dilahirkannya sampai
pada saat itu. Dalam penilaian itu dikemukakan bahwa ajaran Marx telah
mengalami pengujian tiga masa sejarah:
1. Dari Revolusi 1848 (di negeri-negeri Eropa) hingga Komune Paris (1871):
Dalam masa yang penuh dengan pergolakan-pergolakan dan
revolusi-revolusi ini telah dibuktikan bahwa hanya kelas proletar
sendirilah yang berwatak sosialis, dan semua ajaran tentang Sosialisme
non-kelas dan politik non-kelas adalah omong kosong belaka dan satu
persatu mati terbentur oleh praktek sejarah; sedang kebenaran ajaran
Marx – Sosialisme ilmu, makin nyata dan melahirkan kekuatan-kekuatan
materiilnya, yaitu terbentuknya Partai-partai proletar sebagai kekuatan
politik yang berdiri sendiri dan terbentuknya Internasionale Pertama
(1864-1872).
2. Dari Komune Paris sampai pada Revolusi Rusia (1905):
Dalam masa yang relatif “damai” ini, kemenangan teoritis Marxisme telah
memaksa musuh-musuhnya menyamar sebagai kaum Marxis dengan mengenakan
baju “oportunisme sosialis” yang mengajarkan “perdamaian sosial”;
sedangkan ajaran Marx memperoleh kemenangan yang penuh dan tersebar
luas, barisan-barisan proletariat di bawah pimpinan partainya sedang
mengadakan latihan-latihan dengan menggunakan parlementerisme borjuis
dan mengadakan penyaringan dan persiapan-persiapan untuk menghadapi
pertempuran yang mendatang.
3. Semenjak Revolusi Rusia (1905): Masa ini merupakan
zaman “taufan dunia” yang dimulai di Asia dan berkumandang ke Eropa.
Dalam taufan revolusi-revolusi dan kebangkitan Rakyat-rakyat tertindas
di negeri-negeri Asia dan semi-Asia ini telah ditunjukkan dengan jelas
kelapukan dan kesekaratannya kapitalisme dan borjuasi; dan membikin
Eropa modern menjadi suatu “tong mesiu”; sedangkan kekuatan proletariat
di bawah ajaran Marx makin memberi dan mematang.
Akhirnya Lenin menyimpulkan: “Masing-masing dari ketiga masa yang
besar dari sejarah dunia sejak lahirnya Marxisme itu telah memberikan
pengakuan baru dan membawa kemenangan-kemenangan baru bagi Marxisme.
Akan tetapi kemenangan yang lebih besar lagi bagi Marxisme, sebagai
ajaran proletariat, sedang menanti di dalam masa sejarah yang sekarang
sedang mendatang”.[63]
Apa yang diramalkan oleh Lenin dalam kesimpulannya tersebut di dalam,
tak lama kemudian telah benar-benar menjadi kenyataan. Dalam tahun
1914 – jadi hanya setahun kemudian –. “tong mesiu” Eropa telah meledak.
Dan dalam tahun 1917, taufan Revolusi Sosialis Oktober telah
menghancurkan mata rantai kapitalisme dunia di Rusia.
Kebenaran-kebenaran ajaran Marx – sosialisme ilmu, untuk pertama
kalinya diwujudkan sepenuhnya dalam kenyataan di Rusia oleh kelas
proletar dan Partainya. Kemenangan teoritis Marxisme kini telah
berkembang menjadi kemenangan praktis.
Pengalaman sejarah selanjutnya hingga sekarang telah menunjukkan
dengan kuatnya bahwa Sosialisme Marx yang sudah tumbuh dalam kenyataan
di satu negeri itu tidak hanya tak dapat ditumpas mati oleh segala tipu
daya yang busuk dan kejam dari kaum imperialis, malah kian hari kian
tumbuh besar dan kuat, dan yang meliputi 1/3 dari seluruh penduduk
dunia. Selain dari itu, sebagian terbesar gerakan buruh di seluruh
dunia berpegang pada ajaran-ajaran Marx, sebagian besar Rakyat-rakyat
yang sedang berjuang untuk kemerdekaan nasional dan demokrasi telah
memilih jalan menuju ke Sosialisme. Sungguh tepat sekali rumusan dalam
Pernyataan Bersama Wakil-wakil dari 91 Partai-partai Komunis dan
Partai-partai Buruh pada tahun 1960 bahwa
“Dewasa ini sistem
sosialis dunia, dan kekuatan yang berjuang melawan imperialisme, untuk
pengubahan sosialis atas masyarakatlah, yang menentukan isi pokok,
aliran pokok dan ciri-ciri pokok perkembangan sejarah dari masyarakat.
Usaha apapun yang dilakukan oleh imperialisme, usaha itu tidak dapat
menghentikan kemajuan sejarah. Basis yang tepercaya telah diletakkan
untuk kemenangan menentukan yang lebih lanjut dari Sosialisme.
Kemenangan penuh Sosialisme tak terelakkan”.[64]Jadi, soalnya kini bukan lagi benar atau tidaknya Sosialisme ilmu Marx, melainkan lebih atau kurang cepatnya kemenangan penuh Sosialisme itu di seluruh dunia.
4. Cita-cita Sosialisme Di Indonesia
Proses perkembangan sejarah cita-cita Sosialisme yang demikian itu
berlaku juga di Indonesia, sudah tentu, dengan kekhususan-kekhususan
atau kepribadian-kepribadiannya yang ditentukan oleh syarat-syarat
sejarah masyarakat Indonesia sendiri.
Sebagaimana sering dikemukakan oleh Presiden Sukarno dalam
pidato-pidatonya, cita-cita akan suatu masyarakat yang adil dan makmur
atau “Sosialisme” juga sudah lama terdapat di Indonesia. Cita-cita
demikian itu dapat kita jumpai melalui dongengan-dongengan yang hingga
kini masih berakar luas di kalangan Rakyat kita, misalnya, cerita-cerita
tentang Ratu Adil, atau cerita-cerita tentang wayang, antara lain
sebagaimana sering ditunjukkan oleh Presiden Sukarno, tentang keadaan
kerajaan Pandawa di Amarta, atau Kresna di Dwarawati, yang mencerminkan
suatu “masyarakat ideal”. Menurut bahasa ki Dalang, “masyarakat ideal”
itu demikian sempurnanya dalam kehidupan politiknya sehingga “panjang punjung, panjang pocapane, punjung kewibawane”, yang
menurut Bung Karno mengandung suatu cita-cita politik dan berarti:
“Negaranya adalah begitu termasyhur sehingga diceritakan orang
panjang-lebar sampai keluar negeri, dan bahwa Negara itu berwibawa
tinggi sekali”; bahwa situasi perekonomiannya adalah: “hapasir
hawukir ngadep segara kang bebandaran, hanengenake pasabinan. Bebek
ayam rajakaya, enjangmedal ing pangonan, surup bali ing kandange
dewe-dewe. Wong kang lumaku dagang rinten dalu tan wonten pedote, labet
saking tan wonten sangsayaning margi”; yang menurut Bung Karno
mengandung suatu cita-cita ekonomi, dan berarti bahwa “negaranya penuh
dengan bandar-bandar, sawah-sawah, dan begitu makmurnya hingga tidak
ada pencuri-pencuri. Itik ayam, ternak pagi-pagi keluar sendiri ke
tempat angon, kalau sudah magrib pulang sendiri ke kandangnya. Orang
berjalan dagang siang dan malam tidak ada putusnya, karena tidak ada
gangguan dijalan”; bahwa susunan masyarakatnya adalah: “tata-tentram, kerta raharja, gemah ripah, loh jinawi”;
yang menurut Bung Karno mengandung suatu cita-cita sosial, dan berarti
bahwa “negaranya adalah teratur, tenteram, orang bekerja aman,
orangnya ramah-tamah, berjiwa kekeluargaan dan tanahnya subur”.[65]
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, setelah imperialisme
Belanda menancapkan kakinya di tanah air kita dengan segala kekerasan
dan kekejaman menindas perlawanan-perlawanan bersenjata Rakyat kita,
maka kemiskinan dan kemelaratan merajalela sangat mendalam dan merata
di kalangan Rakyat Indonesia. Dalam keadaan demikian inilah kita
menjumpai tumbuhnya ajaran dan gerakan Saminisme yang cukup besar
pengaruhnya di kalangan Rakyat tani kita, misalnya di berbagai tempat
di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Walaupun ajaran Saminisme itu lebih
banyak mengenai etika, tetapi dalam pandangan sosialnya terdapat
pikiran-pikiran yang maju, yang oleh penjajah dipandang sangat
membahayakan kedudukannya. Misalnya, mereka berpendapat di antara
manusia sesamanya adalah saudara, tiada hubungan saling menindas dan
saling menghisap, melainkan saling bantu dan saling hormat, pendeknya
gotongroyong. Mereka juga berpendapat bahwa bumi dan alam Indonesia
adalah milik bersama Rakyat Indonesia, setiap orang Indonesia berhak
melakukan usaha-usahanya di dalam buminya sendiri dan memiliki hasil
kerjanya sendiri. Berdasarkan pikiran inilah mereka menolak membayar
pajak kepada pemerintah kolonial. Bentuk perlawanan Rakyat Indonesia
secara “damai” inipun ditindas oleh kaum penjajah dengan kekerasan,
beberapa pemimpin kaum Samin ditangkap dan dibuang ke tempat
pengasingan. Dengan tumbuhnya gerakan nasional yang dipelopori oleh
kelas buruh Indonesia, maka gerakan kaum Samin mengalami masa surutnya
dan kini hanya merupakan suatu sekte ajaran kebatinan.
Bersamaan dengan tumbuhnya gerakan kelas buruh Indonesia sebagai
akibat langsung dari pertumbuhan imperialisme di tanah air kita pada
awal abad ke-20, maka tumbuhlah ajaran dan cita-cita Sosialisme ilmu
Marx di bumi Indonesia. Sejak berdirinya PSDH (Perkumpulan
Sosial-Demokrat Hindia – Indische Sociaal-Democratische Vereniging –
ISDV) dalam tahun 1914 cita-cita Sosialisme ilmu mulai diperkenalkan.
Dan sejak kemenangan Revolusi Sosialis Oktober Besar 1917 di Rusia yang
menggemparkan seluruh dunia itu, Sosialisme tidak hanya sudah sangat
popular, malah sangat digandrungi oleh Rakyat Indonesia. Kelas buruh
Indonesia menjadi sadar dan gerakannya maju pesat di bawah pimpinan
barisan pelopornya, yaitu Partai Komunis Indonesia yang didirikan pada
tanggal 23 Mei 1920. Kelas buruh Indonesia di bawah pimpinan Partainya
segera menyadari bahwa pembebasan mereka hanya bisa tercapai apabila
seluruh tanah air dan bangsanya sudah dapat dibebaskan dari belenggu
kolonialisme dan imperialisme; dan kemerdekaan nasional itu hanya bisa
dicapai sepenuhnya apabila kelas buruh Indonesia dapat dan mampu
memimpin perjuangan revolusioner itu. Berdasarkan kesadaran dan
keyakinan inilah maka kelas buruh Indonesia di bawah pimpinan Partainya
sejak itu selalu berdiri digaris paling depan dan selalu paling
konsekuen dalam perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme dan
untuk kemerdekaan nasional, sehingga pengaruh kaum Komunis Indonesia
dan ide Sosialisme sangat besar di kalangan Rakyat pekerja.
Begitu luas dan kuatnya pengaruh Sosialisme di kalangan Rakyat
Indonesia sehingga pemimpin-pemimpin Sarikat Islam pada ketika itu,
seperti almarhum H.O.S. Tjokroaminoto tidak mau ketinggalan ikutserta
mengangkat panji “Sosialisme” dengan menyatakan bahwa ajaran Islam
adalah anti-kapitalisme dan sesuai dengan Sosialisme sebagaimana dapat
kita ketahui dari tulisan beliau yang terkenal dengan judul Islam dan Sosialisme.
Dalam tahun 1933, dalam tulisannya Mencapai Indonesia Merdeka, Bung
Karno merumuskan hasrat Rakyat Indonesia dengan tegas bahwa Indonesia
Merdeka bukanlah tujuan terakhir dari perjuangan Rakyat jelata
Indonesia, melainkan yang adil dan sempurna, dimana tiada tindasan dan
hisapan, tiada keningratan dan keborjuisan, tiada imperialisme dan
kapitalisme, dan tiada kelas-kelasan. Dan untuk itu maka dicanangkan
oleh Bung Karno: “Indonesia Merdeka hanyalah suatu jembatan, -
sekalipun suatu jembatan emas! – yang harus dilalui dengan segala
keawasan dan keprayitnaan, jangan sampai di dalam jembatan itu
Kereta-Kemenangan dikusiri oleh orang lain selainnya Marhaen. Seberang
jembatan itu jalan pecah jadi dua: satu ke Dunia Keselamatan Marhaen,
datu ke dunia sama-ratap-sama-tangis. Celakalah Marhaen, bilamana
Kereta itu masuk ke atas jalan yang kedua, menuju ke alamnya kemodalan
Indonesia dan keborjuisan Indonesia! Oleh karena itu, Marhaen, awaslah
awas! Jagalah yang Kereta Kemenangan nanti tetap di dalam kendalian
kamu, jagalah yang politieke macht nanti jatuh di dalam tangan kamu, di
dalam tangan besi kamu, di dalam tangan baja kamu!”[66] dan “jangan sampai politieke macht itu jatuh ke dalam tangannya pihak borjuis dan ningrat Indonesia”.[67]
Di dalam tulisan lain Marhaen dan Proletar (tahun 1933),
Bung Karno menjelaskan: “Marhaen yaitu kaum proletar Indonesia, kaum
tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain”.
Marhaen menurut pengertian ini adalah sama dengan Rakyat pekerja. Di
dalam perjuangan Rakyat Indonesia, menurut Bung Karno “kaum proletar
mengambil bagian yang besar sekali”, sebab, kata Bung Karno, “kaum
proletarlah yang lebih ‘mengerti’ akan segala-galanya kemodernan
sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Mereka lebih ‘selaras zaman’,
mereka lebih ‘nyata pikirannya’, mereka lebih ‘konkret’, dan ……….
mereka lebih besar harga-perlawanannya, lebih besar gevechtswaardenya
dari kaum yang lain-lain”. Maka, tentara kita adalah benar tentaranya
Marhaen, tentaranya kelas Marhaen, tentara yang banyak mengambil
tenaganya kaum tani, tetapi barisan pelopor kita adalah barisannya kaum
buruh, barisannya kaum proletar”.[68]
Jadi, jelaslah bahwa walaupun pada waktu itu di Indonesia belum
terdapat pengertian teoritis yang dalam tentang Sosialisme, tetapi
Rakyat pekerja secara sadar sudah menentukan arah perjuangannya, yaitu
dengan melewati kemerdekaan nasional menuju ke masyarakat sosialis.
Seiring dengan perkembangan situasi internasional, terutama sesudah
Perang Dunia kedua dimana Sosialisme tumbuh makin besar dan kuat,
sedang kapitalisme makin lapuk dan sekarat, maka pengertian Rakyat
pekerja Indonesia tentang Sosialisme tidak lagi abstrak dan
remeng-remeng, melainkan makin jelas dan konkret, dan ditambah pula
dengan pengalaman perjuangannya sendiri, sejak meletusnya Revolusi
Agustus 1945, sangat memperkuat keyakinan Rakyat pekerja Indonesia akan
kebenaran tujuan perjuangan yang sudah lama ditetapkannya.
Dalam amanatnya kepada Depernas pada tanggal 28 Agustus 1959.
Presiden Sukarno mengatakan bahwa Indonesia sebagai salah satu Negara
yang dilahirkan ditengah-tengah konfrontasi-konfrontasi sistem sosial
dunia: “(a) Di satu pihak kapitalisme modern yang kehilangan tanah
jajahannya sebagai cadangan dan yang dari krisis ke krisis sedang
memasuki krisis umumnya menuju kebangkrutan sepenuhnya, (b) di pihak
lain Sosialisme yang tumbuh dan sedang berkembang dengan kuat dan
sebagai tandingannya memperlihatkan keunggulannya di semua lapangan
terhadap kapitalisme modern (imperialisme)” dan Indonesia “tidak mau
menempuh jalan dunia lama (kapitalisme)”.[69]
Ini berarti bahwa zaman kapitalisme bagi Indonesia sudah lampau, hari
depan Indonesia yang jaya bukanlah kapitalisme yang sedang mati itu,
melainkan Sosialisme.
Tekad Rakyat Indonesia demikian itu makin kuat lagi setelah
pengalamannya yang pahit selama 16 tahun akhir-akhir ini karena kereta
revolusi dikusiri oleh orang-orang yang “telah menyeleweng dari Jiwa,dari Dasar, dan dari Tujuan Revolusi”.[70],
sehingga “nangka” – kemenangan politik – yang dihasilkan oleh Rakyat
dengan darah dan keringatnya itu dimakan hanya oleh beberapa gelintir
manusia, sedang Rakyat sendiri hanya kebagian “getah”nya saja. Dari
sebab itu, dalam amanatnya kepada Depernas seperti tersebut di dalam.
Presiden Sukarno telah menandaskan untuk kesekian kalinya bahwa
kemerdekaan bangsa Indonesia itu sekedar hanyalah, “satu jembatan untuk
menuju akhirnya mencapai kepada cita-cita bangsa Indonesia yang pokok,
yaitu satu masyarakat yang adil dan makmur, satu masyarakat yang
tiap-tiap warga negara dapat hidup sejahtera di dalamnya, satu
masyarakat tanpa penindasan, satu masyarakat tanpa exploitation de
I’homme par I’homme, satu masyarakat yang memberikan kebahagiaan kepada
seluruh Rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, satu masyarakat
yang berulang-ulang menjadi inspirasi penegak semangat daripada segenap
pejuang-pejuang Bangsa Indonesia dan telah memberikan korbannya di
dalam persada perjuangan Bangsa Indonesia itu”, dan “masyarakat yang
demikian itu, …….. masyarakat sosialis á la Indonesia adalah amanat
penderitaan daripada segenap Rakyat Indonesia, yang ……. kita sekarang
harus merealisasikan”.[71]
Jelaslah kiranya bahwa “Sosialisme Indonesia” sebagai haridepan
Revolusi Indonesia itu bukanlah semata-mata suatu ide ciptaan seseorang
“in een slapeloze nacht’ (dalam suatu malam yang tidak tidur), seperti
pernah dikatakan oleh Presiden Sukarno, juga bukan suatu barang yang
diimpor dari luar negeri, atau sesuatu yang dipaksakan dari luar
masyarakat Indonesia, melainkan suatu “reaktief verzet van verdrukte
elementen” (perlawanan penentangan daripada anasir-anasir tertekan), suatu
kesadaran sosial yang ditimbulkan oleh keadaan sosial Indonesia
sendiri, suatu “historische Notwendigheit”, suatu keharusan sejarah. Sebagai
keharusan sejarah, tidaklah berarti, sebagaimana berulangkali
dikatakan oleh Presiden Sukarno, bahwa “Sosialisme datang sebagai embun
di waktu malam dengan sendirinya”[72] tetapi hanya dapat direalisasi melalui kesadaran dan tindakan manusia, kesadaran dan tindakan Rakyat pekerja.
* * *
Demikianlah uraian saya Tentang Marxisme. Saya telah
menguraikan kepada Saudara-saudara tiga bagian dari Marxisme, yaitu
Filsafat, Ekonomi Politik dan Sosialisme Ilmu. Saya merasa berhasil
jika uraian-uraian ini dapat merangsang Saudara-saudara untuk
mempelajari lebih lanjut Marxisme. Uraian ini tidak dimaksudkan lebih
daripada itu. Marxisme adalah ilmu, maka sebagaimana dikatakan oleh
Engels, hal itu meminta “supaya ia dituntut sebagai ilmu, yaitu supaya
ia dipelajari”.[73]
Sebagai ilmu, Marxisme akan terus berkembang, dikembangkan dan
diperkaya oleh pengalaman-pengalaman gerakan revolusioner tiap-tiap
negeri dan sedunia. Pada ketika kapitalisme mulai memasuki tingkat
perkembangannya yang tertinggi dan yang terakhir, yaitu imperialisme,
W. I. Lenin telah mengembangkan serta memperkaya Marxisme, khususnya
dengan ajaran-ajarannya mengenai imperialisme dan revolusi sosialis.
Dengan berpangkal pada teori Lenin mengenai revolusi sosialis itulah
kelas buruh Rusia untuk pertama kalinya dalam sejarah dapat memenangkan
revolusi sosialis, menegakkan negeri sosialis yang pertama di dunia
dan dengan demikian mengubah cita-cita ilmiah Marx dan Engels menjadi kenyataan. Ajaran-ajaran Lenin itu atau juga disebut Leninisme tidak
hanya mempunyai arti penting nasional untuk Rusia, tapi telah terbukti
sangat berharga bagi tercapainya kemenangan revolusi di semua negeri.
Oleh sebab itu, Leninisme adalah tidak lain daripada Marxisme pada
zaman kita, zaman imperialisme dan revolusi sosialis dunia. Dan
ajaran-ajaran Marx dan Lenin ini menjadi terkenal dengan sebutan Marxisme-Leninisme.
Sebagai penutup, saya ingin menegaskan bahwa marxisme, atau
Marxisme-Leninisme adalah pedoman untuk beraksi, jadi tidak ada
persamaannya dengan tumpukan-tumpukan mantra atau jampi yang “dapat
mengobati segala macam penyakit”. Marxisme baru ada gunanya jika
diterapkan secara kreatif. Marxisme adalah pedoman umum dan universal.
Oleh karena itu, untuk memenangkan revolusi Indonesia, Marxisme harus
“di-Indonesiakan”, artinya harus diterapkan sesuai dengan
kondisi-kondisi Indonesia. Dengan berpegang teguh pada ajaran-ajaran
fundamental Marxisme atau Marxisme-Leminisme, kaum Marxis Indonesia
harus secara kreatif menentukan sendiri politik taktik bentuk
perjuangan dan bentuk organisasinya berdasarkan keadaan-keadaan konkret
di Indonesia.
Jakarta, pertengahan Februari 1969
Catatan:
[1] W. I. Lenin, Tentang Ajaran-Ajaran Karl Marx, dalam Pustaka Kecil Marxis No. 1, Yayasan “Pembaruan”, cetakan ke-III, 1961, hlm. 10.
[2] Idem, halaman 6.
[3] F. Engels, Ludwig Feuerbach dan Akhir Filsafat Klasik Jerman, dalam Marx, Engels, Selected Works, jilid II, Foreign Languages Publishing House (FLPH), 1958, hlm. 370.
[4] Idem, hlm. 377.
[5] F. Engels, Ludwig Feuerbach dan Akhir Filsafat Klasik Jerman, dalam Marx, ENGels, Selected Works, jilid II, FLPH, 1958, hlm. 369.
[6] Fundamentals of Marxism-Leninism, FLPH, Moskow, hlm. 52.
[7] H.K. Wells, Pragmatism, Philosophy of Imperialism, International Publishers, New York, halaman 18.
[8] P. H. Holbach, dalam Sisteme de la nature.
[9] P. H. Holbach, Surat Kepada Uegenie, dalam Pikiran Sehat, Penerbitan Akademi Ilmu URSS, Moskow 1956; atau dalam Dasar-Dasar Filsafat Marxisme, Penerbitan Akademi Ilmu URSS, Moskow, 1958, bahasa Rusia, halaman 65.
[10] K. Marx, Kata Susulan Capital, vol. I, FLPH, 1958 bahasa Inggris, hlm. 19 – 20.
[11] K. Marx, Capital, Vol. I, FLPH, 1958, edisi bahasa Inggris hlm. 19.
[12] W. I. Lenin, Apa Yang Harus Dikerjakan, Yayasan “Pembaruan”, 1957, hlm. 30.
[13] F. Engels, Dialectics of Nature, FLPH, Moskow 1954, hlm. 43.
[14] F. Engels, Anti-Dühring, edisi bahasa Inggris, FLPH, Moskow 1959, hlm. 86.
[15] F. Engels, Dialectics of Nature, FLPH, Moskow 1954, hlm. 51.
[16] Lenin Tentang Dialektika, Pustaka Kecil marxis, No. 19, JP, 1958, hlm. 4.
[17] Lenin Collected Works, Vol. 38, hlm. 359, FLPH 1967; atau Lenin, Tentang Dialektika, Pustaka Kecil Marxis, No. 19, JP 1958, hlm. 5.
[18] F. Engels, Anti Duhring, FLPH, Moskow 1959, hlm. 166.
[19] Mau Tje-Tung, Tentang Kontradiksi, Jajasan “Pembaruan”, cetakan ke-3, 1960, hlm. 37.
[20] W. I. Lenin, Karl Marx dalam Books for Socialism: The Three Sources and Three Component Parts of Marxism, FLPH, Moscow, hlm. 25.
[21] F. Engels, Anti Duhring, FLPH, Moscow 1959, hlm. 186-187
[22] W.I. Lenin, Karl Marx dalam Books for Socialism: The Tree Sources And Three Component Parts Of Marxism, FLPH, bahasa inggris, hlm. 28.
[23] K. Marx, Tesis-tesis Tentang Feuerbach, dalam Marx, Engels, Selected Works, Vol. II, FLPH, th. 1958, bahasa Inggris, hlm. 405.
[24] F. Engels, Pidato Didepan Makam Marx, dalam marx, Engels, Selected Works, Vol. II, FLPH, bahasa Inggris, hlm. 167.
[25] K. Marx, Kerja-upahan dan Kapital, Yayasan “Pembaruan”, hlm. 32.
[26] F. Engels, Surat Kepada C. Schmidt, 5 Agustus 1890, dalam Marx, Engels, Selected Works, Vol. II, FLPH 1958, bahasa inggris hlm. 486.
[27] F. Engels, Surat Kepada J. Bloch, 21 September 1890, dalam Marx, Engels, Selected Works, Vol. II, FLPH, bahasa Inggris, hlm. 490.
[28] Idem, hlm. 488.
[29] F. Engels, Surat Kepada F. Mehring, 14 Juli 1893, dalam Marx, Engels, Selected Works, Vol. II, FLPH, bahasa Inggris, hlm. 499.
[30] Idem, hlm. 27.
[31] W.I. Lenin, The Three Sources And Three Component Parts of Marxism, Books For Socialism, FLPH, hlm. 31.
[32] K. Marx, Rancangan Surat kepada Vera Zasulitsj
[33] K. Marx dan F. Engels, Manifes Partai Komunis, penerbitan Yayasan “Pembaruan”, cetakan ke-III, 1959, hlm. 49.
[34] W.I. Lenin, Negara, Yayasan “Pembaruan”, hlm. 10-11.
[35] F. Engels, Asal-usul Keluarga, Hak milik perseorangan dan Negara, Marx, Engels, Selected Works, penerbitan FLPH, Moskow 1955, Vol. II bahasa Inggris, hlm. 317-318
[36] K. Marx, Capital, Vol. I, penerbit FLPH Moskow, 1958, hlm. 35.
[37] W. I. Lenin, Tentang Dialektika, Pustaka Kecil Marxis, penerbitan Yayasan “Pembaruan”, 1959, hlm. 7.
[38] Idem, hlm. 37.
[39] Idem, hlm. 36.
[40] K. Marx, Capital, Vol. I, penerbitan FLPH, hlm. 46.
[41] K. Marx, Capital, Vol. I, FLPH 1958, hlm. 56.
[42] K. Marx, Capital, Vol. I, FLPH 1959, hlm. 86-87.
[43] K. Marx, Capital, Vol. I, FLPH 1958, hlm. 167.
[44] F. Engels dalam Kata Pengantar pada tulisan Marx Kerja-upahan dan Kapital, penerbitan Yayasan “Pembaruan”, 1958, hlm. 5.
[45] K. Marx, Capital, Vol. I, FLPH 1959, hlm. 537.
[46] K. Marx, Capital, Vol. I, FLPH 1959, hlm. 233.
[47] K. Marx, Teori-teori tentang Nilai-Lebih, bagian kedua, Dietz verlag, Berlin, hlm. 545.
[48] K. Marx, Capital, Vol. I, FLPH 1959, hlm. 644.
[49] K. Marx, Capital, Vol. I, FLPH 1959, hlm. 763.
[50] W. I. Lenin, Imperialisme dan Perpecahan Di dalam kapitalisme, penerbitan Yayasan “Pembaruan”, 1961, hlm. 3.
[51] W. I. Lenin, Imperialisme, Tingkat Tertinggi Kapitalisme, penerbitan Yayasan “Pembaruan”, 1958, hlm. 125.
[52] W. I. Lenin, dalam Bahan-bahan mengenai Revisi Program Partai.
[53] W. I. Lenin, Imperialisme, Tingkat Tertinggi Kapitalisme, J. P. 1958. Hlm. 124.
[54] W. I. Lenin, Perkembangan Kapitalisme di Rusia, FLPH, 1956, bahasa Inggris, hlm. 391.
[55] Lihat D.N. Aidit, Sosialisme Indonesia dan Syarat-syarat Pelaksanannya, Bab I, penerbitan Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, th. 1962.
[56] Kata pendahuluan Engels pada Edisi Jerman Tahun 1890 dalam Manifes Partai Komunis, Yayasan “Pembaruan”, cetakan ke-III hlm. 37-38.
[57] F. Engels, Socialism : utopian and scientific, FLPH, Moskow, th. 1958, hlm. 58.
[58] Rozenthal dan Judin, Kamus Filsafat, bahasa Rusia, cetakan ke-IV Moskow, 1955, hlm. 354.
[59] F. Engels, Socialism : utopianand scientific, FLPH, Moskow 1958, hlm. 68-69.
[60] F. Engels, Pidato didepan makam Marx, lihat marx-Engels Selected Works, Vol. II FLPH, Moskow 1949, hlm. 153.
[61] W. I. Lenin, Tentang Ajaran-ajaran Karl Marx, Pustaka Kecil Marxis No. 1, Yayasan “Pembaruan”, th. 1955, hlm. 9.
[62] Karl Marx dan Friedrich Engels, Manifes Partai Komunis, Cetakan ke-3, Yayasan “Pembaruan”, 1959 hlm. 67.
[63] W. I. Lenin, Nasib Sejarah Ajaran Karl Marx, dalam Pustaka Kecil Marxis No. 1, penerbitan Yayasan “Pembaruan”, th. 1955, hlm. 23.
[64] Pernyataan Pertemuan Wakil-wakil Partai-partai Komunis dan Partai-partai Buruh, penerbitan Yayasan “Pembaruan”, 1960, hlm. 8.
[65] Ruslam Abdulgani, Perkembangan Cita-cita Sosialisme di Indonesia, penerbitan Yayasan Perguruan Tinggi Malang, th. 1960, hlm. 9-10.
[66] Ir. Sukarno, Di bawah Bendera Revolusi, Jilid Pertama, th. 1959, hlm. 315-316.
[67] Ir. Sukarno, Di bawah Bendera Revolusi, Jilid Pertama, th. 1959, hlm. 287-288.
[68] Ir. Sukarno, Di bawah Bendera Revolusi, Jilid Pertama, th. 1959, hlm. 253, 254 dan 256.
[69] Amanat Pembangunan Presiden, Penerbitan Khusus No. 179, Departemen Penerangan R.I., hlm. 99.
[70] Manifesto Politik Republik Indonesia 17 Agustus 1959, Penerbitan Khusus No. 76, Departemen Penerangan cetakan ke-III, hlm. 34.
[71] Amanat Pembangunan Presiden, Penerbitan Khusus No. 179, Departemen Penerangan R.I, hlm. 54 dan 58.
[72] Presiden Sukarno, Mencapai Moralitas Tinggi, Penerbitan Khusus No. 149, Departemen Penerangan R.I., hlm. 11.
[73] F. Engels, The Peasant War in Germany, FLPH, Moskow, th. 1956, hlm. 34.
Comments
Post a Comment